Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liberalisasi Ekonomi, Menggerus Kedaulatan dan Memperlebar Ketimpangan

Kompas.com - 10/04/2017, 20:23 WIB

                                            Oleh : Dwi Gema Kumara

Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Apapun yang ditanam pasti tumbuh subur. Apapun yang ada di perut bumi pasti jika digali menghasilkan sesuatu untuk segi ekonomis.

Tapi apalah itu semua, ketika kekayaan alam yang begitu banyak hanya dikuasai oleh segelintir orang. Negara yang merupakan wadah perjuangan hidup bersama, mulai surut perannya dalam memperhatikan keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia terutama rakyat kecil.

Di era globaliasasi ini terjadilah euforia liberalisasi ekonomi, seperti stabilisasi makroekonomi yang ditempuh lewat keseimbangan fiskal, namun lebih menekan anggaran kepentingan publik dan memotong subsidi dibanding peningkatan pendapatan pajak.

Selain itu integrasi ke dalam sistem moneter dan perdagangan dunia; membuang hambatan tarif maupun non-tarif dan membuka lebar-lebar pintu investasi asing; serta privatisasi dalam arti penarikan diri pemerintah dari sektor-sektor produksi dan jasa yang menyangkut hajat hidup masyarakat, maupun penerapan hukum privat negara-negara kapitalis.

Dilema Kebijakan Migas

Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi misalnya, dinilai oleh banyak kalangan sebagai Undang-undang dengan semangat dan jiwa yang merupakan pembaharuan produk UU kolonial yaitu Indische Mijn Wet 1899, yang jelas-jelas mengutamakan pihak asing atau penanaman modal asing.

Padahal pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, produk hukum peninggalan kolonial itu telah dihapuskan dan diganti dengan UU Nomor 44 Prp. tahun 1960 dan UU Nomor 15 tahun 1962.

Kemudian pada pemerintahan Presiden Soeharto, diubah lagi menjadi UU Nomor 8 tahun 1971. Perubahan-perubahan itu seharusnya didedikasikan sepenuhnya untuk maksud dan tujuan yang lebih menjamin kepentingan nasional.

Memang tidak dapat disangkal eksplorasi bukan pekerjaan mudah dan murah. Upaya ini butuh teknologi tinggi dan biaya mahal. Kehadiran investor menjadi kebutuhan tak terelakkan dari situasi ini. Namun Undang-undang pada tahun 2001 pasal 12 ayat (3), dianggap sedikit berpihak ke asing.

Selain itu UU Migas pada tahun 2001 awalnya bertentangan dengan UUD 1945. Namun, demi kepentingan asing, UUD 1945 akhirnya diamandemen.

Dalam pasal 33 UUD 1945 Asli terutama pasal 33 ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa  “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Pasal-pasal yang terdapat pada pasal 33 UUD 1945 Asli, yang terdiri dari tiga ayat tersebut  kemudian diamandemen menjadi lima ayat.

Kita dapat lihat perbedaan substansi yang sangat jelas pada ayat (4), pasal 33 UUD 2002 (UUD Amandemen) bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”

Dengan kata "efisiensi berkeadilan", artinya semua hal boleh dilakukan atas nama efisiensi, sehingga mungkin keadilan menjadi nomor sekian. Jelas ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 Asli yang mengedepankan keadilaan sosial, bukan efisiensi.

Jadi sampai kapanpun liberalisasi sektor migas dan ekonomi lainnya akan tetap terjadi jika mengacu pada UUD 1945 hasil amandemen (UUD 2002). Maka jalan keluar satu-satunya untuk mengembalikan keadilan dan fokus pada kesejahteraan rakyat adalah mengembalikan UUD 1945 yang asli.

Kembali Ke Jati Diri Bangsa

Nyatalah bahwa aturan UUD pasca amandemen tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan Indonesia yang ingin menciptakan terlaksananya dasar-dasar peri-kemanusiaan dan keadilan sosial.

Seperti yang Bung Hatta katakan bahwa Demokrasi Politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.

UUD 1945 di samping mengatur demokrasi politik juga mengatur demokrasi ekonomi. Manusia Indonesia tidak hanya mempunyai aspirasi politik yang ingin diwujudkan dalam sistem pemerintahan. Ia juga ingin aspirasi ekonominya atau aspirasi kesejahteraannya terjamin dalam sistem pemerintahan yang dijalankan.

Ia ingin agar seluruh bangsa dan masyarakat mencapai hidup yang sejahtera dan berkeadilan. Wujud demokrasi ekonomi setidaknya bahwa mayoritas bangsa atau 90 persen jumlah penduduk atau lebih adalah golongan menengah.

Golongan menengah itu menguasai 75-80 persen kekayaan nasional. Ada rakyat yang menjadi kaya karena kecakapan dan kecerdasan berusaha melebihi yang lain. Akan tetapi golongan kaya ini tidak akan lebih dari 5 persen jumlah penduduk dan hanya menguasai 15-20 persen kekayaan nasional.

Demikian pula pasti ada saja rakyat yang tergolong miskin, tetapi itu tidak lebih dari 5 persen jumlah penduduk dengan sekitar 5 persen kekayaan nasional.

Tidak seperti saat ini, dengan 1 persen penduduk menguasai 50 persen kekayaan nasional. Dampaknya, ketimpangan kesejahteraan sangat tinggi, yang tercermin dari angka Gini Ratio yang mencapai 0,39.

Kalau kita ingin mengurangi kesenjangan, jalannya sudah disediakan oleh para pendiri bangsa, terutama Bung Hatta yang mengedepankan sistem Koperasi.

Dok pribadi Dwi Gema Kumara
Penulis adalah Bendahara Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kota Depok dan juga aktif sebagai Pembina Klub Diskusi Sutasoma Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com