Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Ketika Opini Audit BPK Tak Lagi Bermakna

Kompas.com - 31/05/2017, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Pada 2016, bekas auditor BPK Provinsi Sulawesi Utara, Bahar, dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara. Ia terbukti meloloskan laporan hasil pemeriksaan sejumlah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Sulut. Pejabat pemkab atau pemkot itu dimintai dana hingga Rp 1,6 miliar.

Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), beberapa waktu lalu, terungkap seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp 80 juta. Setelah penerimaan uang itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mendapatkan status WTP pada 2011. (Harian Kompas, 28/5/2017).

Terakhir, KPK melakukan operasi tangkap tangan kasus jual beli opini BPK pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa). KPK menyatakan, opini WTP dari BPK terhadap laporan keuangan Kemendesa tahun 2016 diperoleh setelah Inspektur Jenderal Kemendesa Sugito memerintahkan pegawai eselon III Kemendesa, Jarot Budi Prabowo, menyerahkan sejumlah uang kepada auditor BPK.

Auditor BPK yang ditangkap KPK karena diduga menerima suap dari pejabat Kemendesa adalah Rochmadi Saptogiri, auditor utama BPK yang juga pejabat eselon I, dan seorang auditor, Ali Sadli. Ada uang Rp 40 juta yang ditemukan di ruang Ali.

Sebelumnya, awal Mei 2017, uang Rp 200 juta diserahkan terlebih dahulu. Dalam penggeledahan setelah penangkapan, KPK juga menemukan uang Rp 1,145 miliar dan 3.000 dollar AS dalam brankas di ruang kerja Rochmadi.

Tujuan pemberian uang suap itu untuk mengubah opini dari WDP menjadi WTP untuk laporan keuangan Kemendesa tahun anggaran 2016. KPK menetapkan Sugito, Jarot, Rochmadi, dan Ali sebagai tersangka.

Dengan adanya kasus Kemendesa, maka menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun 2005 - 2017 sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/Staff BPK.

Kasus-kasus itu terdiri dari 3 kasus suap untuk mendapatkan opini WTP, 1 kasus suap untuk mendapatkan opini WDP, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK, dan 1 kasus suap untuk "melancarkan" proses audit BPK.

Dari 23 nama yang diduga terlibat, 5 orang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor, 14 hanya dapat sanksi internal BPK, dan 4 lainnya masih dalam proses pemeriksaan KPK.

Kepercayaan terkikis

Kasus-kasus tersebut tentu saja mengikis kepercayaan masyarakat terhadap BPK. Juga menimbulkan kecurigaan kepada institusi yang mendapatkan predikat WTP, apakah diperoleh dengan wajar atau tidak.

Masyarakat juga akhirnya tahu bahwa segala opini audit bisa direkayasa. Meskipun sudah ada standard baku dan kuantitatif dalam pemberian opini terhadap suatu laporan keuangan, namun dalam praktiknya di lapangan, pemberian opini bisa dimanipulasi.

Laporan keuangan yang seharusnya mendapatkan WDP bisa diubah menjadi WTP, bahkan mungkin saja, predikat disclaimer atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP) diubah menjadi WTP.

Opini disclaimer dikeluarkan jika auditor menolak memberikan pendapat. Dengan kata lain, sebenarnya tidak ada opini yang diberikan. Dalam hal ini, auditor tidak bisa menyakini apakah laporan keuangan wajar atau tidak.

Opini ini bisa diterbitkan jika auditor menganggap ada ruang lingkup audit yang dibatasi oleh institusi yang diaudit, misalnya karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan laporan sudah disajikan dengan wajar.

Harian KOMPAS Jenis opini BPK

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com