Yang kedua, cara melihat bisnis di dalam negeri tak bisa lagi hanya melihat dalam konteks silo, eksklusif, imune dari dunia luar.
Bisnis, dalam konteks Industry 4.0 lebih melihat pada peran keterhubungan, kesaling-tergantungan, reciprocal benefit. Tak lagi melulu soal resources, tetapi lebih pada ekosistem bisnis global, makro dan mikro.
Silakan bayangkan, berapa banyak pihak dalam negeri yang mau sekaligus mampu mengucurkan dana miliaran dolar bagi ke empat unicorn ini?
Angka yang besar dengan resiko yang belum begitu kelihatan, bukankah itu yang menghambat para pendana lokal untuk secara masif menyerbu industri startup kita?
Terima saja kenyataan ini, kita belum memiliki nyali yang cukup untuk membuang umpan besar demi menangkap ikan raksasa.
Yang ketiga, ‘brand portfolio’ yang bakal melekat erat pada desa kecil bernama Indonesia ini.
Tahun 1999 satu produsen kecap dan saus nasional diakuisisi mayoritas sahamnya oleh perusahaan raksasa asal Amerika HJ Heinz senilai 70 juta dolar.
Di tahun 2003 HJ Heinz kemudian diakuisisi mayoritas sahamnya oleh miliarder Warren Buffet senilai 28 miliar dolar.
Bayangkan, sebuah produk lokal yang lahir di desa kita dipinang sebuah perusahaan global yang kemudian diakuisisi oleh seorang investor jenius seperti Warren Buffet.
Rumor mengatakan, “apapun yang dibeli oleh Warren Buffet pasti bagus, dan akan makin bagus.” Kisah selanjutnya menjadi sejarah pabrik saus dan kecap itu.
Bisnis konvensional belum bisa melihat konsep keterhubungan dalam konteks sharing economy and ecosystem ini secara jernih.
Mereka lebih takut kehilangan umpan ketimbang kehilangan kesempatan. Mereka takut kepada dunia luar yang mungkin di sudut penglihatan mereka, seperti dunia yang akan menghancurkan desa mereka.
Mereka belum siap melihat efek berantai dari masuknya dana global ke unicorn-unicorn di desa kita ini: ratusan ribu UMKM yang bangkit dan terkoneksi dengan pasar global, menjamurnya industri kreatif, makin cerdasnya anak-anak muda melihat peluang, dan yang sangat penting, transformasi sistem pendidikan dasar dan menengah kita yang tak boleh lagi menafikan trend-trend global di mana anak-anak kita bisa belajar melalui ‘sumber-sumber pendidikan global’ dari kamar tidur mereka.
Mirip kisah di film Apocalypto. Kepala suku Maya, Flint Sky, berbicara kepada Jaguar Paw, anaknya yang beranjak dewasa, “Aku tidak membesarkanmu untuk tunduk pada rasa takut nak. Lawan dengan hatimu. Jangan pernah bahwa ketakutan itu ke desa kita!”
Saya kira para leluhur di desa kita, Indonesia, pun akan berbicara hal yang sama kepada kita. Mereka tak ingin kita membiarkan rasa takut masuk ke desa kita, alih-alih mengundangnya masuk. Apocalypto!