Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Cool Village: Desa Unicorn Melawan Xenophobia

Kompas.com - 08/03/2019, 07:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Barangkali EPL ini adalah representasi sekaligus refleksi dari proses globalisasi sebuah ‘desa kecil’ yang bernama Inggris Raya.

Rakyat mereka – lepas dari permasalahan soal Brexit – justru senang dan bangga, bahwa EPL telah menghadirkan seluruh dunia, ya penontonnya, yang uangnya, ya industri-industri pendukungnya, masuk ke Inggris.

EPL telah menjadi salah satu signature Inggris yang menjadikan Inggris negara dan bangsa yang besar.

Merek-merek lokal diserbu pendana global. So?

Lalu saya jadi ingat diskursus mengenai empat unicorn (perusahaan rintisan dengan valuasi 1 miliar dolar atau lebih) di Indonesia.

Salah satu dari ke empatnya bahkan siap memasuki status decacorn, dengan valuasi 10 miliar dolar atau lebih.

Saya sangat bangga dan kagum dengan anak-anak muda yang berhasil megikuti gelombang sharing economy dan ecommerce di desa kecil Indonesia ini. Mereka telah membawa nama Indonesia ke panggung teknologi dunia yang selama ini hanya diisi negara-negara maju.

Dalam segala keterbatasannya, mereka berhasil menjadikan perusahaan-perusahaan mereka semenarik EPL di Britania Raya, sehingga perusahaan-perusahaan besar dunia sangat ingin menjadi bagian daripada keempatnya itu?

Dan, mereka berhasil.

Perusahaan-perusahaan raksasa teknologi serta keuangan global masuk menjadi investor mereka. Lalu sebagian dari kita mulai takut: unicorn kita tak lagi dimiliki Indonesia.

Hmm ….ini pandangan saya.

Pertama, tak ada satu pun yang bisa melawan perubahan, terutama yang berkaitan dengan teknologi. Kita hanya bisa mensiasatinya dengan bijak namun cerdas.

Kita patut bersyukur bahwa keempat unicorn di desa kecil kita ini benar-benar hasil jerih payah anak bangsa, bukan impor. Dibangun di sini, besar di sini, menjadi berkat bagi puluhan juta orang, … di sini.

Bahwa banyak pendana global yang berminat berinvestasi di keempatnya, patut juga kita syukuri.

Dunia melihat anak-anak desa kita berinvestasi pada diri mereka sendiri dengan peluh dan berdarah-darah dompetnya, wajar bila para investor global ikut meyakini bahwa berinvestasi di anak-anak muda pekerja keras ini akan memberikan benefit terbaik buat mereka dan dunia.

Pendana global tak hanya melihat peluang masa depan, tapi juga bagaimana para pendiri start-up ini secara positif bersikap terhadap segala permasalahan dan tantangan bisnis mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com