Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Konglomerasi Usaha Rakyat dengan Koperasi Venture Builder

Kompas.com - 27/03/2019, 20:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

USAHA mikro dan kecil di Indonesia jumlahnya mencapai 98,7 persen dan 1,2 persen. Keduanya menyerap tenaga kerja sampai 97 juta orang. Puluhan tahun mereka berada level itu dan sulit sekali untuk naik kelas.

Bank Dunia menyebut fenomena itu sebagai the missing middle. Di mana usaha kelas menengah mengalami stagnasi di angka 0,11 persen, karena yang mikro dan kecil tak pernah bisa naik level. UU 20/ 2008 membagi, yang termasuk usaha mikro bila omset tahunan sampai 300 juta. Usaha kecil omzetnya dari Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar. Dan usaha menengah bila omzet tahunannya di atas Rp 2,5 miliar sampai Rp 50 miliar.

Hal itu sebabnya banyak. Pertama karena mindset, pelaku usaha mikro dan kecil itu berusaha lebih disebabkan kebutuhan (by necessity) daripada peluang pasar (by oportunity). Ini erat kaitannya dengan penciptaan nilai tambah suatu usaha.

Kedua karena kapasitas manajerial. Mulai dari manajemen produksi, keuangan, legalitas sampai pemasaran yang dilakukan secara mandiri.

Ketiga adalah soal akses modal. Yang terakhir ini relatif lebih mudah disolusikan. Tambah saat ini sedang digalakkan program inklusi finansial dari pemerintah dan pihak lainnya.

Puluhan bahkan ratusan lembaga/ komunitas banyak berupaya dampingi mereka. Sebut misalnya Komunitas Tangan di Atas (TDA), Business Development Service (BDS), Pendamping UKM, Konsultan PLUT dan berbagai lembaga lainnya.

Belum lagi ditambah program masing-masing Kementerian/ Lembaga yang juga menyasar pada kelompok yang sama namun dengan istilah berbeda. Sudah banyak cara diupayakan untuk menaikkelaskan. Memang tidak mudah.

Geser Paradigma

Para pendamping UKM lebih banyak yang berstatus sebagai relawan (volunteer) daripada yang bergaji. Mereka lakukan pendampingan sebagai panggilan jiwa atau passion.

Tujuannya mulia, yakni meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha mikro dan kecil. Sebab, setiap satu dari mereka pasti memiliki keluarga: anak dan istri/ suami. Mendampingi usaha mereka sama dengan membantu sebuah keluarga hidup dengan lebih baik.

Tetangga saya kebetulan bekerja sebagai tukang sol sepatu di pinggir jalan. Usianya di bawah 40 tahun. Badannya sehat dan kuat. Ia memiliki dua anak, yang laki-laki SMP dan satunya SD. Si istri bekerja sebagai rewang atau pembantu rumah tangga. Saya ingin membantunya agar ia punya pekerjaan lebih bagus, tentu dengan pendapatan yang lebih baik.

Ada dua cara saya bisa membantunya. Pertama yakni dengan jalan mendampingi usahanya seperti yang dilakukan para pendamping UKM kebanyakan.

Yang kedua dengan jalan mengajaknya berbisnis. Saya cukupi modal dan yang bersangkutan operasionalkan bisnisnya. Kami bisa berkolaborasi dengan modalitas masing-masing: ada modal, tenaga dan waktu. Hasilnya, ia memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Saya memperoleh bagi hasil. Kami berdua senang.

Masalah yang sama bisa didekati dengan cara berbeda. Melakukan pendampingan atau langsung terlibat langsung dalam usahanya. Yang pertama adalah pendekatan khas pemberdayaan sosial-ekonomi. Yang kedua adalah pendekatan apa yang saya sebut sebagai venture builder atau aktivitas pembangunan dan pengembangan usaha.

Venture Builder

Bagaimana bila upaya venture builder tadi kita lembagakan? Bagaimana bila kita kolaborasikan beberapa pihak sekaligus? Bagaimana model yang bisa menjawab tantangan dan kondisi seperti itu?

Kisah saya dan tetangga di atas menggambarkan dua pihak yang berkolaborasi. Saya berperan sebagai investor-owner dan tetangga saya sebagai worker-owner. Saya berinvestasi pada usaha tertentu dengan menanggung resiko. Yang bersangkutan mengoperasionalkan usaha tersebut. Bila untung, sama-sama dibagi. Bila kurang beruntung, sama pun.

Agar kami memperoleh nilai tambah yang lebih bagus tentu tak bisa andalkan sol sepatu. Kami perlu mencari peluang usaha yang menjanjikan. Masalahnya saya tak miliki pengalaman dan tetangga saya juga. Di situlah kemudian saya hadirkan satu pihak lagi. Saya sebut sebagai builder-owner.

Builder adalah seorang usahawan yang sudah berpengalaman memiliki dan mengelola usaha tertentu. Dengan bantuan builder, kami berdua bisa memiliki usaha yang lebih menguntungkan. Builder berperan dalam membangun usaha kami. Lebih tepatnya kami bertiga. Sebab builder juga menjadi owner.

Sekarang ada tiga pihak. Investor yang memiliki modal. Builder memiliki pengalaman. Worker memiliki tenaga. Ketiganya berkolaborasi untuk membangun usaha baru. Masing-masing memperoleh bagi hasil dari usaha tersebut sesuai dengan kesepakatan. Dan ketiga pihak secara bersama-sama (co-ownership) memiliki usaha tersebut.

Skema di atas bisa kita replikasi pada usaha apapun. Sejauh ada builder, maka kita bisa mereplikasinya. Kekuatannya terletak pada pengalaman dan kecapakan builder. Ia mempunyai rumus sukses usaha yang bisa jadi hasil jatuh-bangun bertahun-tahun. Sebab itu, ia juga diberikan bagi hasil yang menjanjikan.

Koperasi Venture Builder

Tiga pihak itu bisa bertambah jumlah dan jenis usahanya. Di sini lembaga penyangga menjadi penting. Koperasi bisa menjadi basis perusahaannya. Koperasi kemudian yang akan mengolaborasi dan mengorganisasi tiga pihak: member investor, member builder dan member worker. Semuanya adalah member atawa anggota.

Bila ingin membuka usaha salon, cukup cari builder yang memiliki dan mengelola salon. Lalu builder diminta membangunnya selama enam sampai 12 bulan untuk koperasi. Modalnya dari para investor. Yang mana semua orang bisa menjadi investor. Polanya adalah crowd investment, sebuah skema penyertaan modal koperasi dengan nominal kecil sehingga dapat diakses banyak orang.

 Kemudian setelah usaha berdiri, operasionalnya diserahkan kepada manajemen koperasi. Para worker atau pekerja statusnya menjadi karyawan koperasi. Misalnya karyawan koperasi untuk anak usaha salon. Mereka digaji atau diberikan upah yang layak. Tak ketinggalan diberikan bagi hasil juga. Sebab, mereka juga owner anak usaha tersebut.

Anggota investor bisa diberikan bagi hasil sebesar 50 persen dari laba bersih. Di sini orangnya bisa banyak. Bisa puluhan atau ratusan. Tergantung skala usaha dan kebutuhan modalnya.

Builder bisa diberi bagi hasil 20 persenatas kerja building-nya. Prosentasenya bisa diturunkan setelah tahun ketiga menjadi 5 persen.

Builder jumlahnya satu orang. Lalu worker bisa diberikan bagi hasil sebesar 10 persen. Jumlahnya bisa satu atau dua orang tergantung skala usaha. Tentu saja pengurus dan pengelola koperasi juga diberikan bagi hasil, angkanya bisa sampai 10 persen. Dan tentu saja laba juga dialokasikan sebagai cadangan, misalnya 10 persen.

Dengan skema bagi hasil seperti itu semua pihak yang terlibat menjadi termotivasi. Bila semua ingin makan roti, maka pertama-tama builder harus membangun usaha itu dengan bagus (proven). Sebab bagi hasilnya bagus, builder termotivasi. Ditambah dia cukup bekerja sekali namun bisa nikmati bagi hasil selama usaha tersebut berdiri.

Konglomerasi Usaha Rakyat

Koperasi venture builder bertujuan untuk membangun anak-anak usaha di bawahnya. Sehingga koperasi ini pasti berbentuk holding atau perusahaan payung. Ini berbeda juga dengan koperasi P2P Investment/ Crowd Investment.

Bedanya, pada venture builder, semua anak usaha adalah milik koperasi. Para pihak co-ownership pada anak-anak usaha di mana mereka berpatisipasi (modal, pengalaman dan tenaga). Sedangkan pada P2P Investment, peran koperasi hanya memobilisasi modal dan menyalurkannya pada usaha tertentu. Status usaha dimiliki oleh pemiliknya.

Sesungguhnya dengan skema ini kita sedang melakukan konglomerasi usaha mikro dan kecil atau sektor usaha rakyat. Sebab setiap anak usaha yang dibangun dan dikembangkan, misalnya angkringan, tambat ban atau sate, dikelola secara profesional sebagai anak usaha perusahaan. Dengan cara demikian standar operasional dan mutu bisa dijaga. Kuncinya adalah pada manajemen operasional oleh para manajer, bukan pada jenis usahanya.

Sehingga seluruh aset anak usaha tercatat dan terkonsolidasi pada neraca koperasi. Alhasil tak ada lagi “usaha mikro dan kecil”, sebab semuanya terkonsolidasi menjadi satu di bawah payung holding koperasi.

Status para worker adalah karyawan/ pekerja koperasi. Mereka juga bisa berperan sebagai investor pada anak usaha yang lain. Sebabnya skema investasi bersifat crowd investment tadi. Maka, worker tak hanya memperoleh active tapi juga passive income bulanan.

Koperasi venture builder ini adalah model baru di Indonesia. Menurut saya modelnya lebih dekat pada genus koperasi pekerja (worker co-op) daripada koperasi investasi (investment co-op).

Proposisi nilai yang ditawarkan yakni menciptakan lapangan kerja dan kekayaan (passive income generating) bagi para pihak. Model seperti ini menurut saya sangat cocok dikembangkan di Indonesia, negeri berjuta-juta UKM. Geser paradigmanya: masalah bagi mereka, peluang bagi kita semua. Kolaborasi adalah koentji! []

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com