Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Heboh Tolak Gaji Rp 8 Juta dan Gunung Es Ketenagakerjaan Kita

Kompas.com - 02/08/2019, 18:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Kanti Pertiwi dan Qusthan Firdaus

JAGAT maya Indonesia baru-baru ini dihebohkan kisah seseorang yang mengaku lulusan universitas ternama yang tidak puas ditawari gaji Rp 8 juta saat wawancara kerja.

Walaupun tak jelas kebenaran sumbernya, kisah itu viral dan mencatat angka lebih dari 5.000 penelusuran di Google per 26 Juli 2019, sekaligus menenggelamkan berita tentang turunnya ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Rencana pemerintah untuk memajaki pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan seharusnya lebih menyedot perhatian karena berdampak pada kelompok pekerja dengan bayaran minimalis (sesuai upah minimum regional).

Menurut kami, tanggapan masyarakat yang begitu besar ini hanyalah puncak dari gunung es permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.

Masalah ini utamanya terkait ketiadaan otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dan iklim ketenagakerjaan yang sangat berorientasi pada pasar.

Standar gaji

Menyimak komentar-komentar di media sosial, tampak bahwa gaji merupakan wacana yang sensitif, tabu, dan patut dirahasiakan di Indonesia.

Pemahaman soal gaji tidak dapat dilepaskan dari konteks tingginya pengangguran dan elemen budaya yang kental, seperti soal arogansi dan konsep bersyukur. Budaya orang Indonesia (baca: Jawa) yang kental dengan sikap nrimo tampaknya berperan signifikan dalam hal ini.

Di saat yang sama, sedikit sekali informasi publik yang bisa diakses terkait gaji pekerja. Data yang tersedia hanya dari Badan Pusat Statistik atau data riset universitas yang menampilkan rerata gaji pekerja.

Data ini, sayangnya, tidak memisahkan antara jenis pekerjaan yang beragam berikut tingkat keahlian maupun pengalaman.

Sebetulnya, ada sumber data lain dari perusahaan swasta penyedia jasa pengelolaan pekerja seperti Kelly Services yang berbasis di Singapura atau Robert Walters yang berbasis di Inggris yang memiliki acuan gaji pekerja Indonesia untuk berbagai jenis pekerjaan di beberapa sektor.

Namun demikian, data di atas tidaklah ideal untuk dijadikan panduan menentukan gaji pekerja karena ia merupakan data survei yang tidak mengenal konsep kelayakan dari sisi pekerja dan tidak memiliki kekuatan dari segi hukum.

Di negara maju seperti Australia, standar gaji pekerja berlaku lintas pekerjaan dan lintas industri serta ditetapkan lewat standar nasional, yaitu National Employment Standards (Standar Pekerjaan Nasional).

Standar ini berisi sepuluh poin yang memuat di antaranya jumlah jam kerja maksimal per minggu, dan ketentuan tentang cuti dan pemecatan.

Di sana, gaji seorang teknisi komputer di rumah sakit, misalnya, akan berada di rentang yang sama dengan gaji posisi serupa di perusahaan otomotif.

Selain itu, Australia juga memiliki sistem enterprise agreement atau perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme perjanjian kerja bersama di Indonesia.

Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh Fair Work Commission (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.

Ketiadaan standar yang spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal.

Selain itu, pandangan masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur, nrimo, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja.

Tidak heran, banyak praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal status kepegawaian yang rentan manipulasi, gaji tidak dibayar, hingga fakta bahwa pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali dalam setahun sementara di negara maju sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).

Orientasi pasar

Ketiadaan standar ini, menurut kami, diperparah dengan kuatnya roh neoliberalisme dalam iklim ketenagakerjaan kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk "bersaing" lewat mekanisme pasar yang minim intervensi pemerintah.

Keberadaan standar yang berkekuatan hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya.

Tak sedikit pengguna media sosial dan juga pakar yang berkomentar bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan keahlian yang dimiliki pekerja.

Dari penelusuran kami, kata kunci yang banyak disebut adalah "skill" (kemampuan), "kompetensi", "kapasitas", dan "kontribusi untuk perusahaan".

Hal ini seirama dengan konsep pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan bisnis, tetapi tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka terhadap isu ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat.

Pendidikan neoliberal sangat menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan meminggirkan solidaritas sosial dan empati–karakter sosial yang justru masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga.

Ini diperburuk pula oleh logika human capital (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara pekerja unggul dan tidak unggul hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan kesejahteraan pekerja.

Konsep ini menegaskan bahwa besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa menunjukkan "kualitas" dirinya.

Sementara, di antara para pakar yang bersuara di media arus utama belum ada yang mengungkit persoalan ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum provinsi.

Langkah ke depan

Menurut kami, yang pertama perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan pemberi kerja di Indonesia.

Penentuan gaji pekerja perlu diatur dengan mempertimbangkan apa saja hak-hak pekerja, termasuk besar minimum yang menjamin kelayakan hidupnya, berdasarkan standar sosial yang terus berubah–-yang sering disebut sebagai living wage atau upah hidup layak.

Dengan adanya standar gaji nasional yang mencakup beragam jenis pekerjaan, para pekerja memiliki landasan ketika menuntut jumlah gaji di tertentu.

Nantinya, persoalan gaji tak lagi hal tabu. Di belahan dunia lain, pekerja justru didorong untuk meminta kenaikan gaji.

Ini sejalan dengan pendapat ahli bahwa pertumbuhan gaji berdampak positif untuk perekonomian.

Barangkali, sifat-sifat pekerja milenial yang penuh percaya diri akan berkontribusi positif pada upaya ini.

Kedua, para pakar dan praktisi lintas bidang perlu memberikan saran produktif untuk perbaikan kelas pekerja di Indonesia dan tidak larut dalam pembentukan opini oleh media yang cenderung melindungi kepentingan bisnis demi pemasukan.

Ada satu hikmah dari kisah Rp 8 juta ini, yaitu desakan pada pemerintah untuk membuat standarisasi gaji para pekerja yang komprehensif dan menyediakan mekanisme yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak pekerja.

Itu semua perlu agar persoalan yang kini tampak tabu dan gaib dapat samar-samar tersingkap, kemudian nyata di masa depan.

Kanti Pertiwi
Lecturer, Universitas Indonesia

Qusthan Firdaus
Dosen di Binus Business School, Binus University

Artikel ini ditayangkan oleh Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Isu 'Gaji 8 juta' tunjukkan ketidakjelasan standar gaji di Indonesia". Isi di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com