Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Cukai Rokok Berdampak ke Jutaan Orang dan Penerimaan Negara

Kompas.com - 10/09/2019, 17:24 WIB
Murti Ali Lingga,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan meratifikasi perjanjian internasional, Framework Convention on Tobacco Control (FTCC) karena dinilai sarat kepentingan asing yang berberdampak pada industri tembakau tanah air.

Sebagai pengganti, pemerintah telah menetapkan peraturan lain untuk memastikan industri ini dapat dikontrol. Yaitu lewat perubahan kebijakan struktur tarif cukai rokok melalui simplifikasi tarif dan penggabungan volume produksi Sigaret Kretek Tangan (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Bayu Kharisma telah melakukan kajian tentang kebijakan cukai rokok dengan skema simplikasi SKM dan penggabungan SPM. Hasilnya membuktikan, apabila kebijakan itu belaku maka berpotensi mengurangi penerimaan negara.

Baca juga : Cukai Rokok Tahun Depan Naik, Ini Pertimbangan Pemerintah

Penggabungan volume ini disimulasikan dengan adanya perubahan harga cukai per-batang pada golongan 2 layer 1 dan layer 2 menjadi golongan 1.

"Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan 2 layer 1 akan turun sebanyak 258 ribu batang per-bulan, sedangkan SKM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 113 ribu batang per-bulan. Pada jenis rokok SPM penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan 2 layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang, dan SPM golongan 2 layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang," tutur Bayu di Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Meluas

Menurut Bayu, imbas dari diberlakukannya penggabungan volume produksi SPM dan SKM juga akan meluas ke berbagai aspek.

 

 

Bagi pelaku industri golongan II layer 1 dan 2, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka, sehingga menyebabkan hilangnya lapangan kerja ketika banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.

"Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan 2 menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94 persen," jelasnya.

Dia menambahkan, berdasarkan data Bea dan Cukai, kandungan setiap rokok pada SKM golongan 2 menggunakan tembakau dalam negeri 72 persen, cengkeh 22 persen, dan tembakau impor 6 persen.

Pada 2018, data dari Kementerian Pertanian produksi tembakau lokal sebanyak 171.360 ton dan hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap oleh industri tembakau dalam negeri.

"Sedangkan, produksi cengkeh nasional pada 2017 (data BPS) mencapai Iebih dari 140.000 ton menempatkan Indonesia adalah produsen cengkeh terbesar di dunia.

 

Baca juga : Bahana Sekuritas: Kenaikan Harga Rokok Cenderung Terbatas

Hampir 90 presen produksi cengkeh nasional diserap oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku rokok kretek," ungkapnya.

Sementara itu, tambah Bayu, dampak simplifikasi pada sisi penjualan juga terjasi, dimana perusahaan di golongan 2 terpaksa menaikan harga rokok. Akibatnya, dengan memahami bahwa harga adalah salah satu faktor penentu bagi konsumen rokok di Indonesia, maka preferensi konsumen akan beralih ke rokok lain yang lebih murah.

 

"Harga Jual eceran rokok semakin mahal, dan timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah," lanjutnya.

Oligopoli

Tak hanya itu, kebijakan simplikasi dan penggabungan itu juga berdampak ke dunia usaha. Langkah itu berpotensi akan mendorong ke arah oligopoli, ketika perusahaan yang terdampak oleh simplifikasi dan penggabungan terpaksa diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar.

"Bahkan, mungkin mengarah kepada monopoli, ketika hanya perusahaan golongan 1 saja yang tidak akan terdampak oleh perubahan, sementara perusahaan di golongan lainnya kesulitan dalam menyesuaikan. Akibatnya, perusahaan di golongan 1 menjadi pihak yang menguasai dan mengontrol pasar," imbuhnya.

Baca juga : Harganya Terus Naik, Rokok Jadi Penyebab Kemiskinan di Indonesia

Sementara itu, peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD) lain, Satriya Wibawa menambahkan, jika melihat dampak Kompleks dari kebijakan itu maka seharus pemerintah mencermati kembali. Bahkan, Satriya dan Bayu merekomendasikan untuk mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada saat ini.

"Perubahan terhadap struktur saat ini hendaknya dilandasi pada kajian yang sangat matang, kajian menyeluruh dari berbagai sisi dan kepentingan. Terlebih, ketika menetapkan kebijakan yang berdampak pada jutaan orang dan aspek penerimaan negara," kata Satriya menambahkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Lowongan Kerja PT Honda Prospect Motor untuk S1, Ini Persyaratannya

Lowongan Kerja PT Honda Prospect Motor untuk S1, Ini Persyaratannya

Whats New
Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Whats New
Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Whats New
Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Whats New
Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com