Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

G20: Momentum Indonesia Berkontribusi Dorong Aksi Strategis Atasi Perubahan Iklim

Kompas.com - 21/06/2022, 20:10 WIB
Elsa Catriana,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Melihat dampak krisis iklim yang semakin nyata, maka desakan kepada pemerintah semakin kuat untuk memanfaatkan momentum G20 menghasilkan aksi strategis untuk memitigasi perubahan iklim.

Dampak tersebut bisa dilihat, salah satunya, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), di mana peningkatan suhu udara di atas rata-rata di beberapa wilayah Indonesia terjadi selama beberapa bulan terakhir.

Bahkan hasil analisis pengukuran suhu permukaan pada 92 stasiun BMKG selama 4 dekade terakhir memperlihatkan kenaikan suhu permukaan dengan laju bervariasi.

Baca juga: Persemaian Rumpin, Contoh Nyata Kolaborasi Pemerintah-Swasta Atasi Perubahan Iklim

Dari sisi lokasi, wilayah Indonesia bagian barat dan tengah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Misalnya, laju kenaikan suhu udara permukaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebesar 0,40-0,47 derajat celcius per dekade, lalu Sumatera bagian timur, Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan lebih dari 0,3 derajat celcius per dekade.

BMKG menekankan, penyebab dari peningkatan suhu udara adalah faktor klimatologis yang dampaknya dipengaruhi oleh fenomena atmosfer.

Analisis big data BMKG juga memprediksikan tren peningkatan suhu udara bisa mencapai meningkat hingga 0.5 derajat celcius pada tahun 2030. Akibat tren kenaikan suhu ini, maka potensi kekeringan akan meningkat sebesar 20 persen dan hujan lebat hingga ekstrem juga meningkat sampai 40 persen.

Melihat fakta di lapangan dan data BMKG, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berpendapat bahwa pemerintah memiliki peran kunci untuk menghentikan kegiatan alih fungsi lahan agar tidak terjadi deforestasi.

Karena deforestasi bisa menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

“Kami menuntut agar pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin baru di kawasan hutan. Izin baru ini bisa mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, atau hutan tanaman industri (HTI),” ujar Uslaini Chaus, Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional WALHI dalam siaran resminya, Selasa (21/6/2022).

“Kami juga mempertanyakan pengalihan fungsi lahan menjadi food estate. Membangun ketahanan pangan tidak bisa dengan cara mengorbankan kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan banyak masyarakat lokal dan adat serta ekosistem satwa dan fauna, tetapi dengan intensifikasi lahan pertanian yang ada," sambung Chaus.

Baca juga: Pertemuan 2nd FWG G20 Bahas Dampak Makro Ekonomi dari Perubahan Iklim dan Scarring Effect

WALHI mendukung pembuatan kebijakan untuk mencapai nol deforestasi, serta mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari pembukaan lahan tersebut.

Perusahaan wajib untuk mencari area pengganti kawasan hutan yang mereka eksploitasi. Misalnya, perusahaan pertambangan wajib melakukan kegiatan reklamasi pascapenambangan.

Pendapat yang sama tentang kewajiban perusahaan juga dikemukakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Perusahaan memiliki peran penting dalam upaya menuju nol deforestasi, yaitu dengan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan penghormatan HAM dalam kegiatan operasionalnya. Dengan demikian, kegiatan perusahaan perlu diregulasi agar bisa mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan tersebut,” ujar M. Teguh Surya, Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan.

Teguh menyatakan, pasar global sudah berubah, di mana konsumen global memiliki kesadaran lebih besar dalam memilih produk yang mengedepankan prinsip berkelanjutan.

Bahkan produsen pun akhirnya didorong untuk mengakomodasi kebutuhan pasar tersebut dengan mengganti sumber bahan mentah dari rantai pasok yang mengadopsi prinsip berkelanjutan.

Sebuah penelitian terbaru dari Accountability Framework Initiative (AFI) dan CDP3, perusahaan diprediksi bisa merugi hingga 80 miliar dollar AS, jika tidak mengatasi risiko deforestasi pada rantai pasoknya.

“Persaingan di pasar global ini memang sangat ketat, sehingga bisnis tidak punya pilihan selain bertransformasi agar bisa menyesuaikan dengan kondisi pasar. Sekarang tinggal melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam mengedepankan keberlanjutan ini. Terutama di tengah Presidensi G20 Indonesia, seharusnya pemerintah bisa membuktikan kontribusinya dalam prinsip berkelanjutan dengan mendorong implementasi nyata menuju nol deforestasi,” kata Teguh Surya.

Mengenai sorotan dunia kepada Indonesia sebagai Presidensi G20, Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian sepakat agar Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini dengan baik.

“Dengan posisi sebagai Presidensi G20, saya berharap Indonesia bisa mendorong pergerakan bilateral untuk nol deforestasi, pemanfaatan energi berkelanjutan, dan hal-hal lain yang menjadi permasalahan global,” kata Edvin, yang juga menjabat sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair.

Lebih jauh, Edvin ingin mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan dari matahari, angin, dan gelombang di laut.

“Saya bermimpi suatu saat nanti perusahaan di Indonesia akan bertransformasi. Misalnya, Pertamina berubah fungsi menjadi perusahaan energi yang terbarukan. Menurut saya, sudah saatnya perusahaan mengubah model bisnisnya agar menjadi lebih berkelanjutan,” pungkasnya.

Baca juga: Perubahan Iklim Mengancam Ketahanan Pangan, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com