Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat: Disparitas Harga BBM Bisa Bikin Dana Subsidi dan Kompensasi Energi Membengkak Rp 600 Triliun

Kompas.com - 14/07/2022, 16:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Adanya disparitas atau kesenjangan pada Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan BBM subsidi, yang terlalu tinggi dinilai bisa membuat pemerintah mau tidak mau menanggung beban Subsidi dan Kompensasi hingga Rp 600 triliun.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira pembengkakan ini terjadi salah satunya akibat adanya potensi migrasi pengguna BBM nonsubsidi ke BBM subsidi akibat kenaikan harga BBM non subsidi yang mulai diberlakukan akhir pekan lalu.

“Saya lebih menyebutnya ada pembengkakan dana subsidi dan kompensasi, ini bisa menyentuh Rp 600 triliun tahun ini, jadi berkali – kali lipat. Salah satunya akibat migrasi dari BBM nonsubsidi ke subsidi, dan harga minyaknya yang juga tinggi yang menanggung harga keekonomian itu,” kata Bhima kepada Kompas.com, Kamis (14/7/2022).

Baca juga: Kenaikan Harga Pangan dan BBM Non Subsidi Bisa Pacu Inflasi RI Mencapai 4,6 Persen di Juli 2022

Pada Mei 2022 lalu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui untuk menambah anggaran subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun dan kompensasi sebesar Rp 216,1 triliun. Kenaikan pagu subsidi dan kompensasi energi ini akan dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) baru.

"Kita sudah mendapatkan persetujuan dari Banggar untuk menaikkan pagu subsidi dan kompensasi. Tentu ini akan dituangkan dalam suatu Keputusan Presiden baru mengenai rincian anggaran 2022," ujarnya saat konferensi pers APBN KITA, Senin (23/5/2022).

Baca juga: Dirut Pertamina Beberkan Harga Asli Pertamax, Pertalite, Solar, hingga Elpiji Jika Tak Disubsidi

Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam Economic Challenges - Bom Waktu Subsidi BBM di Metrotvnews, Selasa (12/7/2022) menyebutkan dengan disparitas harga dan potensi shifting masyarakat ke BBM subsidi bisa menyebabkan kerugian negara.

Berdasarkan harga Indonesia Crude Price atau ICP harga keekonomian Pertalite dengan zero margin adalah Rp 17.000 per liter, dengan subsidi pemerintah, maka masyarakat membeli Pertalite seharga Rp 6.450 per liter. Untuk solar dan Pertamax, harga keekonomiannya adalah Rp 18.000 per liter, dengan harga yang dijual di masyarakat untuk Solar sebesar Rp 5.150 per liter.

“Sebetulnya pemerintah memberi subsidi besar sekali untuk setiap liter Pertalite yang dijual, sampai Rp 9.550 per liter, solar lebih besar lagi. Jika semuanya pindah ke BBM subsisdi, ini akan merugikan negara,” ungkap Nicke.

Baca juga: Pertamina Yakin Kenaikan Harga Elpiji 12 Kg Tidak Picu Migrasi ke Ukuran 3 Kg

Menurut Bhima, kenaikan harga BBM nonsubsidi bisa memicu migrasi yang lebih besar lagi. Sehingga ia mengimbau agar Pemerintah bisa menjaga disparitas harga agar tidak terlalu besar antara BBM non subidi dengan BBM subsidi. Di sisi lain, penyaluran BBM subsidi harus diawasi dengan ketat.

“Saya usul, negara kan sedang mendapat keuntungan dari komoditas, jadi peneriamaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak itu bisa diprioritaskan untuk subsidi energi. Kalau mau melakukan pembatasan juga harus dipastikan pendataannya, jangan sampai yang berhak tidak mendapatkan BBM subsidi atau dipersulit,” tegas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com