Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Rahardjo
Komisaris Utama L&G Risk Solution

S2 Magister Manajemen UGM Yogjakarta (2007); The Chartered Insurance Institute College of Insurance London-UK (1998); Insurance Associateship The Institute Insurance of New Zealand (1997).
Kolumnis, Saksi Ahli litigasi perasuransian, narasumber media cetak nasional, online, elektronik, dan WEBINAR isu perasuransian.
Komisaris Utama L & G Risk Services (2006–sekarang).
Penerima penghargaan 10 Tokoh Asuransi di bidang edukasi dan literasi oleh STMA Trisakti 2022.
Pendiri KUPASI (Komunitas Penulis Asuransi Indonesia)
Penulis buku Tetralogi ROBOHNYA ASURANSI KAMI – Wanaartha Life (2023); Kresna Life (2021); Jiwasraya (2020); Bumiputera (2020)

Urgensi Lembaga Penjamin Polis

Kompas.com - 20/11/2022, 18:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMBENTUKAN lembaga penjamin polis menjadi kebutuhan mendesak di tengah situasi beberapa perusahaan asuransi gagal bayar.

Apalagi, lembaga penjamin polis telah diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dalam pasal 53 yang sudah harus terbentuk paling lambat Oktober 2017.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No. 40 Tahun 2014, program penjaminan polis memberikan jaminan pengembalian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi.

Selama penjaminan polis belum terbentuk, maka ketentuan penjaminan bagi pemegang polis masih berbentuk Dana Jaminan yang berasal dari kekayaan perusahaan asuransi.

Selain untuk menjalankan amanat UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, langkah ini juga didorong masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan asuransi seperti Jiwasraya, AJB Bumiputera, Krisna Life, Wanaartha Life dan sejumlah asuransi gagal bayar.

Sementara yang telah dilikuidasi oleh OJK seperti Bumi Asih Jaya, Bakrie Life, dan Himalaya.

RUU P2SK

Setelah melalui wacana dan kurun waktu panjang sejak menjadi amanat undang-undang, maka pilihan telah dijatuhkan dari berbagai alternatif yang ada untuk membentuk lembaga penjamin polis.

Pembentukan lembaga ini sudah dipertegas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) atau Omnibus Law Keuangan yang menyebutkan program ini akan dijalankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Berdasarkan draft RUU Omnibus Law Keuangan, LPS bakal menyelenggarakan program penjaminan polis.

Dalam Pasal 65 ayat 1 di Bab VIII tentang Program Penjaminan Polis menyebutkan, LPS berfungsi menyelenggarakan penjaminan polis bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta.

Akan ada beberapa wewenang yang nantinya dimiliki LPS untuk menjalankan program penjaminan polis. Mulai dari penetapan iuran awal dan berkala dari perusahaan asuransi hingga ketentuan pembayaran penjaminan polis.

LPS juga bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban penyelenggaraan Program Penjaminan Polis serta memisahkannya dengan pencatatan aset penjaminan simpanan.

Sedangkan berdasarkan Pasal 69 menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Penjaminan Polis, serta pengelolaan dan penggunaan dana Program Penjaminan Polis diatur dalam peraturan pemerintah.

Pembentukan lembaga penjamin polis diyakini akan membawa perubahan besar dalam industri asuransi nasional karena ada kepastian proteksi premi nasabah, serta dapat meningkatkan kinerja industri asuransi nasional.

LPP akan mendorong minat dan kepercayaan masyarakat menggunakan jasa asuransi, serta menciptakan tata kelola industri asuransi yang lebih sehat.

LPP akan menjadi bagian dari pembenahan industri, sehingga mendukung kelangsungan industri asuransi di dalam negeri.

Ketua Bidang Asuransi Jiwa Syariah Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Paul S. Kartono meyakini dengan adanya LPP, kinerja industri asuransi bisa naik tiga sampai empat kali lipat dari kinerja saat ini.

Dia memaparkan pendapatan industri asuransi jiwa pada 2021 mencapai Rp 241,2 triliun. Angka ini sudah melampaui capaian pendapatan 2019 atau sebelum era Covid-19, yang mencapai Rp 235,8 triliun.

Semester I-2022, jelasnya, aset industri asuransi jiwa senilai Rp 617,8 triliun. Pada periode Maret 2020 hingga Juni 2022, industri asuransi jiwa telah membayarkan klaim dan manfaat yang berkaitan dengan Covid-19 senilai Rp 9,72 triliun.

Program Penjaminan Polis di industri asuransi sangat krusial mengingat banyaknya keluhan nasabah perusahaan asuransi.

Program Penjamin Polis (PPP) dapat menjadi wadah meningkatkan literasi dan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Sehingga, penetrasi industri asuransi juga semakin meningkat.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penetrasi asuransi di Indonesia tahun 2021 mencapai 3,18 persen PDB, meliputi penetrasi asuransi jiwa 1,19 pesen, asuransi umum 0,47 persen, asuransi sosial 1,45 persen, dan asuransi wajib 0,08 persen.

Penetrasi tahun 2021 bertumbuh dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya 1,2 persen.

Penetrasi asuransi tertinggi di Asean tahun 2020 adalah Singapura sebesar 7,6 persen, Malaysia 4 persen, Thailand 3,4 persen, Vietnam 1,6 persen Produk Domestik Bruto masing-masing negara itu.

Program Penjaminan Polis diharapkan juga dapat meningkatkan literasi masyarakat sekaligus mencegah upaya penipuan konsumen.

Data OJK per 30 September 2022, ada 946 pengaduan kasus asuransi, sebanyak 2.089 pengaduan kasus pembiayaan, dan 2.019 dari fintech.

Lembaga penjamin polis

Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pembentukan LPP antara lain sifat wajib atau sukarela LPP; luas cakupan penjaminan LPP, apakah hanya menjamin asuransi jiwa atau juga termasuk asuransi umum.

Kemudian iuran peserta LPP berbasis jumlah tetap atau berbasis risiko, tidak semua perusahaan asuransi memiliki status kesehatan yang sama, maka dari itu harus melihat dari sisi risiko.

Kriteria dan syarat pemegang polis yang dijamin LPP; risiko yang dikecualikan; mekanisme pembayaran klaim dan pengaduan nasabah; koordinasi antara LPS dengan regulator; jaminan keberlanjutan LPP bila mengalami defisit.

Perlindungan terhadap kerugian yang dialami LPP. LPP bisa mengalami kemungkinan gagal bayar, sebab saat ini banyak perusahaan asuransi yang tengah mengalami permasalahan.

Kita tahu bahwa Jiwasraya saja yang saat ini ditangani IFG belum sepenuhnya mendapatkan suntikan dana yang diperlukan.

Belum lagi AJB Bumiputera yang saat ini juga masih terkatung, sehingga kalau itu semua menimbulkan akumulasi pada program penjamin polis, tentu mereka juga menghadapi ancaman mengalami insolvensi. Oleh karenanya harus ada mekanisme three lines of defense dari program penjaminan polis.

Isu lain protokol intervensi terhadap LPP oleh lembaga lain seperti halnya KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan); protokol atau alur komunikasi LPP dengan anggota; prosedur pemailitan anggota dalam LPP; pemberesan sebagian atau seluruh harta kekayaan anggota LPP dalam likuidasi.

Pemisahan direktorat penjaminan simpanan dengan penjaminan polis di dalam LPS; tenaga profesional di bidang asuransi di dalam struktur LPS; moral hazard bagi perusahaan asuransi dan nasabah anggota LPP sebaliknya pemberian insentif bagi anggota LPP yang mempunyai rekam jejak baik.

Beban bagi anggota bila harus membayar iuran LPP di samping membayar iuran OJK dan LAPS SJK (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan) yang pada akhirnya menjadi beban konsumen.

Co Insurance (skema bagi beban LPP dengan nasabah pemegang polis dan perusahaan asuransi anggota); perlakuan khusus bila LPP bersifat wajib apakah ada insentif atau pengurangan iuran.

Untuk itu, agar LPP efektif dan berfungsi sebagaimana harapan pemegang polis perlu dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

Pertama, tidak menjadi lembaga bail out atau talangan terhadap perusahaan asuransi yang nyata-nyata telah gagal bayar sebelum LPP berdiri.

Kedua, harus ada mekanisme bagi beban atau co insurance dengan nasabah dan perusahaan asuransi anggota.

Ini untuk mencegah moral hazard dan adverse selection bahwa tidak sepenuhnya nasabah dan perusahaan asuransi mendapatkan penjaminan.

Ketiga, kepesertaan LPP harus bersifat wajib bagi setiap perusahaan asuransi dan nasabah, tetapi dengan syarat peserta LPP memiliki kondisi keuangan yang sehat.

Keempat, harus ada komisioner LPS khusus yang membidangi asuransi dan pemisahan dana asuransi yang terpisah dari kekayaan LPS yang ada.

Kelima, tidak semua jenis asuransi bisa mendapatkan penjaminan terutama asuransi korporasi. LPP hanya menjamin asuransi perorangan dan tidak mengandung unsur investasi.

Keenam, dibutuhkan masa transisi yang cukup untuk menyehatkan terlebih dahulu semua perusahaan asuransi yang nantinya wajib untuk mengikuti LPP.

Ketujuh, harus ada mekanisme recourse (tuntutan balik) kepada pihak manajemen atau pemegang saham perusahaan asuransi yang dianggap bertanggung jawab terhadap gagal bayar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com