Lebih dari itu, ini juga membuktikan bahwa ada masalah dalam tata kelola serta pengaturan devisa dalam negeri.
Sebut saja seperti kurang kompetitifnya bunga deposito valas, kurangnya insentif untuk perbankan, ketergantungan instrumen dollar AS yang terlalu tinggi, serta rendahnya variasi instrumen investasi. Alhasil, banyak valas yang kabur ke luar negeri.
Namun, bukan berarti kebijakan DHE baru ini nantinya pasti efektif untuk mengatasi masalah tersebut.
Bila dilihat dari sisi historis, pemberian insentif saja sebenarnya tidaklah cukup. Upaya menarik DHE ke dalam negeri dengan skema insentif pernah dilakukan pada 2015.
Desain insentif tarif pajak terhadap DHE (dalam dollar AS atau rupiah) yang disimpan ke perbankan nasional ternyata tidaklah efektif kala itu.
Alih–alih mendapatkan manfaat, yang terjadi justru keuntungan yang diperoleh lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.
Bisa jadi, manfaat dari kebijakan DHE baru ini hanyalah sementara karena para eksportir nantinya akan memarkir dananya kembali ke luar negeri seusai memenuhi kewajibannya.
Bukan sekadar insentif, tapi persoalan beratnya terletak pada upaya menemukan titik terang antara keperluan eksportir dengan kepentingan ekonomi nasional.
Pasalnya, para eksportir tidak semata-mata memarkir dananya ke luar negeri demi mencapai imbalan yang lebih menggoda. Kebutuhan membayar utang valas dari kegiatan impor demi menunjang kegiatan usahanya juga menjadi faktor yang mereka pikirkan.
Lebih jauh, fakta yang perlu disadari adalah para pelaku eksportir sebagian besarnya masih didominasi pebisnis asing.
Alhasil, kebijakan ini berpotensi jadi kontraproduktif bagi para pebisnis dalam negeri, terutama yang skala ekonominya masih rendah. Lantaran lalu lintas keuangannya bisa mengalami gangguan dan modal kerjanya dalam bentuk valas jadi makin terbatas.
Bila ditelaah lebih dalam, ada juga kemungkinan hambatan dalam bentuk persyaratan, seperti penjaminan DHE ke luar negeri agar ekspor bisa dilakukan di negara tertentu.
Oleh sebab itu, determinasi yang kuat dari pihak asing terhadap kegiatan ekspor nasional juga perlu ditelaah lebih lanjut. Beberapa faktor lain juga perlu diperbaiki untuk bisa memuluskan lintasan dari kebijakan ini.
Contohnya seperti upaya pendalaman pasar keuangan (financial deepening) dalam rangka memaksimalkan fungsi intermediasi perbankan serta mengurangi inefisiensi dan asimetrisme pada pass-through suku bunga.
Akhir kata, apakah kebijakan DHE ini menjadi seutas peranti yang efektif merangkai capaian surplus neraca perdagangan Indonesia selama 33 bulan berturut-turut sejak Mei 2020?
Tercatat bahwa surplus selisih nominal ekspor-impor Indonesia selama ini setara 1,3 persen PDB tahun 2022.
Tak pelak mengacu pada pembentukan tren 2022 tersebut dan kinerja ekonomi tahun ini sebagai tantangan yang riil, maka inisiasi TD valas DHE diharapkan bisa memperkuat ketahanan eksternal dan kestabilan rupiah. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.