TAHUN 2023, Indonesia membayar utang pemerintah (dalam dan luar negeri) sebesar lebih dari Rp 1.000 triliiun, terdiri dari bunga Rp 441 triliun dan pokok utang Rp 590 triliun.
Bunga utang merupakan bagian dari belanja negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat berjumlah Rp 2.246 trliun. Sementara pembayaran pokok utang dibayar dari refinancing utang (dengan utang baru yang lebih murah dan jangka waktu lebih panjang) dan pembiayaan APBN dari defisit.
Secara outstanding utang pemerintah per akhir 2022 menjadi Rp 7.733 triliun, naik dari Rp 4.787 triliun pada masa sebelum Covid-19 (2019).
Kenaikan outstanding utang yang cukup besar selama tiga tahun terakhir merupakan dampak dari pandemi Covid-19.
Dari sisi ukuran kemampuan membayar, Indonesia mampu melakukannya, baik dari sumber penerimaan negara atau refinancing utang.
Pemerintah Indonesia pernah melakukan penjadwalan utang luar negeri dan repfrofiling utang dalam negeri, namun tidak pernah wanprestasi dalam pembayaran pokok dan bunga utang.
Kementerian Keuangan menegaskan Indonesia tidak pernah gagal bayar utang sejak merdeka pada 1945, meski saat ini mencatatkan nilai utang tertinggi.
Dari sisi ukuran kemampuan, meskipun utang meningkat, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini berada pada posisi tertinggi sejak kemerdekaan, sehingga negara berada dalam posisi yang lebih baik untuk melunasi utangnya.
Lagi-lagi Kemenkeu menekankan bahwa pemerintah saat ini dapat mengelola utang dengan baik, tercermin dari proporsi utang negara yang aman dibandingkan dengan pembangunan ekonomi.
Saat ini pengelolaan utang Indonesia pascapandemi Covid-19 membaik. Nilai utang Indonesia pada April 2023 sebesar Rp 7.849 triliun, turun sekitar Rp 28 triliun dari Maret 2023 sebesar Rp 7.879 triliun.
Dengan demikian, rasio utang terhadap PDB pemerintah Indonesia sebesar 38,15 persen.
Rasio utang terhadap PDB Indonesia saat ini masih berada dalam ambang batas utang pemerintah yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Tingkat rasio utang terhadap PDB nasional ditetapkan maksimum 60 persen dan defisit anggaran negara maksimum tiga persen dari PDB nasional.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritisi terkait utang negara yang diyakininya melonjak dan saat ini sudah membebani APBN.
“Selama APBN kita defisit, berarti penerimaan kita masih lebih kecil dari pengeluaran kita, dan nominal utang kita akan bertambah,” kata JK.
Ia mengatakan, utang pemerintah saat ini akan terus bertambah sebagai konsekuensi kebijakan anggaran belanja yang ekspansi dan kenaikan penerimaan perpajakan yang tidak memadai.
Beliau juga menyoroti alokasi dana sekitar Rp 993 triliun untuk belanja kementerian/lembaga (K/L) tahun 2023. Nilai tersebut turun 3,81 persen dibanding 2022.
Penurunan ini salah satunya karena porsi pembayaran bunga utang yang cukup tinggi (Rp 441 Triliun), di luar subsidi BBM dan kompensasi sosial yang melonjak.
Intinya, meskipun Indonesia memiliki kemampuan membayar bunga dan pokok utang, namun tingginya bunga utang akan menggerus belanja pemerintah untuk infrastruktur dan sosial (Pendidikan dan Kesehatan) yang sangat dibutuhkan.
Besarnya pembayaran pokok utang yang menyebabkan defisit anggaran juga harus ditutupi dengan refinancing utang alias dengan cara utang baru.
Salah satu masalah pokok utang pemerintah adalah rendahnya penarikan pajak Indonesia. Rasio pajak Indonesia saat ini sebesar 10,4 persen masih di bawah rata-rata global sebesar 13,5 persen.
Indonesia juga tertinggal dari negara-negara lain di kawasan ASEAN. Misalnya, rasio pajak Thailand sebesar 14,5 persen, Filipina sebesar 14 persen, dan Singapura sebesar 12,9 persen.
Masalah struktural: kontribusi ekonomi yang signifikan, tetapi kontribusi pajak yang relatif kecil (under tax)
Ada beberapa alasan rendahnya tax ratio Indonesia jika dibandingkan dengan benchmark global.
Salah satu penyebab utamanya adalah masalah struktural kontribusi sektor ekonomi. Meskipun sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar kedua terhadap PDB sebesar 13,8 persen, namun kontribusi pajaknya hanya sebesar 1,5 persen.
Alhasil, sektor tersebut memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, namun kontribusi pajaknya relatif kecil.
Tantangan lain dalam pengenaan pajak sektor pertanian adalah adanya pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor tersebut.
Mayoritas pertanian dan perkebunan di Indonesia dijalankan sebagai bisnis perorangan dan bukan sebagai industri, sehingga sulit untuk mengenakan pajak kepada mereka.
Kondisi ini membuat pajak sektor pertanian menjadi sulit dan mungkin menjadi salah satu penyebab relatif rendahnya kontribusi pajak.
Kecilnya kontribusi pajak penghasilan (PPh) orang pribadi karena rendahnya pendapatan per kapita di negara tersebut dan lemahnya intensifikasi.
Selain itu, tingkat penghasilan tidak kena pajak (PTKP) di Indonesia relatif tinggi, yang berarti bahwa pajak penghasilan pribadi hanya dikenakan pada sebagian penduduk Indonesia.
Faktor-faktor ini dapat menyebabkan rasio pajak yang relatif rendah di Indonesia dibandingkan dengan standar internasional.
Faktor lainnya adalah adanya insentif pajak kepada dunia usaha yang mengurangi jumlah pajak yang dipungut.
Semua faktor ini dapat mempersulit pemerintah untuk memungut pajak, yang berkontribusi terhadap rasio pajak yang relatif rendah di Indonesia.
Masalah utang dan pajak adalah dua sisi mata uang. Bedanya utang memiliki kewajiban masa depan bagi kas pemerintah dan menggerus belanja.
Sementara pajak tidak memiliki kewajiban masa depan buat kas pemerintah, tetapi menggerus kas rumah tangga dan perusahaan.
Selama penarikan pajak dan utang dipakai untuk manfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, maka tidak menjadi masalah. Masalahnya beban utang dan rasio perpajakan di Indonesia sudah mulai memasuki lampu kuning.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.