Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Bonus Demografi, "Middle Income Trap", dan Generasi Muda

Kompas.com - 27/08/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK peluang dan ancaman yang sedang menunggu bangsa Indonesia ke depan. Tentu sandaran tidak bisa hanya kepada kelompok generasi senior/tua yang hingga hari ini masih bercokol di tampuk-tampuk kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di kekuatan-kekuatan politik ekonomi yang eksis di Indonesia.

Anak muda, terutama generasi milenial dan Gen Z harus mulai mengambil peran untuk menyambut tantangan dan peluang tersebut, demi keberlanjutan estafet kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Karena itu, dibutuhkan kolaborasi intensif antara generasi tua/senior yang sedang berkuasa dan bercokol di berbagai lembaga otoritatif hari ini, dengan generasi milenial dan Gen Z dalam menyongsong masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Nah, salah satu peluang dan tantangan tersebut adalah menyikapi bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada 2030-2045.

Sebagaimana saya tulis sebelumnya, bonus demografi merupakan suatu kondisi di mana jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun/usia produktif) mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen penduduk lainnya dikategorikan tidak produktif atau yang berusia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun.

Diproyeksikan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 324 juta pada 2045. Dengan asumsi komposisi angkatan kerja produktif di puncak bonus demografi di atas, yakni 70 persen, maka diperkirakan akan ada sekitar 226 juta orang angkatan kerja aktif pada 2045, baik dari generasi milenial maupun Gen Z, jumlah yang tidak sedikit.

Di satu sisi, peningkatan jumlah penduduk usia kerja sangat menguntungkan secara ekonomi, karena beban ketergantungan akan berada pada titik paling rendah. Artinya, setiap penduduk produktif hanya akan menanggung sedikit penduduk yang tidak produktif.

Secara ekonomi, negara atau wilayah yang mengalami bonus demografi akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan baik, selama bonus tersebut mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Kalkulasi sederhananya, jika berdasarkan hitungan deret waktu dan deret umur terhadap tingkat produktifitas penduduk Indonesia, bangsa Indonesia hanya punya waktu kurang lebih 20 tahunan menuju bonus demografi.

Jangka pendeknya tujuh tahun menjelang 2030 dan jangka panjangnya 22 tahun menjelang 2045.

Oleh karena itu, peluang tersebut harus benar-benar dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia Indonesia agar mampu menopang perekonomian nasional menuju tahap yang lebih tinggi, yakni menjadi bangsa maju dan sejahtera dengan pendapatan per kapita per tahun di atas 13.000 dollar AS.

Nah, secara ekonomi, waktu menuju bonus demografi paling krusial adalah jelang tahun 2030-an. Waktu ini paling menentukan dalam lembar sejarah bangsa jika dikaitkan dengan ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju.

Jika menyia-nyiakannya, maka bangsa Indonesia akan tetap seperti sekarang, yakni menjadi bangsa dengan pendapatan per kapita plus minus 4000-an dollar AS. Setelah masa itu berakhir, dan jika bonus demografi pun hilang, maka hilang pula kesempatan Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera.

Namun harus pula diingat bahwa bonus demografi adalah pisau bermata dua. Penduduk usia produktif bisa menjadi modal yang amat berharga untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi jika mereka menjadi pekerja di sektor-sektor bernilai tambah tinggi.

Sebaliknya, usia produktif bisa juga mendatangkan petaka jika angkatan kerja produktif tersebut justru menjadi pengangguran atau hanya bekerja di sektor-sektor tak bernilai tambah ekonomi yang justru membebani perekonomian nasional secara keseluruhan.

Oleh karena itu, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan sebaik mungkin periode emas tersebut.

Bila gagal memanfaatkan bonus demografi, Indonesia akan terus terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), yaitu negara dengan pendapatan per kapita per tahun di kisaran 2.500 dollar AS-13.000 dollar AS.

Bahkan, sangat mungkin Indonesia ‘turun kasta’ sebagai negara berpendapatan rendah (lower income) atau di bawah 2.500 dollar AS karena ekonomi nasional tidak mampu menyerap dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk angkatan kerja yang sedang mencapai puncaknya tersebut.

Sepanjang pengetahuan saya, itulah kondisi yang sering disebut para ekonom dengan istilah “Middle Income Trap”. Hal tersebut bisa terjadi jika laju pertumbuhan angkatan kerja baru jauh melampaui pertumbuhan ekonomi.

Dengan kata lain, di satu sisi daya serap ekonomi kita atas angkatan kerja baru sangat rendah bersamaan dengan kegagalan sistem ekonomi nasional menopang dunia pendidikan dalam melahirkan angkatan kerja berkualitas serta kompatibel dengan kebutuhan dunia usaha di sisi lain.

Bagi Negara Indonesia, isu middle income trap merupakan kajian yang sangat penting, karena Indonesia sebagai salah satu negara yang berstatus "emerging market" harus bisa keluar dari jebakan middle income masa depan.

Dalam kacamata ekonomi pembangunan (development economics) dan teori pertumbuhan ekonomi, isu middle income trap sudah banyak dibahas para ahli dan institusi-institusi keuangan global.

Asian Development Bank (ADB) dan World Bank (2012), misalnya, mendefinisikan middle income trap sebagai, “Countries stagnating and not growing to advanced country level”.

Para pakar mendefiniskannya, “Growth slowdown and stuck in the middle income status” (Gill and Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011).

Klasifikasi teknisnya pernah diinisiasi oleh Bank Dunia yang membagi negara-negara yang ada di muka bumi ini ke dalam empat kelompok. Pembagian ini didasarkan pada tingkat pendapatan nasional kotor (GNI-Gross National Income) per kapita.

Kelompok pertama adalah negara miskin atau low income countries dengan GNI hingga 1.035 dollar AS.

Kelompok kedua adalah negara lower middle income dengan GNI antara 1.036 dollar AS - 4.085 dollar AS.

Kelompok ketiga adalah upper middle income dengan GNI antara 4.086 dollar AS dan 21.615 dollar AS.

Kelompok keempat adalah negara-negara kaya (high income countries) dengan GNI per capita di atas 21.616 dollar AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Sampai tahun ini, posisi per kapita masyarakat Indonesia tercatat sekitar 4000-an dollar AS alias sudah berada pada lingkungan jebakan, yakni middle income country.

Untuk keluar dari posisi ini dibutuhkan pendapatan per kapita di atas 13.000 dollar AS alias lebih dari tiga kali lipat per kapita.

Artinya dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persenan secara konsisten selama 20 tahun atau 10 persen secara konsisten selama 15 tahun untuk sampai pada level tersebut.

Masalahnya, Presiden Jokowi yang berkoar-koar tentang bonus demografi dan middle income trap saja bahkan tidak mampu menorehkan angka tersebut.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi berkuasa selama sembilan tahun hanya lima persen, jauh dari janji kampanye yang beliau sampaikan, yakni 7 persen.

Kegagalan Jokowi dalam meraih pertumbuhan 7 persen tersebut semestinya menjadi catatan penting bagi kandidat Pilpres 2024 seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan bahwa tegak lurus bersama Jokowi justru tidak akan menghasilkan mimpi untuk keluar dari middle income trap.

Dibutuhkan tambahan pendekatan - pendekatan baru dan strategi baru agar angka 7 persen ke atas bisa diraih.

Mengapa hanya untuk Ganjar dan Anies? Karena sebagaimana kita ketahui, Prabowo Subianto sudah tak berpikir apa-apa lagi soal strategi untuk memajukan Indonesia lantaran telah lantang menyuarakan untuk melakukan "copy paste" atas segala yang telah dilakukan Jokowi.

Jadi, fenomena middle income trap sebenarnya bukan isu baru dalam ekonomi pembangunan (development economics), terutama untuk Indonesia.

Dalam ekonomi pembangunan, pengalaman berbagai negara yang gagal menjadi negara industri, seperti negara-negara di kawasan Amerika Latin, menjadi pelajaran yang sangat penting, yang tentunya harus kita renungkan.

Menurut World Bank (2012), dari 101 negara middle income tahun 1960, hanya 13 negara yang berhasil mencapai high income countries tahun 2008, sebanyak 88 negara tidak beranjak dari middle income trap.

Sementara itu, menurut ADB (Asian Development Bank), pada 2010, dari 52 negara middle income countries, sebanyak 35 negara terjebak dalam status the middle income group, yang berarti negara-negara ini tetap terjebak kepada middle income trap, malah 30 negara di antaranya terjebak dalam lower middle income trap.

Lantas, bagaimana dengan peta peran yang akan diemban oleh generasi milenial?

Jika dikalkulasi secara kasat mata, pada 2030, para generasi milenial akan ada pada rentang usia 30-50 tahun. Dengan kata lain, generasi milenial adalah generasi yang sedang bercokol pada masa produktifnya saat Indonesia bertemu tahap bonus demografi.

Rentang umur 30-50 adalah rentang umur krusial, baik bagi generasi milenial yang duduk di bangku kekuasaan nantinya (eksekutif, legislatif, atau yudikatif), atau bagi yang sedang menjabat posisi strategis di korporasi-korporasi besar, atau yang berstatus pemilik (owner) di dunia usaha.

Pada rentang inilah terletak banyak tanggung jawab pengambilan keputusan penting, baik di pemerintahan, perusahaan/korporasi, atau di dunia usaha secara keseluruhan, yang akan berimbas besar terhadap bangsa Indonesia.

Pendeknya, jika hari ini negara Indonesia kurang berhasil dalam memfasilitasi generasi milenial untuk menjadi manusia Indonesia yang produktif, berkualitas, dan berdaya saing tinggi, maka saat bonus demografi tiba, rasanya petaka demografi memang akan ikut singgah di negara ini.

Namun jika generasi milenial mampu tampil sebagai manusia-manusia yang handal dan berdaya saing, berperan aktif menopang perekonomian nasional di segala lini, dan ikut menyiapkan landasan ekonomi yang kokoh untuk bertemu tahap bonus demografi, maka kemungkinan besar mayoritas dari jutaan angkatan kerja produktif era itu akan ikut mencicipi kemajuan perekonomian nasional dan berperan penting di dalamnya.

Walhasil, pertumbuhan 7-8 persen per tahun bukanlah hal yang mustahil. Dan peran tersebut bukanlah peran yang ringan.

Pertanyaannya, apakah generasi senior benar-benar telah melakukan segala hal dalam menyiapkan generasi milenial?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com