Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Inflasi Era Jokowi dan SBY

Kompas.com - 05/01/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERAKHIRNYA tahun 2023 adalah warsa di mana Presiden Jokowi tiba di gerbang akhir periode pemerintahannya.

Sejumlah catatan menyertai dinamika ekonomi sepanjang 2023, termasuk inflasi yang relatif terkendali, meski di tengah situasi ekonomi global yang tak pasti.

Pada 2 Januari 2024, BPS merilis data inflasi Desember 2023 dengan inflasi tahunan sebesar 2,61 persen (year on year/yoy).

Tentu saja, data inflasi demikian, menggambarkan kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi sesuai asumsi dalam APBN 2023 sebesar 3,3 persen 3,6 persen.

Dengan inflasi yang persisten di bawah 4 persen sejak Juni-Desember 2023, menggambarkan bauran kebijakan (moneter dan fiskal), mampu menjangkar inflasi sesuai asumsi makro APBN.

Pascapandemi Covid-19, tantangan inflasi sungguh mencemaskan. Fenomena meningkatnya pemulihan permintaan global pascamelandainya kasus Covid-19. Namun seiring dengannya, tak diimbangi dengan pemulihan dunia usaha terdampak/industri, membuat ketidakseimbangan supply and demand terjadi.

Pada saat yang sama, macro pumping melalui kebijakan uang longgar (quantitative easing), membuat likuiditas meningkat—melebihi peredaran barang dan jasa. Dampaknya inflasi melesat tinggi pascapandemi.

Pada saat bersamaan, disrupsi rantai suplai terjadi, dipicu krisis geopolitik Rusia-Ukraina, krisis laut China Selatan, perang dagang AS Vs China, dan kebijakan restriktif ekspor turut memantik inflasi.

Hal ini berdampak pada inflasi di negara-negara ekonomi utama yang meningkat di atas 8 persen sepanjang 2022-2023. Efek merambatnya menjalar ke negara berkembang seperti Indonesia.

Di Indonesia, hal tersebut terlihat pada inflasi periode Juli-Desember 2022 dan Januari-Mei 2023 dengan rata-rata inflasi 5 persen.

Inflasi melesat di atas asumsi makro APBN. Tekanan inflasi baru beringsut melandai menuju sasaran dari Juni-Desember 2023. Kombinasi demand pull inflation dan cost push, benar-benar menguji resiliensi makro ekonomi Indonesia.

Belajar dari pandemi Covid-19, pemerintah (otoritas fiskal dan moneter) sudah memiliki automatic stabilizer melalui kebijakan fiskal dan moneter. Automatic stabilizer dimaksud adalah melalui kebijakan fiskal dan moneter.

Dalam dinamika eksternal yang berubah-ubah dengan ritme cepat, agar ekonomi tidak shock, maka pendekatan fiskal dan moneter sebagai stabilizer-nya diperlukan.

Hal tersebut terlihat dari kebijakan moneter melalui suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse repo Rate) yang cenderung responsif terhadap dinamika global. Khususnya terhadap bank sentral AS (the Federal reserve).

Kebijakan suku bunga BI cenderung ketat untuk menjangkar inflasi, namun pada saat yang sama, mendukung kelonggaran likuiditas sektor-sektor tertentu (prioritas) seperti properti, UMKM dan memperkuat sektor pangan; memitigasi inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) dan kelancaran sistem pembayaran melalui e-payment.

Dari sisi fiskal, belanja pajak disasarkan pada sektor-sektor yang tengah berupaya melakukan recovery, yaitu sektor-sektor yang mengalami dampak negatif akibat pandemi Covid-19 dan membutuhkan stimulus untuk meningkatkan kinerja dan daya saingnya.

Contoh sektor-sektor tersebut adalah sektor properti, UMKM, pariwisata, industri padat karya, dan sektor prioritas lainnya.

Belanja pajak juga disasarkan pada sektor-sektor rentan terhadap kondisi ekonomi yang volatilitasnya masih tinggi, yaitu sektor-sektor yang menghadapi risiko fluktuasi harga, permintaan, dan pasokan yang dapat memengaruhi stabilitas makroekonomi.

Contoh sektor-sektor tersebut adalah sektor pangan, energi, dan infrastruktur.

Dengan demikian, pendapatan ini menggambarkan bahwa pemerintah menggunakan belanja pajak sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal untuk menghadapi tekanan inflasi global, yang disebabkan kenaikan harga komoditas, pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju, dan pemulihan ekonomi global yang tidak merata.

Belanja pajak diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mendukung pencapaian target-target pembangunan nasional.

Dukungan fiskal juga diperuntukan bagi social safety net atau Bansos untuk 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan paling bawah.

Kelompok rentan ini diperkuat dengan bantalan sosial APBN untuk memperkuat daya beli mereka menghadapi risiko inflasi.

Pemutakhiran data dan digitalisasi sistem distribusi BBM dan LPG, turut mendorong ketepatan sasaran subsidi, sehingga memperkuat daya beli kelompok 40 persen terbawah.

Era SBY dan Jokowi

Dari sumber BPS dan Kemenkeu, dapat dilihat dari tahun 2004-2014, rata-rata peningkatan inflasi 7,29 persen.

Inflasi tertinggi era SBY terjadi pada 2005 sebesar 17,11 persen. Inflasi yang tinggi disebabkan kebijakan menaikan harga BBM.

Kenaikan harga BBM sebagai bentuk penyesuaian terhadap harga minyak dunia yang melesat hingga 150 dollar AS per barrel kala itu.

Penyesuaian harga BBM berdampak pada kenaikan biaya transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan, serta harga-harga barang dan jasa lainnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan memberikan andil inflasi tertinggi sebesar 28,57 persen pada 2005.

Selain itu, kenaikan harga BBM juga meningkatkan ekspektasi inflasi masyarakat, yang berpengaruh pada perilaku konsumsi dan investasi.

Lesatan inflasi juga terjadi era SBY, akibat dampak spillover dari kebijakan taper tantrum The Fed-AS. Langkah The Fed mengurangi kepemilikan AS treasury, memantik kepanikan di pasar modal, harga bursa saham berjatuhan.

Terjadi capital outflow dan depresiasi rupiah dan imported inflation. Pada akhir pemerintahan SBY, inflasi masih tinggi di atas 8 persen dan secara gradual relative terkendali sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi.

Memang di era SBY pertumbuhan ekonominya tinggi. Era presiden ke-VI ini pertumbuhan ekonomi tumbuh rata-rata 6 persen, namun rata-rata inflasi lebih tinggi; 7,29 persen.

Lain pemerintah, lain pula kebijakan ekonomi yang ditempuh. Era SBY, pedal gas ekonomi digencet kencang.

Namun saat yang sama, ketika output melampaui potensialnya, mesin ekonomi kepanasan (overheating)—ditandai dengan inflasi yang tinggi. Kecepatan pertumbuhan ekonomi tak sesuai kapasitas mesinnya seperti ketersediaan input/faktor produksi di industri dasar.

Berbeda dengan SBY, Jokowi lebih mementingkan stabilitas. Stability is the key. Ibaratnya, sebagai driver, Jokowi memacu kecepatan ekonomi sesuai kapasitas mesinnya.

Jika mesin ekonomi berjalan dengan kecepatan yang sesuai dengan kapasitasnya, maka roda-roda pembangunan akan berputar dengan lancar dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Namun, jika mesin mobil dipaksa untuk berjalan terlalu kencang, maka mesin akan kepanasan dan berisiko rusak. Dus inflasi yang tinggi, memperburuk daya beli, produktivitas, kemiskinan dan ketimpangan.

Namun inflasi yang terkendali tersebut bukan tanpa ongkos. Pasalnya, beberapa produk pangan yang pasokannya tak dapat dipenuhi dalam negeri, perlu disiasati dengan jalan impor.

Dari sumber BPS, sepanjang Januari-November 2023, nilai impor komoditas pangan RI adalah 5,01 miliar dollar AS atau setara Rp 77,8 triliun (Kurs Rp 15.485 per dollar AS).

Nilai impor yang fantastis ini bersumber dari impor beras sebanyak 2,53 juta ton (1,45 miliar dollar AS), impor gula : 4,55 juta ton (2,54 miliar dollar AS), daging jenis lembu 214.270 ton (753,84 juta dollar AS), dan impor jagung 892.080 ton (276,07 juta dollar AS).

Biaya yang terbilang mahal untuk menjaga stabilitas harga.

Jumlah penduduk yang terus bertambah, lahan pertanian kian menyusut, migrasi pola kerja terdisrupsi membuat kecemasan akan ketersediaan produksi pangan dalam negeri ke depan.

Dus, pemerintah perlu melakukan investasi di sektor pertanian besar-besaran. Bukankah kedaulatan pangan juga tanda berdaulatnya negara?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com