Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A.M. Farul Baqi
Trade Advisor Business France, France Embassy Indonesia

Alumni Magister Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Mendayung di Tengah Ombak, Menjawab Ketidakpastian Ekonomi Global

Kompas.com - 04/02/2024, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DINAMIKA global kian berkembang semakin kompleks, masif, turbulens dan akseleratif. Perkembangan itu menuntut penyesuaian pada posisi dan partisipasi Indonesia di kancah global.

Garis politik luar negeri (polugri) yang belandaskan politik bebas aktif dengan kiasan mendayung di antara dua karang, kini perlu mempertimbangkan mendayung di tengah ombak.

Secara historis dan substantif, teks muncul dari konteks. Metafora mendayung di antara dua karang lahir dari gagasan Bung Hatta pada momen perang dingin, antara dua kutub (bipolar) yang saling bersebrangan, idologi barat dan timur.

Konteks ini menggerakkan posisi Indonesia untuk bisa melampaui dua kubu, dengen tetap berpegang teguh pada politik bebas aktif.

Secara faktual, gagasan besar mendayung di antara dua karang tersebut masih relevan, mengingat pola dan tantangannya masih sama dengan aktor yang berbeda. Dahulu, Uni Soviet melawan Amerika Serikat, sekarang Tiongkok melawan Amerika Serikat.

Selain itu, kemunculan aktor transnasional yang memiliki pengaruh lintas batas negara, semakin mewarnai dinamika tantangan global.

Perusahaan transnasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga kelompok kriminal lintas batas semakin memiliki daya dan panggung di dalam percaturan global.

Oleh karena itu, gagasan mendayung di antara dua karang kurang memadai untuk menjawab tantangan kontemporer yang beragam.

Tantangan global kontemporer semakin multidimensional, multi aktor, multi isu dan bersifat multiplier effect. Metafora mendayung di antara dua karang, harus dilengkapi dengan mendayung di tengah ombak.

Tak ada laut yang tak berombak. Indonesia kini sedang dan akan menghadapi ombak yang penuh ketidakpastian, yang bisa jadi menyeret, menenggelamkan, atau mungkin bisa membawa Indonesia berselancar dan mengarungi lautan Indonesia Emas.

Laporan dari World Economic Forum 2024 maupun Economist Intelligence Unit 2024, menyebut setidaknya terdapat empat tantangan utama di 2024: tantangan politik, ekonomi, militer, maupun lingkungan.

Pertama, tantangan politik berupa kebijakan industri lewat proteksi yang bakal menganggu produktivitas global, perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, hingga kemunculan Artifical Intelligence (AI) yang mengendurkan kepercayaan publik pada institusi pemerintah.

Kedua, tantangan ekonomi terproyeksi lewat perlambatan ekonomi, terganggunya rantai pasok, menumpuknya hutang, hingga tingginya suku bunga yang berujung resesi global.

Ketiga, tantangan militer yang berkorelasi dengan eskalasi di beberapa titik panas (hot spot) konflik di dunia mulai Rusia dan Ukraina, hingga Taiwan, adanya perang sipil, hingga kemunculan penggunaan senjata biologis yang menjadi problem bersama.

Asa untuk Indonesia

Potret laporan tersebut menjadi wadah refleksi akan seperti apa Indonesia menghadapi ombak yang sedemikian besar di masa kini dan mendatang.

Bebas dan Aktif menjadi landasan, mendayung di tengah ombak menjadi pilihan. Mengganti layar di tengah ombak bukan pilihan tepat. Indonesia masih memiliki asa untuk mendayung bersama.

Asa itu harus dipupuk lewat keterlibatan aktif seluruh masyarakat Indonesia (all involvement foreign policy). Pelibatan aktif seluruh warga menjadi syarat utama untuk bisa mendayung di tengah ombak.

Selama ini, kebijakan maupun politik luar negeri Indonesia bersifat elitis dan ekslusif. Hanya diplomat, dan utusan tertentu saja yang terlibat secara aktif dalam politik luar negeri.

Masyarakat biasa, maupun diaspora yang menjadi penyumbang remitansi dan dekat langsung dengan warga asing bukan bagian dari representasi.

Paradigma elitis mengenai kebijakan luar negeri Indonesia perlu diubah lebih inklusif. Perubahan itu mensyaratkan adanya pembinaan dan pendampingan ke warga masyarakat.

Investasi biaya, waktu, dan tenaga memang mahal, namun hasilnya kita bisa melihat Korea Selatan lewat fenomena Hallyu dan K-Pop.

Kesadaran mengenali potensi kultural dan potensi nilai yang terkandung di dalamnya mengantarkan Korea Selatan unggul secara budaya.

Sejak 2009, Korea Selatan sudah membentuk Presidential Council on Nation Branding (PCNB) untuk mendorong budaya Korea naik ke level Internasional.

Konsistensi kebijakan sejak zaman President Lee Myung-bak, President Park Geun-hye, hingga sekarang patut diadopsi oleh Indonesia, untuk mengantarkan kebudayaan Indonesia naik kelas dan perekonomian Indonesia mendunia.

Selain kokoh secara domestik dengan melibatkan aktif seluruh masyarakat (all involvement foreign policy). Indonesia juga harus bebas berinteraksi dan menjalin hubungan dengan seluruh aktor global (All engagement foreign policy). Pendekatan proaktif ini bisa ditempuh dalam format bilateral, trilateral, multilateral, dan regional.

Keterlibatan aktif merupakan prasyarat kunci Indonesia memainkan peran secara global. Menjadi pintu gerbang perdamaian, menjalin kerja sama dan membukakan jalan pada kemakmuran.

Strategi ini bisa menjadi wadah kolaborator untuk mencapai resolusi konflik, titik tuju untuk mengatasi persoalan bersama, sekaligus mengikis ketergantungan kepada pihak tertentu.

Keterlibatan aktif turut menjadi bukti bahwa Indonesia bukan negara isolasionis yang abai pada perdamaian dan kemakmuran global.

Sebagai mana amanat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan posisi Indonesia untuk turut serta menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Meskipun demikian, keterlibatan aktif Indonesia perlu memperhatikan aspek otonomi strategis (strategic autonomy) maupun ketergantungan strategis (strategic interdependence).

Otonomi strategis merujuk pada kemampuan dan otonomi Indonesia untuk tetap berdikari secara politik, ekonomi, dan militer. Sekaligus komponen dan instrumen untuk mencapai kemandirian politik, ekonomi, dan militer.

Sementara itu, ketergantungan strategis hadir sebagai konsekuensi dari sistem internasional yang saling terhubung dan bergantung, pasti membawa hukum causalitas, sebab akibat.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mempertimbangkan otonomi strategis sekaligus ketergantungan strategis dalam setiap kebijakan luar negeri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com