Di banyak negara lainnya, dasar pemungutan pajak hanyalah atas nilai keuntungan sebesar Rp 1 juta tersebut. Selanjutnya, seluruh keuntungan dan kerugian akan dijumlahkan selama setahun. Nilai untung bersih tersebut yang akan menjadi dasar dalam menghitung pajaknya.
Namun, di Indonesia, pajak kripto dikenakan langsung dari nilai transaksinya, sehingga akan terdapat PPN 0,11 persen dari pembelian senilai Rp 100 juta dan PPh 0,1 persen dari penjualan senilai Rp 101 juta.
Total pajaknya senilai Rp 211.000, atau setara 21,1 persen dari keuntungannya.
Dalam kasus ini, beban pajaknya bahkan lebih tinggi dari tarif pajak keuntungan modal di Britania Raya yang ditetapkan maksimum 20 persen.
Tingginya pajak ini berisiko membuat investor dalam negeri justru lebih memilih berinvestasi pada bursa kripto luar negeri yang menawarkan tarif lebih rendah atau bahkan bebas pajak.
Selain itu, sulitnya melacak aliran dan kepemilikan dana kripto juga membuat upaya menghindari kewajiban pajak menjadi lebih mudah.
Pada 2022, badan usaha konsultasi pajak di Jerman menemukan bahwa hanya 0,53 persen dari seluruh investor kripto global yang memenuhi pajaknya. Dalam laporan yang sama, Indonesia menjadi negara terendah kedua dengan hanya 0,04 persen saja.
Minimnya angka tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak aset kripto masyarakat yang berada di bursa kripto asing. Salah satu faktornya karena memang masih banyak negara yang bebas dari pajak kripto, termasuk negara tetangga Singapura dan Malaysia.
Dengan beban pajak yang tinggi, Indonesia menjadi negara yang kurang kompetitif menarik minat investor kripto. Hal ini berdampak negatif tidak hanya bagi investor dalam negeri, namun juga bagi exhange dalam negeri dan penerimaan pajak itu sendiri.
Untuk menghindari pajak, investor lokal yang memilih bursa luar negeri yang tidak teregulasi Bappebti justru harus menghadapi risiko lebih besar karena dana yang ditempatkan tidak terlindungi oleh hukum.
Selain itu, meski tidak dipotong pajak secara langsung saat bertransaksi, tidak berarti transaksinya bebas dari pajak.
Investor tetap harus menyetor sendiri pajaknya agar tidak dikenai sanksi perpajakan. Hal ini karena hukum pajak tetap berlaku dari manapun penghasilan diterima.
Sementara itu, bagi perusahaan dalam negeri penyedia platform perdagangan kripto, minat investor lokal yang lebih memilih bursa kripto asing berpotensi menurunkan jumlah pengguna dan pendapatan usaha yang diperoleh.
Dengan menurunnya geliat industri kripto dalam negeri, tingginya tarif pajak justru akan membuat penerimaan pajak kripto ikut tertekan karena nilai transaksi kripto yang menjadi dasar pemungutan pajak ikut menurun.
Sepanjang 2023, penerimaan pajak kripto tercatat sebesar Rp 220,83 miliar, turun dari Rp 246,45 miliar pada 2022.