Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Mengevaluasi Pajak Kripto

Kompas.com - 15/04/2024, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 30 Maret 2022, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 menandai payung hukum dimulainya pemajakan atas aset kripto. Namun, dua tahun berjalan, menerapkan pajak kripto terbukti bukan perkara mudah.

Karakteristik utama industri aset kripto yang terdesentralisasi mendorong perkembangan yang begitu cepat.

Perselisihan hukum yang terus terjadi antara pelaku industri kripto dan Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) di Amerika Serikat, menunjukkan masih banyak wilayah abu-abu yang perlu ditegaskan dalam hukum yang mengaturnya.

Kompleksitas ini menjadi tantangan dalam menerapkan pajak kripto secara efektif. Selain itu, pajak kripto juga tidak selalu menuai respons positif dari pelaku industri yang terdampak.

Pada Maret lalu, pelaku industri kripto dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) satu suara menyatakan agar pajak kripto kembali dievaluasi (Kompas.com, 3/3/2024).

Usulan ini karena tarif pajak kripto dinilai lebih tinggi dibanding di luar negeri sehingga mendorong investor lebih memilih menempatkan modalnya di bursa (exhange) kripto asing.

Dalam ketentuan pajak saat ini, transaksi aset kripto akan dipotong pajak sebanyak dua kali. Pertama, pada saat pembelian aset kripto, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dipungut sebesar 0,11 persen dari nilai pembelian.

Kemudian, ketika menjual aset kripto, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final akan dipotong sebesar 0,1 persen dari nilai penjual.

Kedua tarif tersebut menjadi dua kali lebih tinggi jika transaksi dilakukan melalui pialang (broker) yang tidak terdaftar di Bappebti.

Pajak ini dipungut tidak hanya atas transaksi jual-beli langsung aset kripto ke mata uang fiat. Transaksi tukar-menukar (swap) jenis aset kripto satu ke jenis lainnya, serta transfer aset kripto ke dompet digital (wallet) lain juga akan dikenai pajak dengan tarif yang sama dari nilai transaksinya.

Kebijakan pajak yang memosisikan status investor sebagai pembeli sekaligus penjual aset justru secara tidak langsung menimbulkan beban pajak ganda. Inilah poin penting pertama yang harus dievaluasi dari kebijakan pajak kripto.

Poin penting lainnya, berbeda dengan banyak negara lain yang mengenakan pajak hanya atas selisih keuntungan dari naiknya harga aset kripto, kebijakan saat ini memungut pajak secara langsung dari seluruh nilai aset kripto yang dibeli dan dijual. Akibatnya, investor tetap menanggung pajak meskipun mengalami kerugian.

Di sisi lain, dalam transaksi yang positif mengalami keuntungan, investor akan harus menunggu harga aset kripto naik setidaknya 0,21 persen hanya untuk mengompensasikan pajak yang dipotong. Jumlah ini belum termasuk biaya lainnya yang dikenakan oleh pialang.

Skema ini merugikan pelaku perdagangan aktif (trader) yang memperoleh keuntungan dari kenaikan harga yang kecil (scalping).

Sebagai ilustrasi, apabila pelaku perdagangan membeli aset kripto senilai Rp 100 juta dan memperoleh keuntungan senilai Rp 1 juta dari kenaikan harga sebesar 1 persen.

Di banyak negara lainnya, dasar pemungutan pajak hanyalah atas nilai keuntungan sebesar Rp 1 juta tersebut. Selanjutnya, seluruh keuntungan dan kerugian akan dijumlahkan selama setahun. Nilai untung bersih tersebut yang akan menjadi dasar dalam menghitung pajaknya.

Namun, di Indonesia, pajak kripto dikenakan langsung dari nilai transaksinya, sehingga akan terdapat PPN 0,11 persen dari pembelian senilai Rp 100 juta dan PPh 0,1 persen dari penjualan senilai Rp 101 juta.

Total pajaknya senilai Rp 211.000, atau setara 21,1 persen dari keuntungannya.

Dalam kasus ini, beban pajaknya bahkan lebih tinggi dari tarif pajak keuntungan modal di Britania Raya yang ditetapkan maksimum 20 persen.

Tingginya pajak ini berisiko membuat investor dalam negeri justru lebih memilih berinvestasi pada bursa kripto luar negeri yang menawarkan tarif lebih rendah atau bahkan bebas pajak.

Selain itu, sulitnya melacak aliran dan kepemilikan dana kripto juga membuat upaya menghindari kewajiban pajak menjadi lebih mudah.

Pada 2022, badan usaha konsultasi pajak di Jerman menemukan bahwa hanya 0,53 persen dari seluruh investor kripto global yang memenuhi pajaknya. Dalam laporan yang sama, Indonesia menjadi negara terendah kedua dengan hanya 0,04 persen saja.

Minimnya angka tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak aset kripto masyarakat yang berada di bursa kripto asing. Salah satu faktornya karena memang masih banyak negara yang bebas dari pajak kripto, termasuk negara tetangga Singapura dan Malaysia.

Dengan beban pajak yang tinggi, Indonesia menjadi negara yang kurang kompetitif menarik minat investor kripto. Hal ini berdampak negatif tidak hanya bagi investor dalam negeri, namun juga bagi exhange dalam negeri dan penerimaan pajak itu sendiri.

Untuk menghindari pajak, investor lokal yang memilih bursa luar negeri yang tidak teregulasi Bappebti justru harus menghadapi risiko lebih besar karena dana yang ditempatkan tidak terlindungi oleh hukum.

Selain itu, meski tidak dipotong pajak secara langsung saat bertransaksi, tidak berarti transaksinya bebas dari pajak.

Investor tetap harus menyetor sendiri pajaknya agar tidak dikenai sanksi perpajakan. Hal ini karena hukum pajak tetap berlaku dari manapun penghasilan diterima.

Sementara itu, bagi perusahaan dalam negeri penyedia platform perdagangan kripto, minat investor lokal yang lebih memilih bursa kripto asing berpotensi menurunkan jumlah pengguna dan pendapatan usaha yang diperoleh.

Dengan menurunnya geliat industri kripto dalam negeri, tingginya tarif pajak justru akan membuat penerimaan pajak kripto ikut tertekan karena nilai transaksi kripto yang menjadi dasar pemungutan pajak ikut menurun.

Sepanjang 2023, penerimaan pajak kripto tercatat sebesar Rp 220,83 miliar, turun dari Rp 246,45 miliar pada 2022.

Pajak ini diperoleh dari seluruh transaksi aset kripto di bursa dalam negeri sepanjang 2023 dengan total nilai Rp 149,25 triliun, turun 51 persen dari Rp 306,4 triliun di 2022.

Statistik tersebut memunculkan ketidakwajaran. Indonesia merupakan negara dengan indeks pengadopsian kripto terbesar ketujuh di dunia.

Namun, jumlah transaksi kripto pada bursa dalam negeri hanya 0,02 persen dari total volume perdagangan kripto global tahun 2023 yang mencapai Rp 562,908 triliun.

Oleh karena itu, terdapat ruang untuk perbaikan dalam skema pajak kripto saat ini. Penerapan skema pajak hanya atas keuntungan dapat menjadi solusi terbaik menggantikan skema pajak yang dikenakan langsung dari total nilai transaksi kripto.

Skema keuntungan seperti ini telah diterapkan di Amerika Serikat, Britania Raya, India, dan banyak negara lainnya.

Dengan memajaki keuntungan bersih, investor yang mengalami kerugian tidak akan terbebani pajak.

Selain itu, trader yang melakukan transaksi cepat dengan keuntungan kecil juga akan lebih diringankan. Skema seperti ini juga sangat sesuai apabila pasar kripto global berada dalam tren penurunan harga.

Selain itu, pemberian insentif pajak juga penting untuk mendukung perkembangan industri kripto di Tanah Air. Di Britania Raya dan Perancis, insentif diberikan dalam bentuk batas nilai keuntungan yang bebas dari pajak.

Di Australia, insentifnya diwujudkan dengan pembedaan tarif antara keuntungan kripto yang diperoleh dari investasi jangka pendek dan jangka panjang.

Untuk mendorong keadilan, dapat diterapkan juga tarif berjenjang (progresif) sesuai besarnya nilai keuntungan seperti di Amerika Serikat.

Industri aset kripto sejatinya merupakan sektor ekonomi yang terbilang baru. Baru genap 15 tahun sejak pertama kemunculannya. Di Indonesia, statusnya sebagai komoditas yang sah diperdagangkan baru memasuki 3 tahun sejak ditetapkannya Peraturan Bappebti No. 7/2020.

Dengan audiensi bersama antara otoritas pajak, pengawas perdagangan komoditas, dan pelaku perdagangan kripto, kebijakan pajak dapat dievaluasi lebih baik agar tidak menyurutkan minat masyarakat pada aset digital ini yang manfaatnya mulai diadopsi di banyak negara lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com