Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Kompas.com - 28/04/2024, 07:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI Bank Sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Kestabilan nilai rupiah mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.

Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Posisi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar AS belakangan ini mengalami undervalued. Kinerja nilai tukar rupiah yang melemah tersebut disebabkan data dari Amerika Serikat yang mengonfirmasi kemungkinan The Fed masih bertahan dengan suku bunga tinggi dalam jangka panjang.

Bahkan November nanti diperkirakan menaikkan kembali suku bunganya 25 basis poin. Dengan demikian, kondisi pasar uang mau tidak mau harus turut melakukan penyesuaian terhadap ekspektasi itu.

Kurs rupiah terhadap dollar AS pada awal tahun ini di kisaran Rp 15.485-Rp 15.490, sekarang melemah di kisaran Rp 16.257-Rp 16.187.

Kita perlu mengetahui apakah hal ini hanya bersifat sementara atau justru mengarah pada krisis mata uang di seluruh dunia. Ketegangan geopolitik karena perang Rusia-Ukraina, Israel-Hamas, Iran-Israel melemahkan perekonomian global.

Konflik negara-negara Timur Tengah dapat mengakibatkan dampak negatif pada negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Negara-negara berkembang berada dalam tekanan.

IMF memperkirakan sekitar 60 persen negara berpendapatan rendah berisiko mengalami kesulitan utang, yang berarti mereka mungkin tidak mampu membayar utang dan memerlukan penyelamatan (IMF 2022). Proporsi ini tiga kali lebih tinggi dibandingkan setelah krisis global tahun 2008.

Perekonomian Amerika Serikat dan konsumen saat ini berada dalam kondisi baik. Tingkat pengangguran berada di bawah 4 persen, sudah ada selama dua tahun. Harga rumah dan harga saham juga naik. Perluasan kesempatan kerja berlimpah. Maka upah juga baik-baik saja, naik pada tingkat terendah.

Satu hal yang harus kita waspadai, sebagian besar hal tersebut didorong pengeluaran fiskal saja. Bahkan saat ini, defisit 6 persen terhadap PDB hampir mencapai 2 triliun dollar AS.

Sehingga mendorong banyak pertumbuhan yang terjadi pada berbagai sektor, ini yang membuat IMF marah.

Sedangkan inflasi mungkin masih sulit untuk turun, bahkan bisa terjadi long lasting. Hal ini akan menjadi dampak buruk bagi perekonomian global.

Ada tiga generasi krisis mata uang yang menyebabkan penyelamatan negara sejak awal tahun 1980-an. Hal ini menunjukkan kecepatan pergerakan modal yang memengaruhi negara berkembang dan maju.

Meskipun krisis-krisis yang terjadi di Amerika Latin pada awal tahun 1980-an, krisis-krisis di Eropa dan Meksiko pada awal dan pertengahan tahun 1990-an, serta krisis-krisis di Asia pada akhir tahun 1990-an berbeda dalam banyak hal, krisis-krisis tersebut mempunyai ciri-ciri umum yang dapat dijadikan pelajaran bagi masa kini. Kuncinya adalah pentingnya institusi dan kebijakan yang kredibel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com