GEN Z, generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, kembali menjadi sorotan karena mendominasi data pengangguran di Indonesia.
Pengangguran dimaksud: tidak bekerja, tidak melanjutkan pendidikan atau istilahnya NEET (not in employment, education, and training/NEET) alias do nothing.
Jika diungkap lebih rinci, jumlah Gen Z yang menjadi pengangguran atau tidak memiliki kegiatan berdasarkan data BPS (2021-2022) mencapai 9.896.019 orang pada Agustus 2023.
Dari jumlah itu, NEET Gen Z didominasi perempuan sebanyak 5,73 juta diikuti 4,17 juta laki-laki. Angka itu setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia muda di Indonesia.
Hal ini tentu membuyarkan "dongeng-dongeng" Gen Z yang banyak berseliweran di media kita: Anak Gen Z yang suka jalan-jalan daripada menabung beli rumah, Pekerja Gen Z yang memilih resign daripada kena isu mental health atau si Paling Gen Z yang punya perhatian pada isu lingkungan dan sosial.
Rasanya asik jika bisa menjadi bagian dari Gen Z: Bergaya Skena dan duduk manis ala Vincent, ikutan war tiket konser Cold Play hingga Taylor Swift, bergaya kultur Gen Z Jaksel yang beda tongkrongan dengan Gen Z Jakbar, atau jadi Gen Z Surabaya yang meski berlogat medok, tapi sudah menyandang "Crazy Rich" di usia muda.
Namun seperti syair Tulus "...kisah yang ternyata tak seindah itu", potret-potret ini baru sebagian dari potret manis yang dilihat dari kaca mata survei industri di kota besar, kota urban.
Sisanya menjadi potret buram tanpa filter pemanis dari wajah sesungguhnya Gen Z kita.
Tingginya angka pengangguran menjadi paradoks banyak survei urban yang menggambarkan kehidupan Gen Z yang asik, santai, suka berpetualang, mencoba hal baru, dan menikmati hidup.
Baca juga: Habis THR, Terbitlah Surat Resign: Membaca Pekerja Gen Z
Data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) selama periode Agustus 2017-2022 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan bagi para lulusan baru di Indonesia. Durasi pencarian kerja bagi mereka dari semua jenjang pendidikan mengalami peningkatan.
Hal ini diperparah dengan jumlah lapangan kerja formal yang terus menurun selama 15 tahun terakhir. Kondisi ini membuat para lulusan baru semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi dan minat mereka.
Menaker Ida Fauziyah bahkan secara gamblang menyebut, tingginya angka pengangguran di antara Gen Z akibat ketidaksesuaian antara pendidikan yang ditempuh dengan permintaan pasar tenaga kerja.
"Didapati miss-match. Jadi output dari pendidikan vokasi belum mampu berkesesuaian dengan kebutuhan pasar kerja," kata Ida dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Senin (Antara, 20/5/2024).
Ini artinya, ada persoalan belum sinkronnya dunia pendidikan, termasuk vokasi, dengan dunia kerja atau (ini yang menarik), Gen Z salah jurusan dalam memilih studi.
Soal serapan tenaga kerja juga menjadi "hantu" baru yang harus dihadapi Gen Z.
Fakta menarik lain: Gen Z lebih suka menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak nyaman.
Studi yang dilakukan Randstad Workmonitor pada tahun 2022 mengungkapkan temuan menarik terkait preferensi Generasi Z (Gen Z) di tempat kerja.
Studi tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 41 persen responden Gen Z yang tersebar di wilayah Eropa, Asia Pasifik, dan Amerika lebih memilih menganggur dibandingkan terjebak dalam pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia.
Data ini menyoroti pergeseran perspektif dalam dunia kerja, khususnya bagi Gen Z. Mereka tampaknya lebih mengutamakan kepuasan kerja dibandingkan dengan jaminan gaji atau stabilitas pekerjaan.
Dibesarkan di era teknologi, Gen Z terbiasa dengan fleksibilitas dan kontrol. Mereka melihat banyak peluang di luar jalur karier tradisional dan mungkin lebih berani mengambil risiko untuk mengejar pekerjaan yang sesuai dengan minat dan nilai-nilai mereka.
Mereka lebih "berani" dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang memilih terpaksa bertahan di tempat kerja meski tidak nyaman, atau minimal mendapatkan pekerjaan yang baru sebelum memutuskan pindah.
Baca juga: Sengitnya War Tiket Konser Sheila on 7: Milenial Vs Gen Z
Generasi Z dikenal dengan kesadaran mereka akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka tidak ingin terjebak dalam situasi yang mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan mental mereka demi pekerjaan.
Namun, dari kaca mata lain kita bisa melihat; apakah Gen Z menjadi "generasi tempe", "pencari drama" yang lemah mental, kurang daya juang dan sedikit-sedikit gampang "kena mental"?
Sisi gelap Gen Z lain adalah mereka menjadi bagian dari "sandwich generation". Survei CBNC Indonesia (2021) menyebut 48,7 persen masyarakat produktif, termasuk Gen Z, adalah generasi sandwich.
Di balik cerita healing, keceriaan nonton konser, atau memburu hidden gem, Gen Z memikul tanggung jawab menghidupi diri sendiri, anak (jika sudah ada), dan orangtua dalam waktu bersamaan.
Bagi Gen Z yang tidak siap dan kuat secara finansial maupun mental, tugas tambahan sebagai "caretaker" atau "caregiver" ini akan menjadi tekanan tersendiri.
Bahkan sampai-sampai lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekali lagi lembaga pemerintah, sampai harus mengingatkan agar emak-emak, para orangtua agar tidak melahirkan "sandwich generation" dengan meminta anak menyokong perekonomian orangtua.
“Kalau kita sudah menyekolahkan anak, jangan berharap anak-anak yang nanti menyokong hidupku nanti kalau tua. Kalau iya, dari keinginan anak sendiri, alhamdulillah,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi (23/4/2024).
Penyingkapan sisi lain Gen Z yang selama ini nampak glamour sama sekali tidak bermaksud untuk menyudutkan Gen Z. Sebaliknya, menjadi pengingat bagi kita untuk untuk berjalan beriringan seiring sejalan.
Pemerintah perlu berbenah diri dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja agar Gen Z memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Perlu komitmen Pemerintah mengubah "miss-match" menjadi "link and match" seperti yang digadang-gadang selama ini.
Perusahaan pun perlu beradaptasi dengan ekspektasi Gen Z dengan menyediakan lingkungan kerja fleksibel, suportif, dan berorientasi pada pengembangan diri. Hal yang selama ini mungkin tidak banyak dituntutan generasi sebelumnya.
Baca juga: UKT Naik, Pinjol Pendidikan, dan Kelas Menengah
Sisi lain, Gen Z sendiri pun harus proaktif dan terus meningkatkan kemampuan diri.
Kita meyakini, Gen Z adalah generasi yang penuh potensi. Dengan dukungan tepat, mereka dapat menjadi agen perubahan positif dan berkontribusi dalam membangun masa depan yang lebih baik. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.