Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Cucun Ahmad Syamsurijal
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI

Menimbang Beban Kebijakan Moneter

Kompas.com - 31/05/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RASA-rasanya kita semua sepakat kondisi ekonomi saat ini jauh lebih menantang dibanding dengan kondisi ekonomi satu dua tahun ke belakang.

Risiko ekonomi masih tetap tinggi, bahkan cenderung semakin mengkhawatirkan seiring dengan dinamika politik global yang tak kunjung usai, malah semakin melebar.

Rantai pasok global yang masih belum berjalan optimal dan diselimuti iklim ketidakpastian menjadi kendala besar dalam pemulihan ekonomi di hampir semua negara, termasuk Indonesia.

Dalam waktu bersamaan, presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming memiliki target pembangunan ekonomi yang besar dan tidak kalah menantang.

Seolah ingin melakukan akselerasi dibanding periode pemerintahan sebelumnya, presiden dan wakil presiden terpilih menetapkan target angka pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, tujuh sampai delapan persen per tahun.

Bukan hanya angka pertumbuhan yang tinggi, presiden dan wakil presiden terpilih ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan layak.

Layak yang dimaksud, yaitu lapangan pekerjaan yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi angka pengangguran, dan menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi politik global serta merosotnya produktivitas sektor industri dalam negeri, target pertumbuhan ekonomi berkualitas tersebut terasa begitu berat jika tidak mau disebutkan mustahil.

Sektor industri yang selama ini menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi berkualitas, kondisinya sedang tidak baik-baik saja, bahkan mengalami penyakit akut, deindustrialisasi.

Bak sudah jatuh tertimpa tangga, dalam waktu bersamaan tren deindustrialisasi juga diikuti dengan menurunnya daya cipta lapanga kerja di sektor industri. Daya cipta lapangan kerja sektor industri pengolahan tidak sebesar dulu.

Penggunaan teknologi tepat guna yang mampu menggantikan peran dan fungsi manusia telah menurunkan permintaan tenaga kerja di sektor industri. Akibatnya, sektor industri semakin tidak membutuhkan campur tangan keterampilan manusia.

Derita sektor industri tidak sampai di situ. Beban biaya operasional perusahaan di sektor industri semakin berat seiring dengan mahalnya beban biaya yang harus ditanggung.

Bahan input produksi yang berasal dari impor terasa jauh lebih mahal seiring dari semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

Jika dua tahun lalu nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ada di kisaran angka Rp 14.000 – Rp 15.000, saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah berada di level Rp 16.000-an dengan volatilitas yang sangat tinggi.

Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ini juga berdampak pada tingkat suku bunga kredit lembaga perbankan.

Untuk merespons lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, Bank Indonesia (BI) lebih dari satu tahun terakhir telah memberlakukan rezim suku bunga tinggi. Akibatnya, beban modal yang harus ditanggung perusahaan di sektor industri semakin berat.

Tingginya beban modal yang harus ditanggung perusahaan menjadikan langkah ekspansi usaha tertunda, bahkan sebagiannya harus dibatalkan.

Kondisi ini pada akhirnya bermuara pada rendahnya daya cipta lapangan kerja baru di sektor industri sebagaimana yang telah dijelaskan di awal tulisan ini.

Padahal, angka angkatan kerja setiap tahunnya terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya lulusan yang dihasilkan lembaga pendidikan.

Tidak kurang dari 1,5 juta wisudawan yang diluluskan lembaga pendidikan tinggi setiap tahunnya, yang tentunya mereka akan berebut dan saling sikut dalam pencarian lapangan pekerjaan.

Rezim suku bunga tinggi Vs pertumbuhan ekonomi tinggi

Rezim suku bunga tinggi yang dianut saat ini sepertinya harus sudah mulai dipertimbangkan untuk diubah atau bahkan ditinggalkan.

Rezim kebijakan moneter yang pro-stability harus sudah mulai diganti jika presiden dan wakil presiden terpilih menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pilihan yang tidak mudah, namun tentunya pilihan tersebut harus tetap diambil jika jalan yang akan ditempuh memang berbeda dari jalan yang selama ini dijelajahi.

Bahkan, jalan yang dilalui selama ini terasa sangat terjal karena kebijakan moneter yang dibuat terasa lebih banyak membebani perekonomian, alih-alih meringankan beban yang diemban.

Penetapan suku bunga acuan tinggi yang diharapkan mampu meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, nyatanya tidak efektif, jauh panggang dari api. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tetap remuk redam dihantam gelombang yang datang dari luar.

Lebih parahnya, efek negatif suku bunga tinggi sudah terlanjur menjalar dalam roda perekonomian.

Semakin mahalnya bahan baku input produksi, tingginya biaya modal, melemahnya daya beli, dan menipisnya likuiditas dalam perekonomian menjadi efek pahit kebijakan suku bunga tinggi yang terlanjur dikeluarkan oleh otoritas kebijakan moneter.

Perputaran uang dalam perekonomian semakin rendah, aktivitas jual beli terus mengalami penurunan, dan jumlah tabungan masyarakat menengah bawah yang semakin berkurang menjadi pertanda bahwa beban kebijakan sektor moneter lebih berat dibanding efek positif yang ditimbulkan.

Ganti rezim kebijakan

Untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan juga berkualitas sebagaimana yang ditargetkan presiden dan wakil presiden terpilih, haruslah didukung kebijakan moneter yang sejalan.

Kebijakan moneter tidak boleh lagi berperan sebagai pengerem dan penghambat aktivitas perekonomian. Sebaliknya, kebijakan moneter harus menjadi pelumas yang lebih meringankan roda dan aktivitas perekonomian.

Pilihan kebijakan moneter yang pro-stability atau pro-growth bukanlah pilihan halal atau haram. Ada kalanya kebijakan moneter tersebut wajib pro-growth dan haram pro-stability, ada kalanya berlaku sebaliknya.

Pro-stability dan pro-growth hanya pilihan rasional dan kondisional, bukan pilihan mutlak yang wajib ditinggalkan atau wajib digunakan.

Ada kalanya kebijakan moneter dibutuhkan untuk mengerem pertumbuhan ekonomi yang dirasa sudah ugal-ugalan. Namun, tidak jarang kebijakan moneter dibutuhkan untuk mendorong jalannya roda perekonomian yang dinilai sudah terlalu lambat.

Saat ini, kondisi ekonomi kita sedang membutuhkan daya dorong yang tinggi alih-alih mengerem jalannya roda perekonomian nasional.

Sudah saatnya rezim kebijakan moneter diubah seiring dengan naiknya target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan presiden dan wakil presiden terpilih.

Jika pengambil kebijakan moneter enggan untuk mengubah haluannya atas dasar keyakinan dan madzhab yang dianut, maka tidak ada salahnya jika otoritas kebijakan moneter saat ini menyerahkan estape kepemimpinan ke penganut madzhab lain yang lebih sejalan dengan arah kebijakan presiden dan wakil presiden terpilih.

Pergantian ini sangat penting dan tidak terkait dengan like atau dislike perseorangan. Pergantian ini seharusnya murni atas dasar pertimbangan efektivitas kebijakan dan jalannya roda perekonomian nasional.

Kita semua berharap target, harapan, dan cita-cita yang telah ditetapkan presiden dan wakil presiden terpilih dapat tercapai dengan sempurna.

Untuk mencapai target tersebut diperlukan sinergi dan kerja sama yang benar-benar kuat antara pemegang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sampai ke tataran praktis, bukan hanya kuat dalam retorika dan lembaran naskah pidato semata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com