Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rido Parulian Panjaitan, PhD
Dosen dan Ketua Program Studi Kebendaharaan Negara, Politeknik Keuangan Negara STAN

Dosen dan Ketua Program Studi Kebendaharaan Negara, Politeknik Keuangan Negara STAN

Dana Abadi Daerah: Solusi Penuh Tantangan

Kompas.com - 04/06/2024, 11:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BARU-baru ini publik dikejutkan wacana iuran pariwisata dalam tiket pesawat. Ide ini diinspirasi beberapa praktik internasional, salah satunya "Sayonara Tax" yang diterapkan Pemerintah Jepang.

Wacana ini meresahkan publik Indonesia karena potensi kenaikan harga tiket dan dampak bola salju-nya terhadap industri penerbangan dan pariwisata.

Untungnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bergegas mengklarifikasi bahwa ide itu hanya bagian pembahasan di rapat teknis sebagai salah satu alternatif sumber pemasukan Dana Abadi Pariwisata Berkelanjutan (Indonesia Tourism Fund/ITF) yang sedang dibentuk. Jadi, belum ada keputusan di tingkat kebijakan bahwa ide ini akan ditempuh.

Terlepas dari iuran pariwisata, hal yang patut kita soroti sejatinya adalah pembentukan Dana Abadi itu sendiri.

Secara konsep, Dana Abadi sangat menarik, khususnya dalam mengurangi beban negara di area tertentu.

Alih-alih mengandalkan Anggaran Negara, pemerintah dapat ‘memarkirkan’ sejumlah dana lalu diinvestasikan dan dipakai membiayai kebutuhan tertentu.

Kita contohkan dana yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Dahulu, tak terbayangkan pemerintah Indonesia dapat membiayai ribuan orang kuliah di universitas Top 100 dunia tanpa bergantung pada pinjaman atau hibah asing.

Alasannya sederhana, biayanya terlalu mahal, APBN tak bakal kuat. Solusinya? Dibuatlah Dana Abadi Pendidikan.

Awalnya, pemerintah memberi suntikan Rp 1 triliun di tahun 2010. Dana itu lalu diinvestasikan pada portofolio dengan risiko terkendali. Hasil investasi Rp 1 triliun itu yang dipakai menyekolahkan anak bangsa.

Berganti tahun, pemerintah kembali menyisihkan dana dan menyuntikkan tambahan modal. Semakin tinggi modal, makin besar pula hasil investasinya.

Sampai akhir 2023, saldo LPDP tembus Rp 111,12 triliun dan sudah 35.536 anak disekolahkan.

Hebatnya, dana pokoknya tidak disentuh. Cukup dengan pendapatan bunga kita bisa membiayai anak Indonesia yang bertalenta. Inilah mengapa dana abadi dianggap pembiayaan berkelanjutan.

Namun demikian, semoga kita tidak terlampau mengglorifikasi Dana Abadi sebagai solusi segala masalah.

Jika tak dikelola dengan baik, Dana Abadi sejujurnya "ngeri-ngeri sedap". Secara khusus, saya memiliki concern terhadap Dana Abadi Daerah (DAD) dalam Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Beleid ini memungkinkan pemerintah daerah membuat dana abadi dengan konsep serupa.

DAD adalah dana dari APBD yang bersifat abadi dan hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah tanpa mengurangi dana pokok.

Batasan konsepnya, DAD hanya dapat diinisiasi daerah dengan sisa lebih anggaran dan kinerja layanan tinggi.

Dana Abadi Daerah harus diakui banyak "sedap-nya". Dengan skema ini, pemerintah daerah memungkinkan memiliki inovasi pembiayaan yang bermanfaat untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial, memberikan kontribusi kepada penerimaan daerah, dan menyambung manfaatnya untuk lintas generasi.

Meski begitu, ada juga unsur "ngeri-nya". Mari kita jenguk dua kasus nyata berikut: Petroleum Fund Timor Leste dan 1Malaysia Development Berhard (1MDB) Malaysia.

Pertama, Petroleum Fund Timor Leste. Sebagai negara yang ekonominya bergantung pada Dana Abadi, Timor Leste sedang tidak baik-baik saja.

Petroleum Fund menyumbang hampir 70 persen pendapatan negara. Dana inilah yang sering dicontohkan salah seorang ekonom senior sebagai bentuk ketertinggalan Indonesia dari Timor Leste.

Padahal, terlalu bergantung pada dana ini membuat anggaran negara Timor Leste tidak stabil. Sejak tahun 2007, Perdana Menteri Timor memutuskan sudah tidak saja menarik pendapatan bunga dari dana ini, namun juga modal pokoknya untuk menambah penerimaan negara.

Tak heran, 10 tahun lagi dana abadi ini diprediksi akan selesai. Jika tidak ada reformasi mendasar, bayangkan apa yang terjadi atas sebuah negara yang kehilangan 70 persen sumber pendapatan utamanya?

Kedua, Dana Abadi 1MDB Malaysia. Dana abadi ini menjadi skandal korupsi hingga 4,5 miliar dollar AS.

Didirikan tahun 2009, 1MDB yang dimaksudkan sebagai dana abadi untuk mempromosikan pembangunan melalui investasi asing, justru menjadi kendaraan korupsi.

Perdana menteri saat itu, Najib Razak, sekaligus bertindak sebagai chairman pengelola dana abadi 1MDB. Melalui bukti-bukti dokumen korupsi yang bocor, skandal ini membuatnya kehilangan jabatan sekaligus terseret ke pengadilan.

Kasus Dana Abadi Timor Leste dan 1MDB sekaligus sebagai pengingat bahwa Dana Abadi bukan solusi tanpa tantangan. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus dilakukan agar semua risiko bisa dimitigasi.

Pertama, Pemisahan Fungsi. Kasus 1MDB mengajarkan pentingnya kekuasaan politik dan pengelola keuangan tidak dikuasai pihak yang sama sehingga dapat dijadikan tunggangan oknum untuk memperkaya diri.

Dana Abadi harus dijauhkan dari kepentingan elite apalagi bersifat politis. Kasus Timor Leste dan Malaysia memperlihatkan ketika Dana Abadi tidak “dilindungi” dan perdana menteri dari kedua negara mengintervensi terlalu jauh mengakibatkan Dana Abadi kontra produktif untuk tujuan awalnya.

Hal ini sekaligus menekankan pentingnya pengawasan yang independen kepada pengelola. Dalam konteks DAD, selain pengawas yang sudah ada, pemerintah pusat perlu mengawasi dengan cermat.

Otonomi Daerah, tak seyogyanya menjadi alasan pemerintah daerah terlepas dari pengawasan pemerintah pusat.

Kedua, Prinsip Kehati-hatian. Membentuk dana abadi hanya akan berhasil jika pengelolanya konsisten dan berhati-hati menginvestasikan dana.

Investasi pada instrumen dengan risiko tinggi bukan hanya membahayakan kesinambungan dana abadi, namun juga kredibilitas pemerintah yang dapat memengaruhi kepercayaan publik.

Itulah sebabnya, berbagai peraturan dan petunjuk teknis sebagai turunan UU No.1/2022 menjadi sangat penting.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Bukan hanya jargon semata, pengelolaan dana abadi perlu dirancang agar memaksa pengelolanya transparan dan akuntabel. Pengelolaan yang profesional menjadi begitu krusial.

Tentu kita optimistis dan meyakini bangsa Indonesia banyak memiliki orang baik, entah di dalam atau luar pemerintahan, yang dapat menjaga keuangan negara tetap kuat dan sehat.

Saya mengakhiri tulisan ini dengan meminjam ungkapan rekan saya: we need to make sure we are not creating a monster!

Semoga semangat pembentukan berbagai Dana Abadi ini tidak membuat kita justru menghadirkan banyak monster penggerus keuangan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com