Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Hilirisasi sebagai Strategi Dekolonisasi Ekonomi

Kompas.com - 26/04/2023, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK 1 Januari 2020, pemerintah Republik Indonesia (RI) melarang ekspor bijih nikel. Kebijakan itu bagian dari peta jalan hilirisasi yang ditargetkan akan berlangsung hingga 2040.

Sebetulnya, sejak 2009 lewat Undang-Undang (UU) Nomor Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah Indonesia punya mimpi untuk melakukan hilirisasi. Sayang sekali, karena lemahnya kemauan politik pemerintah saat itu dan tekanan dari pihak luar, terutama WTO atau Organisasi Perdagangan Dunia dan perusahaan multinasional, kebijakan hilirisasi tertunda.

Sekarang, kebijakan hilirisasi nikel bukan tanpa rintangan. Uni Eropa menggugat Indonesia ke WTO. Hasilnya, Indonesia dianggap telah melanggar sejumlah pasal dalam General Agreement on Trade and Tariff (GATT) 1994.

Baca juga: WTO, Bea Keluar, dan Kebijakan Hilirisasi

Kabar baiknya, pemerintah Indonesia bergeming. Presiden Joko Widodo (Jokowi) keukeuh melanjutkan kebijakan hilirisasi.

“Jangan berpikir negara kita akan menjadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita,” kata Presiden Jokowi saat berpidato di Mandiri Investment Forum (MIF) 2023, 1 Februari 2023.

Model Ekonomi Kolonial

Tahun 1946, saat berbicara dalam forum Konferensi Ekonomi, Bung Hatta menyimpulkan struktur dasar ekonomi kolonial yang disebutnya “ekonomi ekspor”. Menurut Bung Hatta, Hindia-Belanda tak lebih dari sebuah onderneming (perkebunan) besar, yang mengekspor bahan mentah yang dibutuhkan pasar dunia.

Presiden ke-3 Indonesia, BJ Habibie, menyebut model ekonomi yang bergantung pada ekspor bahan mentah sebagai “neokolonialisme VOC dengan baju baru”.

Menurut Habibie, ekspor bahan mentah tak ubahnya pengalihan kekayaan dari suatu negara ke ke negara lain. Sebab, ketika hasil sumber daya alam diekspor dalam bentuk mentah, maka nilai tambah dan jam kerja dinikmati oleh negara lain.

Baca juga: Jokowi Perintahkan Percepatan Investasi Hilirisasi Batu Bara Jadi DME

Dalam khazanah literatur di Amerika Latin ada istilah untuk menggambarkan fenomena itu, yaitu ekstraktivisme. Ekstraktivisme diartikan sebagai ekstraksi sumber daya alam, baik minerba, migas, perkebunan, pertanian, dan perikanan, lalu dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia (Gudynas, 2009).

Model ekonomi ini sudah berusia 500-an tahun. Kelahirannya beriringan dengan sejarah kolonialisasi Eropa terhadap bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menguasai tanah dan perdagangan komoditas dunia.

Model ekonomi ini juga mewakili pembagian kerja ekonomi global yang sudah usang: negara pinggiran (periferi/negara bekas jajahan dan berkembang) menjadi pemasok bahan mentah/bahan baku bagi industri di negara inti (negara-negara industri maju).

Ekstraktivisme membawa banyak penyakit. Pertama, model ekonomi ini tidak menciptakan nilai tambah. Proses akumulasi keuntungannya sangat berkaitan dengan kemampuan untuk menekan biaya investasi dan produksi.

Tak mengherankan, sektor ekstraktif banyak diwarnai praktik suap dan rente, sejak dari tender, perizinan, pajak, ekspor, dan lain-lain.

Baca juga: Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme 

Kedua, ekstraktivisme berkaitan dengan isu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), yang kerap menyandera ekonomi Indonesia setiap tahun. Di satu sisi, ekspor bertumpu pada komoditas primer yang harganya mengalami volatilitas. Di sisi lain, industri dalam negeri mengalami ketergantungan impor bahan baku.

Ketiga, ekstraktivisme tak membutuhkan sumber daya manusia (SDM) berketerampilan tinggi. Walhasil, negara yang terjebak dalam ekstraktivisme kerap tidak serius melakukan investasi untuk menciptakan tenaga kerja terampil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com