Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Hilirisasi sebagai Strategi Dekolonisasi Ekonomi

Kompas.com - 26/04/2023, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keempat, ekstraktivisme tidak berkelanjutan. Kegiatan ekstraktivisme, seperti tebang, gali, dan ekstraksi berpotensi mengganggu lingkungan.

Kebutuhan lahan yang luas juga mendorong alih-fungsi lahan secara besar-besaran. Ekstraktivisme hanya menghasilkan kutukan sumber daya (resources curse), negeri kaya sumber daya alam yang terjebak dalam kemiskinan, disfungsi politik akibat korupsi, dan kepungan bencana alam akibat kerusakan lingkungan.

Manfaat Hilirisasi

Model ekonomi ekstraktif harus diakhiri. Selain karena membawa banyak dampak negatif, model ekonomi itu masih merupakan warisan dari kolonialisme.

Dalam konteks itu, hilirisasi tak bisa dimaknai sekadar sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki negeri kita. Lebih penting dari itu, hilirisasi harus diletakkan sebagai strategi dekolonisasi ekonomi.

Hilirisasi akan mengakhiri kisah Indonesia sebagai penyuplai bahan baku murah bagi negara kapitalis maju. Hilirisasi juga membuat Indonesia akan naik kelas dari negara berkembang dan penampung produk dari negara maju menjadi negara industri maju.

Hilirisasi akan memungkinkan negara menaikkan nilai tambah sebuah komoditas hingga berkali-kali lipat. Setoran ke kas negara dari tata-kelola sumber daya alam (SDA) juga meningkat. Lapangan industri baru dan penyerapan tenaga kerja juga meningkat.

Lebih penting dari itu, hilirisasi akan menyediakan dasar bagi industrialisasi. Hilirisasi akan memasok kebutuhan bahan baku bagi industri dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku. Ketergantungan industri dalam negeri terhadap bahan baku impor masih mencapai 70-75 persen.

Baca juga: Ford Bangun Smelter Nikel di Indonesia Pasok Baterai Mobil Listrik

Dalam kasus nikel, manfaatnya langsung terasa. Nilai tambah dari ekspor nikel meningkat pesat dari 1,1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 30-33 miliar dolar, atau dari kira-kira Rp 18 triliun menjadi Rp 450 triliun (pidato Presiden Jokowi di MIF 2023).

Pemerintah memproyeksikan, pada 2045 nanti hilirisasi akan membawa PDB Indonesia pada angka 9-11 triliun dolar, dengan PDB (produk domestik bruto) per kapita sudah di kisaran 21.000-29.000 dolar. Kalau hal ini benar terwujud, Indonesia sudah masuk kategori negara maju.

Hilirisasi akan memaksa pemerintah Indonesia menyiapkan SDM yang lebih terampil dan terdidik. Keuntungan berlipat ganda dari tata-kelola SDA akan memberi ruang fiskal yang besar untuk investasi di sektor pendidikan dan kesehatan.

Terakhir, hilirisasi memungkinkan pemerintah mengintegrasikan tata kelola SDA dengan agenda industrialisasi nasional. Dengan begitu, tidak ada lagi jebakan enclave economy, yaitu kegiatan ekonomi/industri berorientasi ekspor yang terpisah atau tidak terintegrasi dengan sektor ekonomi nasional lainnya.

Kita sungguh berharap, saat Indonesia merayakan seabad usia kemerdekaan nanti, ekonomi nasional kita sudah merdeka dari ekstraktivisme. Kita sudah beranjak menjadi negara industri maju, yang rakyatnya bisa adil dan makmur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com