PADA 8 Juni 2022, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 4/2022, pemerintah menargetkan pengentasan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen pada 2024.
Target ini jauh lebih ambisius dibanding Tujuan Global (SDG) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencanangkan penyelesaian kemiskinan hingga 2030.
Dalam Susenas 2022, sebanyak 2,04 persen populasi nasional, setara 5,6 juta jiwa masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Angka ini turun tipis 0,10 persen dibanding tahun sebelumnya. Mencapai target 0 persen kemiskinan ekstrem tahun depan pun sangat tak mudah, namun bukan berarti mustahil.
Kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang disebabkan berbagai faktor. Pada 2017, Program Pembangunan PBB (UNDP) melakukan pengukuran kemiskinan di Indonesia dari segi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Hasilnya, sekitar 9,5 juta jiwa mengalami kemiskinan multimensional, sementara 12,8 juta lainnya tergolong rentan miskin.
Kesehatan memegang peran penting dalam pengentasan kemiskinan. Kualitas kesehatan yang buruk menimbulkan biaya pengobatan yang tinggi dan berdampak negatif pada penghasilan masyarakat (Bank Dunia, 2014).
“Sayangnya, sejumlah masalah kronis masih terus menghantui sektor kesehatan di Indonesia,” tegas sebuah artikel 2021 terbitan Lowy Institute.
Kesenjangan akses menjadi salah satu isu utamanya. Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 59,3 persen rumah tangga di Papua menilai bahwa akses pelayanan kesehatan masih sangat sulit.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Yogyakarta dan Jakarta yang hanya sebesar 7,6 persen dan 16,2 persen.
Masalah kesehatan juga menyirnakan harapan banyak anak untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pada 2022, tingkat kematian bayi tercatat mencapai 1.690 per 100.000 kelahiran.
Meski turun 1,74 persen dari tahun sebelumnya, angka ini masih jauh di atas target global PBB sebesar 70 per 100.000 kelahiran.
Selain itu, 21,6 persen anak yang berhasil tumbuh menghadapi masalah stunting. Dalam beberapa tahun masa pertumbuhan selanjutnya, masalah kesenjangan pendidikan pun muncul.
Sulitnya akses pendidikan akibat keterbatasan sosioekonomi telah menyebabkan siklus kemiskinan terus berlanjut.
Meski tingkat partisipasi pendidikan terus meningkat selama satu dekade terakhir, 4,2 juta anak masih belum dapat mengakses pendidikan karena kendala sosioekonomi dan geografis (UNICEF, 2020).