KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Pelunturan Etika

Kompas.com - 25/11/2023, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NAMA besar Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang melegenda sampai sekarang, bahkan terus disebut bila kita bicara soal integritas, bukanlah tanpa sebab. Beragam kisah mengenai komitmennya untuk menegakkan integritas beredar di berbagai kalangan.

Ada cerita, Hoegeng pernah meminta sang istri untuk menutup toko kembangnya. Peristiwa ini terjadi sehari sebelum Hoegeng dilantik menjadi Dirjen Imigrasi karena khawatir akan konflik kepentingan dari orang-orang yang memesan bunga di toko istrinya. Hoegeng juga menolak keinginan anak laki-lakinya yang ingin masuk Akabri atau kini dikenal dengan Akademi Tentara Nasional Indonesia ketika ia masih menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).

Kekerasan hati Hoegeng diteruskan sampai ia dipensiundinikan pada usia 49 tahun akibat usahanya membongkar kasus Sum Kuning. Kasus ini diduga kuat melibatkan anak-anak pejabat negara.

Baca juga: Indra Keenam

Mendengar kisah tentang Hoegeng, membuat kita sadar bahwa cerita kepahlawanan seharusnya bukan hanya ada di buku-buku bacaan. Terlalu sering kita mendengarkan berita mengenai peraturan yang bisa dengan mudah diubah oleh para petugas yang diharapkan menjadi garda penjaganya. Begitu apatis kita mendengar kasus anak-anak tokoh publik dengan mudah lolos dari jeratan hukum berkat kekuasaan dan harta orangtuanya.

Ada masanya ketika kita begitu terbiasa dengan selipan-selipan amplop ketika ingin mengurus sesuatu di instansi pemerintahan sampai hal ini pun sudah dianggap sebagai kenormalan. Kita pun hanya bisa terperangah melihat pejabat korup yang tertangkap malah memohon doa agar kuat menghadapi cobaannya.

Beragam kasus pelanggaran yang sudah dimaklumi tersebut membuat kita menjadi galau. Apakah aturan, norma, dan etika masih bisa dijadikan pegangan hidup?

Baca juga: Paradoks Kekuasaan

Dalam dunia profesi, kita pun mengenal kode etik yang dipegang para profesional. Dokter tidak boleh mengiklankan diri di bidang kesehatan, apalagi mendiskreditkan kualifikasi sejawatnya. Mereka memiliki kewajiban untuk memberikan sejelas-jelasnya informasi kepada pasien dan keluarganya atas segala tindakan yang akan dilakukan, bahkan lengkap dengan konsekuensi yang mungkin terjadi akibat dari tindakan tersebut.

Jurnalis memiliki aturan mengenai tanggung jawab atas berita yang mereka tulis, mulai dari bagaimana memperoleh berita sampai proses klarifikasi untuk bisa memberikan gambaran yang obyektif.

Demikian pula di dunia hukum, siapa boleh dan tidak boleh mengadili siapa. Kode etik biasanya mengatur tindakan untuk menjaga terjadinya ketidakpatutan, ketidakadilan, unfairness, yang membuat terusiknya kemanusiaan kita.

Mengapa sulit menjaga etika?

Pelunturan etika sering kali berhubungan dengan keterbatasan manusia dalam memproses informasi. Ketika berfokus pada satu elemen penting saat menghadapi masalah, kita kerap tidak mampu melihat pentingnya masalah lain.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman
Ketika berfokus pada tanggung jawab sebagai orangtua untuk menjaga keutuhan keluarga, kita lupa pada keluarga-keluarga lain yang porak-poranda akibat perbuatan anggota keluarga kita.

Baca juga: Lengser Cantik

Ketika kita berfokus untuk mencapai key performance indicator (KPI) divisi dan target organisasi, bisa jadi kita melupakan tata krama berorganisasi, mengupayakan segala cara demi pencapaian tujuan tersebut. Bukan tidak mungkin, kita merasa telah melakukan hal yang baik karena mengutamakan kepentingan organisasi.

Peneliti Ann Tenbrunsel dari Universitas Notre Dame menuliskan bahwa ethical fading adalah bentuk penyamaran diri. Jarang sekali kita bermaksud melakukan hal yang salah, tetapi petunjuk-petunjuk halus membawa kita untuk mengabaikan implikasi moral dari keputusan-keputusan kita. Kita membiarkan etika kita "memudar" dari pandangan.”

Di sinilah awal mula batas antara apa yang benar dan salah mulai kabur, mulai dari menyepelekan fakta menyangkut nilai-nilai yang kita pegang dengan alasan kepentingan organisasi, hingga menghibur diri sendiri dengan pembenaran-pembenaran.

Baca juga: Tata Krama di Dunia Digital

Situasi itu disusul situasi lain yang terus-menerus membuat kewaspadaan kita luntur. Kita membohongi teman karena tidak bisa menepati janji, menyembunyikan fakta perusahaan terhadap pemangku kepentingan, melakukan window dressing, menjual barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi karena tidak mau menanggung kerugian, bersiasat menghindari pajak.

Daftar tersebut semakin lama bisa kian panjang. Kita melakukan rasionalisasi yang meyakinkan diri bahwa semua orang juga melakukannya. Ini memperkuat ego untuk tetap melanjutkan pelanggaran.

Baca juga: Manusia Pembelajar

Simon Sinek dalam bukunya The Infinite Game menulis, gejala pelunturan ini biasa bermula dari ketegangan dalam proses mencapai sasaran jangka pendek individu. Sinek menekankan bahwa hampir dipastikan bahwa pelunturan wewenang ini dilakukan mereka yang berpikiran pendek dan hanya memikirkan diri sendiri atau lingkungan terkecilnya.

Budaya yang menempatkan uang di atas segalanya, bisa membuat orang terdorong untuk mengambil jalan pintas, menekuk peraturan, dan membuat keputusan demi keuntungan material. Biasanya, dalam budaya seperti ini terdapat pemimpin yang kehilangan visi ke depannya.

Tim, organisasi, sampai negara terdiri atas kumpulan manusia. Manusia memang bisa berbohong.

Baca juga: Humor di Tempat Kerja

Namun, kita juga bisa memilih untuk menguatkan perilaku etis, memikirkan kualitas kita sebagai manusia, serta berusaha keras bersikap jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Mencegah pelunturan etika

Bahaya pelunturan etika ini seperti infeksi yang merusak sistem imunitas diri kita. Ketika hal ini dilakukan oleh seorang pemimpin, bawahan akan dengan mudah mengikuti dan menormalisasi perilaku tersebut sampai moral organisasi tidak lagi terjaga.

Perbaikan terhadap budaya seperti ini sulit dilakukan dalam semalam. Pelunturan ini sudah membuat kemanusiaan terluka. Seperti halnya antibiotik yang harus digunakan untuk mengobati infeksi parah, dibutuhkan kekerasan hati untuk memulai lagi penegakan etika.

Baca juga: Membangun Rasa Percaya

Langkah awal, kita perlu mencermati setiap keputusan yang kita buat. Kita perlu mempertimbangkan segala aturan dan dampak yang ada terhadap sasaran jangka panjang.

Kita perlu terbuka terhadap pandangan orang lain dan siap untuk berubah. Kita juga perlu waspada terhadap kebiasaan merasionalisasi tindakan kita dengan istilah-istilah manis yang secara nurani kita tahu bahwa itu melanggar etik.

Profesor Ariely dari Duke University menggambarkan tindakan pencegahan ini dengan formula REVISE (reminding, visibility, dan self engagement) yang mengangkat etika dengan tegas ke permukaan.

Baca juga: Kemampuan Memimpin adalah Keterampilan Nonteknis

Setiap orang perlu mewaspadai tanda-tanda kecil dari gejala ketidakjujuran ataupun pelanggaran moral yang disusul dengan membatasi anonimitas, meningkatkan saling jaga satu sama lain, dan mendorong setiap individu memperjuangkan self image yang positif.

Kita beruntung sebagai bangsa Indonesia cukup mengacu pada 2 sila di antara 5 sila Pancasila sebagai acuan hidup kita: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pemimpin yang etis cukup berpegang pada dua sila ini.

 

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com