SETELAH debat calon wakil presiden (Cawapres) sesi kedua, berbagai opini menyeruak. Harian Kompas cetak edisi 23 Desember 2023, memberi judul halaman pertama yang menohok, “Cawapres Minim Terobosan Menaikkan Penerimaan Negara.”
Sebagai contoh, kita bisa mengkaji program Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Mereka akan memberikan makan dan susu gratis. Anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 400 triliun. Sementara untuk menuju EBT/energi baru terbarukan yang rendah karbon butuh investasi Rp 1.000 triliun.
Pertanyaan kita, bagaimana cara memperoleh anggaran Rp 1.400 triliun untuk dua program tersebut?
Misalkan, program tersebut efektif tahun 2025, maka APBN akan meningkat signifikan, sekitar 42 persen dari 2024.
APBN menjadi lebih ekspansif dan membutuhkan kapasitas fiskal lebih besar. Kapasitas fiskal di sini maksudnya: konsolidasi kemampuan keuangan negara yang dihimpun dari pendapatan negara untuk mendanai anggaran belanja negara.
Pertanyaan yang sama kita ajukan pada tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Misalnya, memberikan subsidi untuk tiap ibu hamil Rp 6 juta dan dana desa Rp 5 miliar per desa.
Demikian pula tim Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang berjanji menaikan gaji guru sebesar Rp 30 juta.
Janji-janji politik ini berdampak pada ekspansi fiskal. Membutuhkan kapasitas fiskal yang besar melalui konsolidasi penerimaan negara.
Pada debat cawapres sebelumnya, kita sulit menemukan gambaran bagaimana cara mengatasi ekspansi fiskal yang besar dalam APBN melalui janji-janji politik?
Dalam debat, ketiga Cawapres masih sebatas mengumbar proposal populis, tapi belum menggambarkan strategi politik fiskal yang jelas.
Sebagai gambaran, salah satu bentuk dari konsolidasi fiskal untuk meningkatkan penerimaan adalah optimalisasi pajak (tax effort).
Bila kita analisa data yang bersumber dari Kemenkeu, dari 2009-2023, rata-rata peningkatan penerimaan negara sebesar 5,4 persen dan belanja negara 7,3 persen.
Pertumbuhan belanja yang lebih tinggi dari penerimaan, berkonsekuensi pada terbatasnya ruang fiskal.
Dampaknya, defisit APBN dalam tren yang meningkat 15 tahun terakhir. Sementara rasio penerimaan mengalami stagnasi, tercermin dari rasio pajak terhadap PDB yang stuck di bawah 10 persen (sekitar 70 persen dari penerimaan negara adalah dari pajak)