Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jepang Terancam Alami Resesi, Mengapa?

TOKYO, KOMPAS.com - Perekonomian Jepang kemungkinan bakal mengalami resesi, setelah terpukul dampak kenaikan pajak penjualan pada kuartal IV 2019 lalu.

Tidak hanya itu, perekonomian Jepang juga terdampak merebaknya virus corona sejak awal tahun 2020, yang menyebabkan aktivitas ekonomi terganggu.

Dilansir dari Bloomberg, Selasa (18/2/2020), produk domestik bruto (PDB) Jepang merosot 6,3 persen pada kuartal IV 2019 dibandingkan pada kuartal sebelumnya. Ini adalah penurunan pertumbuhan ekonomi terbesar bagi Jepang sejak kenaikan pajak pada tahun 2014 silam.

Hal ini diungkapkan oleh estimasi awal yang dirilis Kantor Kabinet Jepang, hari ini.

Para ekonom memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Jepang merosot 3,8 persen, sebagai imbas kenaikan pajak, lemahnya permintaan global, dan gangguan akibat badai taifun.

Proyeksi yang jauh lebih buruk dari ekspektasi tersebut menunjukkan, beberapa indikator keyakinan pemerintah terkait bantalan untuk menghambat dampak kenaikan pajak salah sasaran.

Selain itu, mengantisipasi virus corona yang masih merebak, pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe juga dinilai harus mempertimbangkan belanja tambahan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.

"Saya siap untuk kontraksi berikutnya di kuartal I 2020 di Jepang. Tidak ada faktor-faktor positif untuk membangun proyeksi pertumbuhan (ekonomi) yang positif," ungkap Mari Iwashita, kepala ekonom di Daiwa Securities.

Iwashita mengekspektasikan pemerintah Jepang mengalokasikan anggaran tambahan ketika jelas bahwa ekonomi Jepang stagnan pada kuartal I 2020.

Pemerintahan Abe dan bank sentral Jepang sebelumnya mengekspektasikan dampak yang lebih kecil dari kenaikan pajak dibandingkan pada 2014 lalu. Kala itu, ekonomk Jepang terkontraksi 7 persen.

Namun, pada kenaikan pajak yang diumumkan akhir tahun lalu, besaran kenaikannya lebih kecil, produk makanan dikecualikan, dan pemerintah telah menggelontorkan upaya stimulus untuk menekan penurunan daya beli.

Meski begitu, para ekonom menyebut, beberapa langkah pemerintah, seperti potongan harga untuk pengeluaran via transaksi nontunai, memiliki dampak terbatas karena tidak menarik bagi segmen populasi yang lebih tua yang tidak terbiasa dengan transaksi nontunai.

"Angka-angka yang ada menunjukkan kerentanan konsumsi domestik terhadap kenaikan pajak penjualan," ungkap Takashi Shiono, ekonom di Credit Suisse Group AG.

Data terbaru menunjukkan konsumsi swasta anjlok sebesar 11 persen secara tahunan pada kuartal IV 2019, karena rumah tangga memangkas pembelian mobil, kosmetik, dan peralatan rumah tangga. Pada tahun 2014 angkanya mencapai 18 persen.

Investasi juga terpantau merosot sebesar 14 persen. Sebab, dunia usaha lebih memilih untuk menunggu tanda-tanda pemulihan dari guncangan akibat kenaikan pajak sebelum berkomitmen untuk berinvestasi lebih lanjut.

Namun demikian, pejabat Jepang masih kukuh pada asumsi bahwa dampak kenaikan pajak terhadap perekonomian cenderung lebih kecil dibandingkan pada 2014.

Akan tetapi, pemerintah juga tak menutup kesempatan menggelontorkan belanja lebih banyak jika ekonomi menunjukkan tanda-tanda stagnan.

"Kami akan tetap mencermati dampak virus (corona) terhadap pariwisata dan ekonomi secara keseluruhan. Menurut tingkat daruratnya, kami akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara fleksibel dan bertanggung jawab," terang Menteri Perekonomian Jepang Yasutoshi Nishimura.

https://money.kompas.com/read/2020/02/18/123718026/jepang-terancam-alami-resesi-mengapa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke