Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Omnibus Law dan Pancasila

Indonesia seakan terbelah dua dalam kasus Omnibus Law ini yaitu mereka yang setuju dan mendukung serta mereka yang sangat keras menentangnya. Masing-masing memiliki alasan dan argumentasi yang kelihatan sama kuat dan sama masuk akal.

Presiden menjelaskan tentang Omnibus Law yang ditujukan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru khususnya di sektor padat karya. Pada sisi lain Omnibus Law juga ditargetkan untuk memotong alur birokrasi yang selama ini dipandang banyak menghambat dalam proses perijinan usaha dan sekaligus niat para investor berinvestasi di Indonesia.

Sehingga pada dasarnya, Omnibus Law bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebuah langkah terobosan yang dipilih oleh pemerintah untuk dapat memudahkan dan mempercepat aneka program bagi kepentingan rakyatnya. Sebuah niatan yang seharusnya dan juga logikanya akan memperoleh dukungan yang luas dari segenap rakyat Indonesia.

Agak sedikit membingungkan, bahwa ternyata Omnibus Law ini yang logikanya harus didukung bersama, ternyata telah pula menumbuhkan arus besar perlawanan dari pihak yang menentangnya.

Tidak tanggung-tangung karena mereka yang menentang adalah bukan hanya rakyat biasa seperti yang terkuak dipermukaan sebagai pendemo yang ternyata belum pernah membaca Omnibus Law akan tetapi juga banyak kaum cerdik pandai dan para akademisi yang mengemukakan ketidak-setujuannya.

Profesor Riset dan Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyatakan Omnibus Law tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional. Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar menyatakan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja perlu diiringi dengan desakan atau tekanan dari publik secara meluas karena tak sedikit pihak yang dirugikan dari peraturan tersebut.

Ada beberapa lagi pendapat para kaum intelektual bangsa yang menganalisis dengan kajian mendalam tentang Omnibus Law yang pada dasarnya menyebut bahwa UU tersebut tidak layak dilaksanakan oleh pemerintah. Alasan-alasan dan argumentasi yang masuk akal juga dikemukakan mengenai tidak layaknya Omnibus Law untuk dilaksanakan di negeri ini.

Sampai di sini pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada dialog atau komunikasi antara para ahli, akademisi kaum terpelajar, professor, doktor dan para praktisi dari pihak yang mendukung dan dari pihak yang menolak untuk duduk bersama-sama merumuskan niat baik yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat Indonesia?

Kedua belah pihak selalu mendasari alasan dan analisis masing-masing yang sama yaitu untuk atau demi kesejahteraan rakyat. Sebuah alasan yang sama dan sebangun, sebuah modal besar bagi dapat terselenggaranya dengan mudah dialog dan atau komunikasi dan sayangnya tidak pernah terjadi.

Lebih dari itu justru yang muncul di permukaan sebuah kecenderungan untuk saling mempersalahkan alias saling tuduh satu dengan lainnya dalam membahas Omnibus Law ini.

Sekedar catatan saja, bahwa untuk urusan mencari kesalahan adalah sebuah kerja yang sangat mudah dilakukan oleh siapa saja, bahkan tidak memerlukan pendidikan tinggi sama sekali, karena memang pada dasarnya tidak satu orangpun di permukaan bumi ini yang “sempurna”.

Seiring dengan itu pasti sudah dapat dipahami pula oleh para akademisi dan kalangan cerdik cendikia, profesor, doktor dan lain sebagainya bahwa mekanisme mencari kesalahan orang lain adalah sebuah kegiatan yang jauh dari sebuah proses menyelesaikan persoalan atau problem solving.

Apalagi untuk penyelesaian masalah berkait dengan upaya mensejahterakan rakyat kita sendiri. Perangkat komunikasi dalam mekanisme prosedur dan tata cara mengelola pemerintahan pun sebenarnya sudah tersedia.

Demikianlah yang terjadi terbentuknya 2 kelompok elit negeri yang berbeda pendapat “sangat tajam” dalam melihat Omnibus Law. Landasan pembenarannya selalu saja bahwa dalam “demokrasi perbedaan pendapat adalah hal yang biasa”.

Bisa dipahami, di kalangan elit perbedaan pendapat adalah biasa, karena merupakan bagian dari berdemokrasi. Namun tetap saja pertanyaan yang menggoda adalah, tujuan kita semua untuk berdemokrasi atau untuk menyejahterakan rakyat.

Tanpa kita sadari sangat berlainan dengan kalangan elit, maka perbedaan (pendapat) di kalangan akar rumput adalah sesuatu yang dengan mudah digiring pada persoalan hidup dan mati. Implementasi dan wujud nyata dari hal ini adalah demo di lapangan untuk menentang Omnibus Law yang rawan bagi terjadinya kontak fisik dan destruktif anarkis kemudian terjadi.

Dalam demo besar-besaran menentang Omnibus Law ternyata hasilnya seperti sangat mudah diduga, telah membawa korban dan kerusakan yang tidak main-main. Sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menghasilkan apapun kecuali kerugian besar, kerusakan dan jatuhnya korban.

Sebuah kegiatan yang hasilnya sama sekali menjadi tidak ada hubungannya dengan soal Omnibus Law itu sendiri. Sebuah kegiatan sia sia dan sungguh menyedihkan.

Itulah gambaran yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Sebuah drama yang menyedihkan, di sebuah negara kesatuan Republik Indonesia.

Sebuah negara yang berdasarkan Pancasila dan kita semua memahami dan mengetahui bahwasanya Pancasila tercantum pada alinea ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Sila-sila dalam Pancasila sama sekali tidak memerlukan pendalaman dan pengkajian serta analisis dan penelitian akademik untuk bisa memahaminya.

Kata-kata pada setiap sila sangat sederhana dan sangat mudah untuk dimengerti. Yang diperlukan hanya kesadaran bagi seluruh rakyatnya bahwa mereka adalah warga bangsa dari sebuah negara yang berdasarkan Pancasila dengan isi silanya yang sekali lagi, sangat mudah dimengerti.

Para elit negeri dan kaum terpelajar seyogyanya dapat memberikan contoh dan keteladanan tentang bagaimana bertingkah laku sebagai warga bangsa dari sebuah negara yang berdasarkan Pancasila.

Apabila tidak, maka negeri ini akan selalu bergulir dengan dinamika yang tidak jelas hendak bergerak kemana, berputar statis laksana orang yang tengah berjalan di tempat.

Dengan kondisi yang seperti ini maka tidak dapat disalahkan bila orang akan berkesimpulan bahwa Pancasila ternyata tidak lebih dari sebuah atribut atau aksesori hiasan belaka. Sebuah tantangan besar yang membutuhkan jawaban dari kita semua.

Catatan kecilnya, beda pendapat bagi kalangan elit adalah hal biasa dalam berdemokrasi, sementara bagi kalangan akar rumput beda pendapat bisa diterjemahkan sebagai persoalan hidup dan mati dan dapat dengan mudah mengantar mereka untuk berdemonstrasi yang destruktif dan anarkis.

Syukur alhamdulilah apabila momentum Omnibus Law dengan segala sengkarut yang terjadi akhir akhir ini dapat kiranya menyadarkan kita semua sebagai warga bangsa yang negaranya, negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Dasar Negara dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Amin YRA...

https://money.kompas.com/read/2020/10/16/190900026/omnibus-law-dan-pancasila

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke