Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Resiliensi Bisnis: Pemikiran Desain Menuju Berkelanjutan

WABAH Covid-19 mengacaukan ritme bisnis, industri dan ekonomi global. Banyak negara tengah menutup akses masuk ke wilayah mereka dan membatasi kegiatan manufaktur skala besar.

Produksi berhenti dan konsumsi masyarakat pun mengalami perubahan mengakibatkan kacaunya rantai pasok global. Dampaknya, banyak pelaku usaha yang tidak dapat beradaptasi, bahkan tidak mampu bertahan diterjang badai pandemi ini.

Dalam berbagai forum diskusi, diutarakan bahwa konsep globalisasi akan dikaji ulang dan negara akan berfokus memperluas produksi dalam negeri dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap pemasok negara lain sehingga gangguan rantai pasokan pada negara tersebut dapat cepat diselesaikan.

Di satu sisi, krisis global ini menyadarkan kita semua akan pentingnya kekuatan ekonomi dan kemandirian dalam negeri sendiri dalam upaya meningkatkan ketahanan suatu negara.

Di sisi lain, pandemi ini juga mendorong kita semua melakukan refleksi diri tentang perlu adanya "pemikiran desain" yang berorientasi inovasi berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, lingkungan dan sosial, yang dikenal luas dengan sebutan triple bottom line, demi meningkatkan daya saing bangsa dan keberlangsungan planet ini.

Pemikiran desain (design thinking) merupakan suatu proses terstruktur dan berulang-ulang untuk memanfaatkan kreativitas serta melibatkan pemangku kepentingan dari latar belakang yang berbeda.

Tentu berbeda antara "pemikiran desainer" dan "pemikiran desain". Liedtka (2015) mengatakan bahwa pemikiran desain berbeda dengan pendekatan inovasi biasa, karena bukanlah proses yang kaku melainkan terintegrasi dengan cara berpikir kreatif dan analitik beserta berbagai alat dan teknik langsung.

Istilah pemikiran desain pertama kali diperkenalkan oleh John E Arnold dalam bukunya "Creative Engineering" tahun 1959, dan L Bruce Archer dalam bukunya "Systematic Method for Designers" tahun 1965.

Menurut Arnold, pemikiran desain adalah pemecahan masalah yang berfokus pada manusia (human-centered design) yang dapat menghasilkan fungsionalitas baru, tingkat kinerja yang lebih tinggi, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan nilai jual.

Pada konsep awal, pemikiran desain mencakup semua inovasi produk namun sekarang ini aplikasinya pun semakin luas dalam berbagai lingkup desain, manajemen, rekayasa, bisnis, kemanusiaan dan bidang lainnya.

Beberapa peneliti mendemonstrasikan bahwa pemikiran desain menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni penalaran abduktif dalam menciptakan nilai dengan bertanya "bagaimana jika", dibandingkan teknik pengambilan keputusan umum yang mengedepankan pemikiran analitis (yaitu deduktif dan induktif) yang menghasilkan sesuatu yang dapat diprediksi (Martin, 2009; Fischer, 2015).

Model pemikiran desain menggabungkan ketiga unsur, yaitu Human-Business-Technology (HBT) di mana kelayakan bisnis, kelayakan teknis, dan kebutuhan manusia, menjadi satu kesatuan yang utuh dan harmonis.

Banyak peneliti mengemukakan bahwa proyek atau inovasi berbasis "pemikiran desain" biasanya dimulai dengan fase eksplorasi pada situasi kehidupan nyata yang berfungsi untuk memahami masalah dan konteks yang diberikan, untuk mengamati pengguna dan menentukan kerangka masalah yang memadai.

Selama fase ideation, partisipan menstimuli dan menghasilkan berbagai ide yang dapat memecahkan masalah pengguna. Kemudian pada fase eksperimen, ide yang paling menjanjikan dipilih, dibuat prototipe, dan diuji calon pengguna sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Setelah setiap iterasi, ide-ide diadaptasi sesuai dengan umpan balik pengguna dan diulangi hingga solusi optimal, namun layak dan berkelanjutan ditemukan (Beckman dan Barry, 2007; Brown, 2008, 2009; Liedtka, 2015; Zheng, 2018).

Beverland dkk (2015) mengemukakan fokus utama "pemikiran desain" menawarkan solusi yang lebih humanistik terletak pada pemahaman yang komprehensif dari masalah tertentu dimana berbagai kemungkinan solusi dibuat dan kemudian diuji dengan calon pengguna dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Bahkan, pemikiran desain disinyalir dapat memfasilitasi penciptaan dan berbagi pengetahuan baru dan kemungkinan yang sebelumnya tak terbayangkan (Kolko, 2015; Michlewski, 2008).

Akan tetapi, ironisnya hal tersebut cenderung mendorong konsumerisme, dan selama kita mempertahankan keyakinan bahwa solusi apa pun layak dibuat selama memenuhi kebutuhan manusia, bisnis, dan teknologi, kita tidak akan pernah melepaskan diri dari kekuatan merusak.

Alih-alih kita bertanya pada diri sendiri terlebih dahulu. Apakah itu menyelesaikan kebutuhan manusia? Apakah layak untuk dibangun? Apakah ini memberikan kontribusi positif bagi keberadaan manusia dan lingkungannya di masa depan? Jika tidak, sebaiknya tidak dirancang.

Keberlanjutan mungkin akan lebih mudah dipahami dalam konteks kebalikannya, yakni ketidakberlanjutan.

Tindakan yang merusak seperti pelepasan emisi karbon maupun yang berkontribusi pada polusi, perubahan iklim, keusangan dan sejumlah masalah sosial budaya harus direncanakan tidak berkelanjutan.

Buhl dkk (2019) mengungkapkan bahwa pemikiran desain dapat mendorong pengembangan inovasi yang berorientasi pada keberlanjutan.

Mereka mendemonstrasikan ada lima prinsip utama dalam mengembangkan pemikiran desain yang berorientasi pada keberlanjutan, yaitu pembingkaian masalah, fokus pengguna, keragaman, visualisasi, serta eksperimen dan iterasi.

Sejak tahap awal, konteks pengembangan berkelanjutan harus telah dibingkai dalam pemikiran desain tersebut. Jadi keberlanjutan tidak selalu tentang daur ulang dan pelestarian lingkungan, ini tentang mempertahankan keberadaan (bisnis) kita.

Wilson Kosasih
Ketua Program Studi Teknik Industri Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2021/02/05/173000326/resiliensi-bisnis--pemikiran-desain-menuju-berkelanjutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke