KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

Mengembangkan Diri Lewat “Kepo”

SEORANG teman sudah terkenal kepo sejak mahasiswa. Setiap ada gerakan, sesuatu yang baru, ataupun berbeda, ia selalu mencari tahu. Bisa melalui bertanya, mendengar dari orang lain, maupun menelusuri berita di internet.

Teman-teman pun sering bertanya kepada dia mengenai sesuatu hal. Pasalnya, mereka tahu dia pasti sudah memiliki informasi mengenai hal tersebut.

Setelah lulus kuliah, kariernya melejit. Dia sudah mencapai posisi yang diidamkan banyak orang hanya dalam waktu singkat.

Banyak orang menilai, individu yang terlalu ingin tahu urusan orang alias kepo itu mengganggu, bahkan mendapat cap negatif.

Padahal, punya rasa kepo tingkat tinggi—atau dalam bahasa kompetensi di organisasi dikenal sebagai curiosity—sebenarnya bisa mendatangkan manfaat.

Sikap ingin tahu terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama, sikap yang sering kita temui pada pengamat-pengamat media sosial. Mereka hanya ingin tahu mengenai kehidupan para artis dan selebritas tanpa memiliki kebutuhan khusus, sekadar just for fun.

Tipe kedua dikenal sebagai social curiosity. Tipe ini merupakan individu banyak mendengar, mengobservasi, serta mempelajari apa yang dipikirkan dan dikerjakan orang lain.

Terkadang, individu dengan tipe social curiosity sering mencari gosip atau fakta-fakta yang tidak dipublikasikan. Karenanya, mereka menjadi sosok yang enak diajak bicara karena memiliki banyak informasi.

Tipe ketiga adalah tipe thrill seekers yang senang dengan hal baru dan menantangan. Individu seperti ini bersedia untuk mengambil risiko fisik, sosial, bahkan finansial. Mereka ingin merasakan pengalaman baru.

Biasanya, semakin kompleks dan bervariasi informasi yang digali, mereka semakin bersemangat. Individu dengan kapasitas ini selalu butuh memacu adrenalin dalam dirinya.

Dari penjelasan tadi, tipe social curiosity dan thrill seekers adalah orang-orang yang memanfaatkan rasa ingin tahunya untuk pengembangan diri.

Bayangkan, berapa banyak orang yang rasa ingin tahunya tumpul? Bahkan, bisa dikatakan, hanya sedikit pemimpin yang mempertanyakan hal-hal penting yang seharusnya diketahui dalam organisasi, bidang, pasar, atau lingkungan eksternalnya.

Lantas, jika pemimpin tidak memiliki rasa ingin tahu, apakah ia dapat membawa organisasinya memenangkan kompetisi?

Curiosity menuju kompetensi

Dalam 30 tahun terakhir, banyak perusahaan pemerhati sumber daya manusia berusaha mengukur keberhasilan seorang pemimpin. Curiosity merupakan salah satu kompetensi utama yang selalu muncul.

Riset membuktikan, mereka yang memiliki curiosity tinggi biasanya tidak mudah terbawa pada paham sempit, seperti stereotip. Pemimpin dengan curiosity juga tidak akan mengambil kesimpulan yang menggeneralisasi sekelompok orang.

Sebaliknya, rasa ingin tahu bisa membuat seseorang lebih berempati, merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan memahami kebutuhan mereka saat ini. Sikap seperti ini tentunya akan membuat kerja sama lebih efektif dan mulus. Pasalnya, mereka lebih bisa berpikir dengan jernih dalam menghadapi konflik.

Sebuah studi yang dilakukan Harvard Kennedy School menemukan, calon pemimpin dengan curiosity tinggi memang lebih bisa berkomunikasi secara terbuka. Mereka lebih mendengar dan lebih banyak melakukan sharing informasi.

Pemimpin yang lebih curious juga terbukti mampu mendapatkan informasi yang lebih banyak dalam mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas. Mereka paham bahwa wawasan yang luas sangat berpengaruh pada kualitas dari sebuah pemikiran kreatif.

Mengembangkan inquisitiveness

Kita mengenal pepatah malu bertanya sesat di jalan. Dalam pendidikan di sekolah militer, bertanya bahkan mendapatkan penekanan yang sangat penting. Siswa junior diwajibkan untuk mengajukan minimal satu pertanyaan sebelum mereka bisa menyantap makan siangnya.

Begitu juga dengan murid-murid di sekolah umum. Mereka kerap mendapat tugas untuk melakukan wawancara dengan figur-figur tertentu sebagai salah satu metode belajar. Tujuannya, untuk mengembangkan rasa ingin tahu secara positif.

Hal itu menjadi cikal bakal sikap pembelajar yang dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi pemimpin.

Hogan Assessment juga memasukkan inquisitive dalam salah satu aspek kepribadian yang berperan penting untuk kesuksesan seseorang di tempat kerja. Sementara, curiosity menjadi salah satu sub-aspeknya.

Jadi, inquisitiveness dan curiosity memang perlu kita kembangkan. Apalagi, di tengah perkembangan pengetahuan yang pesat dan tidak terprediksi seperti saat ini.

Fokus pada curiosity dan inquisitiveness

Pada 2004, sebuah iklan rekrutmen di Silicon Valley memuat sebuah teka-teki yang membuat pembacanya penasaran. Bahkan, beberapa pembaca sampai menghubungi Google sebagai pemasang iklannya.

Ternyata, pembaca tersebut menjadi kandidat yang disasar oleh perusahaan. CEO Google periode 2001–2011 Eric Schmidt mengatakan, “We run this company on questions, not answers.”

Pada 2000, Greg Dyke yang dicalonkan menjadi Direktur Jenderal BBC meminta waktu 6 bulan untuk mempelajari organisasi ini terlebih dulu.

Bukannya memberikan presentasi saat berkunjung ke cabang-cabang, ia justru mengejutkan karyawan dengan mengajukan pertanyaan.

“Apa yang harus saya lakukan agar Anda merasa lebih senang? Apa yang harus saya lakukan agar pemirsa lebih senang?” tanya Dyke kepada para karyawan BBC.

Sikap seperti itu kemudian ditiru oleh anak buahnya dalam proses penciptaan ide-ide kreatif mereka.

Sebagai pemimpin, kita memang perlu berorientasi pada hasil, apalagi dalam kondisi yang menantang seperti sekarang. Namun, jangan sampai kita mematikan rasa ingin tahu dalam proses belajar karyawan.

Berbagai cara digunakan perusahaan untuk melatih rasa ingin tahu karyawannya. Ada perusahaan yang memberi reward kepada karyawan yang mau bepergian ke tempat yang tidak umum dan jarang menjadi tujuan wisata. Tujuannya, merangsang karyawan untuk mengembangkan semangat eksplorasinya.

Ada juga perusahaan yang menentukan hari “Why?”, “What if…?”, dan “How might we…?” dalam setiap rapat dan komunikasinya pada hari-hari tertentu.

Jadi, memelihara sense of wonder sangat penting bagi pertumbuhan kreativitas dan inovasi pada era sekarang.

https://money.kompas.com/read/2021/02/27/080200026/mengembangkan-diri-lewat-kepo-

Bagikan artikel ini melalui
Oke