Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[KURASI KOMPASIANA] Ada Harapan untuk Pendidikan Perempuan Lebih Baik

KOMPASIANA---Stigma yang timbul di masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan dinilai menjadi kendala untuk perempuan bisa mengembangkan diri.

Perempuan yang memiliki bakat dan mimpi, misalnya, akan terhambat akibat stigma yang ditimbulkan oleh masyarakat.

Oleh karena itu, jika perempuan diberi opsi yang lebih baik atas pendidikan maka akan terbuka juga pilihan untuk mereka bisa berkarier.

Apakah kesempatan itu ada dan tersedia bagi kaum perempuan? Adakah hambatan yang didapatkan?

1. Ketakutan Berlebihan Orangtua dan Hak Pendidikan Perempuan

Kompasianer Nita Kris Noer bertemu dengan seorang siswi SMA yang tertunduk lemas ketika menyadari bahwa ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang perkuliahan.

"“Tidak tahu, Bu Nita, besok saya diijinkan kuliah atau tidak!" kata siswi tersebut, seperti yang dituliskan Kompasianer Nita Kris Noer.

Mempersiapkan mental orang tua untuk memberi kesempatan anak dalam berjuang mencapai cita-cita merupakan hal penting.

Tetapi, tulis Kompasianer Nita Kris Noer, ketakutan yang berlebihan terkadang membuat orang tua akan memiliki rasa khawatir akan berujung pada pemberian batasan yang terkadang tidak masuk akal.

"Orang tua perlu sekali mengantisipasi hal ini jauh-jauh hari agar anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik untuk bekal masa depan mereka di kemudian hari," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Wanita Berpendidikan, Wanita Merdeka dan Bahagia

Kompasianer Theresia Iin menceritakan bagaimana ia dan ketiga saudara kandungnya meninggalkan rumah: selesai studi, menikah, bekerja, dan tinggal di kota lain.

Akan tetapi ketika Bapaknya tinggal seorang diri di rumah, akhirnya mencarikan asisten rumah tangga. Dapat, seorang anak perempuan yang baru lulus SMP.

Nilai-nilai dari ijazah anak perempuan tersebut ternyata bagus.

Alih-alih menjadi seorang asisten rumah tangga, ternyata perempuan itu diminta untuk mendaftar sekolah SMA dekat rumah untuk meneruskan pendidikannya.

"Seperti yang bapak lakukan, tidak sengaja bapak telah memutuskan rantai kemiskinan. Di sini saya melihat, kalau tidak bisa menolong orang banyak, cukup menolong satu orang saja," tulis Kompasianer Theresia Iin. (Baca selengkapnya)

3. Perempuan (Tak) Perlu Sekolah Tinggi

Anggapan bahwa sekolah tinggi hanya akan membuang waktu dan uang itu ada dan nyata.

Kompasianer Qori Qonitatuz melihat itu kepada temannya sendiri yang baru saja berhenti kuliah dan memutuskan menikah.

"Aku sudah capek, Ri. PP (pulang-pergi) rumah (ke) sana jauh, matkulnya berat, apalagi sekarang sudah menikah. Takut ga sempat ngurusin rumah," ujar temannya, seperti yang dituliskan Kompasianer Qori Qonitatuz.

Perempuan di mata masyarakat bukanlah prioritas penerima pendidikan.

Bagi mereka, tulis Kompasianer Qori Qonitatuz, perempuan yang berkontribusi di rumah tak perlu payah-payah sekolah tinggi.

"pendidikan tinggi itu bukan untuk menghabiskan uang maupun waktu. Namun lihatlah, pendidikan bahkan bisa memuliakan sebuah keluarga, layaknya semakin tingginya derajat manusia dengan ilmu," lanjutnya. (Baca selengkapnya)

***

Ingin membaca konten menarik lainnya tentang topik berikut? Silakan ikut Topik Pilihan Spesial Kompasiana Hari Kartini: Pendidikan Perempuan.

https://money.kompas.com/read/2021/04/19/111449926/kurasi-kompasiana-ada-harapan-untuk-pendidikan-perempuan-lebih-baik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke