Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemerintah Diminta Tak Paksakan Energi Terbarukan, Apa Alasannya?

Seperti informasi, pemerintah tengah mengejar target 23 persen bauran EBT pada 2025 dengan mempersiapkan dua payung hukum, yakni Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) dan revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 terkait Penggunaan Sistem PLTS Atap.

Peneliti Institute of Development and Economics Finance (Indef) Abra Tallatov menilai, proyek EBT akan berpengaruh besar pada fiskal karena negara akan menanggung beban besar untuk listrik dari sumber itu. Padahal pemerintah saat ini tengah menghadapi normalisasi defisit fiskal akibat pandemi Covid-19.

Pada tahun depan defisit fiskal memang masih diperbolehkan lebih dari 3 persen, namun mulai 2024 defisit fiskal harus kembali di bawah 3 persen. Di sisi lain, APBN juga menghadapi beban tambahan sebagai dampak dari berlarutnya pandemi Covid-19.

Pembahasan RAPBN tahun depan saja, lanjutnya, pemerintah dan DPR telah berdebat panas mengenai realokasi anggaran mana saja yang dianggap mendesak sekaligus anggaran untuk bantalan sosial.

“Tentu ini akan menjadi perdebatan serius juga ke depan, artinya nanti akan ada pos-pos belanja lain yang harus dikorbankan dan dialihkan untuk menutup anggaran pengembangan EBT ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/9/2021).

Di sisi lain, ia menilai, draf RUU EBT yang tengah disusun kental dengan adanya intervensi pemerintah untuk mendorong transisi energi, padahal penting untuk melibatkan swasta dalam transisi untuk berbagi beban. Abra bilang, hal itu yang perlu lebih dielaborasi dalam RUU EBT.

Ia mengingatkan, jangan sampai dengan gencarnya penerapan EBT malah akan menjadikan Indonesia sebagai pasar. Sebab, mengingat untuk saat ini saja, dengan rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN) pada green infrastructur telah membuat Indonesia telah menjadi target pasar.

“Kita bisa menyimpulkan bahwa untuk saat ini, yang diuntungkan memang negara-negara produsen, penghasil teknologi dan infrastruktur dari sumber energi terbarukan. Nah kita menjadi objek atau menjadi pasar,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, transisi energi memang memiliki tujuan yang positif, sudah menjadi komitmen pemerintah dan ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), serta telah diratifikasi pada Paris Agreement.

Hal ini menunjukan bahwa pengembangan sektor energi terbarukan memang sudah menjadi bagian dari komitmen bersama. Namun, ia mengingatkan adanya risiko fiskal dan potensi terganggunya keuangan PT PLN (Persero) dalam dua beleid terkait EBT yang sedang dipersiapkan pemerintah itu.

Lantaran pada salah satu pasal di RUU EBT, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan. Selain itu, anggaran negara akan kian terbebani karena salah satu pasal pada beleid itu menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.

Kemudian pada revisi Permen ESDM 49/2018 akan diatur bahwa PLN dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1:1 atau 100 persen. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS Atap milik konsumen.

Alhasil PLN berpotensi merugi karena di saat yang sama harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan listrik, jaringan distribusi, hingga sumber daya manusia.

Oleh karena itu, Komaidi menekankan, perlunya koordinasi antara kementerian teknis serta Kementerian Keuangan yang mengatur soal anggaran negara dalam menyusun aturan mengenai EBT.

Selain itu, lanjut dia, umumnya terdapat rasio antara Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan kerusakan lingkungan. Maka dari itu, pengembangan EBT di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara maju, sebab tingkat PDB Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju.

"Perlu kita sadari bahwa antara pertumbuhan ekonomi dengan aspek lingkungan harus balance. Biasanya negara-negara di dunia akan fokus pada pertumbuhan, setelah titik tertentu baru fokus pada lingkungan," kata Komaidi.

Posisi PDB per kapita Indonesia hanya 3.121 dollar AS per 2020. Masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang sudah mencapai level PDB per kapita sebesar 63.000 dollar AS, Singapura sebesar 58.000 dollar AS, dan rata-rata negara di Eropa sudah lebih dari 30.000 dollar AS.

Menurutnya, rata-rata PDB per kapita pada negara-negara yang telah mendorong percepatan bauran EBT adalah lebih dari 30.000 dollar AS. Sehingga dengan PDB per kapita Indonesia yang masih sangat rendah dinilai sulit untuk terlalu gencar menerapkan transisi energi ke EBT.

“Jadi perbandingannya sangat jauh. Apakah kita yang PDB-nya masih di 3.000-an itu harus berkomitmen seperti negara-negara yang PDB per kapitanya sudah di kisaran 60.000? Ini harus dipertanyakan kembali kepada kita,” ungkap Komaidi.

https://money.kompas.com/read/2021/09/11/201900326/pemerintah-diminta-tak-paksakan-energi-terbarukan-apa-alasannya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke