Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Akankah Krisis Harga Minyak Pasca-Invasi Rusia Mendorong Akselerasi Energi Bersih?

London Metal Exchange (LME) bahkan terpaksa menghentikan perdagangan nikel pada pekan lalu, sekaligus juga membatalkan perdagangan setelah harga nikel naik dua kali lipat menjadi lebih dari 100.000 dollar AS per ton menyusul penerapan sejumlah sanksi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa terhadap Moskow.

Harga batu bara dunia meroket sehinga harga acuan dalam negeri yang dikenal HBA juga mengalami imbasnya. HBA pada Maret naik 15,31 dollar AS per ton dari Februari menjadi 203,69 dollar AS per ton.

Sementara harga patokan minyak Indonesia atau ICP pada bulan Februari 2022 naik 9,83 dollar AS dari 85,89 dollar AS per barel pada Januari 2022 menjadi sebesar 95,72 dollar AS per barel.

Harga komoditas makin tak terkendali di saat Amerika Serikat memutuskan untuk mengenakan sanksi pelarangan impor minyak dari Rusia, suatu torehan sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Harga minyak mentah jenis Brent bahkan hampir menembus 140 dollar AS per barel, level tertinggi sejak 2008.

Rusia yang merupakan salah satu negara pengekspor minyak mentah dunia, memperingatkan bahwa konsekuensi dari sanksi pelarangan itu adalah melambungnya harga minyak yang tak terkendali, bahkan bisa menyentuh angka 300 dollar AS per barel.

Apa yang diucapkan Moskow bukan hanya bualan biasa, mengingat Rusia adalah negara pengekspor minyak mentah dan BBM terbesar di dunia, sekitar 7 juta barel per hari atau 7 persen dari pasokan dunia.

Estimasi moderat disampaikan JP Morgan yang memperkirakan harga minyak dapat mencapai rekor 185 dollar AS per barel pada akhir 2022 jika ekspor minyak Rusia terinterupsi dalam jangka waktu yang lama.

Padahal jika saja harga minyak mencapai level yang fantastis, maka inflasi dipastikan akan menyergap seluruh dunia. Krisis ekonomi dunia di depan mata!

Sanksi yang diterapkan Amerika membuat posisi Uni Eropa dilematis. Di satu sisi, mereka adalah sekutu Amerika yang sebelumnya selalu dalam posisi satu suara saat menentang dan menjatuhkan sanksi terhadap Kremlin.

Namun di sisi lain ketergantungan mereka terhadap pasokan gas dan minyak dari Rusia sangat tinggi.

Meski demikian, Presiden Komisi Eropa, Ursula Von Der Leyen mengatakan pemimpin Uni Eropa sepakat untuk memangkas ketergantungan impor minyak dan gas mereka dari Rusia, dan secara total akan menghentikan impor energi fosil dari negara tersebut pada 2027.

Para pemimpin Uni Eropa juga melirik akselerasi pengembangan energi terbarukan sebagai bagian dari kemandirian energi mereka.

Apa yang menjadi target mereka rasanya tidak akan sulit, mengingat penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di Eropa bukanlah barang baru.

Pada 2020, misalnya, sebuah lembaga kajian Eropa memaparkan bahwa untuk pertama kalinya EBT berhasil menggeser dominasi energi fosil dalam bauran energi Uni Eropa.

Mengutip data dari website Uni Eropa, pada 2020, energi terbarukan mewakili 22,1 persen dari energi yang dikonsumsi di wilayah tersebut, dua persen lebih tinggi dibandingkan target 2020 sebesar 20 persen.

Potret carut marutnya lanskap energi di dunia saat ini memberikan pelajaran berharga, yaitu bagaimana keamanan energi suatu negara dan suatu kawasan menduduki posisi kunci.

Ketergantungan terhadap satu sumber energi bisa merusak ketahanan energi dan mengancam sendi-sendi kehidupan suatu negara.

Pendeknya, kemandirian energi dan diversifikasi energi adalah dua hal yang tidak bisa ditawar lagi.

Hal ini berlaku untuk seluruh negara di luar kawasan Eropa dan Amerika, tak ketinggalan juga Indonesia.

Di tengah penurunan produksi minyak mentah nasional yang signifikan di tengah dorongan dunia internasional untuk menghentikan penggunaan batu bara, harusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk menggenjot pembangunan dan pemanfaatan EBT di dalam negeri.

Apalagi Indonesia juga masih memiliki ketergantungan untuk melakukan impor energi demi memenuhi konsumsi BBM domestik.

Dengan limpahan potensi EBT di jagad Nusantara yang sangat besar, yaitu 3.686 Giga Watt yang terdiri dari energi surya, bayu, hidro, panas bumi, bio energi, dan laut, sudah sepantasnya pemerintah bergegas untuk memaksimalkan usahanya agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan.

Harus diakui, pemanfaatan EBT tersebut tak lepas dari kebutuhan investasi yang besar sehingga dibutuhkan campur tangan pemodal asing untuk pengembangannya. Namun, bukan berarti tak mungkin.

Pemerintah harus serius dalam menelurkan paket insentif yang menarik bagi investor dengan satu tujuan: kemandirian energi yang sudah di ujung tanduk.

Dengan campur tangan investor, potensi-potensi tersebut tidak hanya sekadar menjadi potensi dan guratan angka-angka di atas kertas, tetapi menjadi manfaat bagi masyarakat banyak.

https://money.kompas.com/read/2022/03/13/120447326/akankah-krisis-harga-minyak-pasca-invasi-rusia-mendorong-akselerasi-energi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke