KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Salin Artikel

Yuk, Membuka Pikiran!

ADA seorang teman yang memiliki masalah di lambungnya. Dokter mendiagnosis dia bahwa kondisinya saat ini sudah cukup berbahaya.

Ia lalu disarankan untuk mengubah pola makan dengan lebih banyak mengonsumsi sayuran.

Namun, ia langsung menolak dengan alasan tidak suka sayuran dan benar-benar enggan mencobanya.

Kita mungkin sering melihat hal seperti itu di sekeliling. Mengubah pola makan bisa jadi terlihat sederhana. Namun, orang perlu mengubah mindset dirinya terlebih dulu agar perubahan tersebut dapat benar-benar menjadi bagian dari dirinya.

Kita melihat banyak rencana diet gagal karena individu yang bersangkutan tidak benar-benar meyakini bahwa diet tersebut harus menjadi bagian dari dirinya, bukan sekadar suatu pola makan yang dijalani sementara waktu.

Demikian juga dalam hal transformasi organisasi. Pada masa sekarang, pelanggan menuntut “lebih” dan banyak perubahan, tetapi indiidu dalam organisasi tidak mengubah mindset-nya.

Bila individu dalam organisasi tidak meyakini pentingnya untuk berpikir secara agile dan menerima perbedaan-perbedaan pandangan dari berbagai pihak, akan sulit baginya untuk melakukan adaptasi terhadap sistem dan cara kerja yang baru.

Dengan tuntutan perubahan pada masa sekarang, rasanya tidak ada lagi tempat bagi mereka yang menolak perubahan.

Sikap tidak terbuka seperti itu dapat mengancam kelangsungan organisasi. Apakah ada orang yang cenderung berbakat untuk bersikap terbuka?

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang bersikap terbuka, memang berbeda dalam memproses informasi dan memersepsi dunia jika dibandingkan dengan yang berpikiran tertutup.

Orang yang terbuka biasanya lebih besar rasa ingin tahunya, kreatif, dan imajinatif. Mereka pun lebih peka dalam mengamati dan menikmati karya seni, musik, buku, serta segala aspek budaya.

Sementara itu, mereka yang tertutup biasanya mempunyai mekanisme penghambat dalam otak yang seolah-olah menyaring masukan visual dan kognitif.

Mereka seolah tidak bisa menyerap beberapa visualisasi, suara, atau rangsangan kognitif yang berbeda dari yang biasa dialaminya. Hasil riset juga menemukan bahwa biasanya, “blocking” ini diikuti oleh hawa emosi yang negatif.

Orang dengan keterbukaan akan selalu tertantang untuk mempertanyakan keyakinan dan pengetahuan yang sudah dia miliki.

Dia justru bersemangat ketika ada yang dapat menyajikan sudut pandang berbeda dengan apa yang dia ketahui saat ini. Menghadapi kondisi itu, mereka seolah akan menjalani suatu petualangan baru yang belum diketahui bagaimana akhirnya.

Hal tersebut membangkitkan antusiasme dan perasaan dinamis dalam dirinya, dan dengan sendirinya membuat mereka lebih mudah mencari solusi untuk belajar.

Setiap orang yang berada di dalam organisasi yang berkembang juga perlu meyakini bahwa bersikap terbuka adalah persyaratan utama bila ia ingin bertahan dan bahkan bertumbuh bersama organisasi.

Organisasi yang sedang bergerak maju membutuhkan individu-individu yang memiliki efisiensi intelektual dan toleransi.

Agar dapat menerima ide orang lain, ia harus mengolah informasi, lalu menggodoknya dengan pola pikir yang dimiliki. Kecerdasan ditambah dengan sikap terbuka akan membantu individu mengolah situasi di sekelilingnya dengan lebih baik.

Ia akan berpikir lebih dalam untuk membandingkan beragam ide baru dengan hal-hal yang diketahuinya selama ini. Di sinilah ia dapat memperluas wawasannya.

Sementara itu, mereka yang tertutup akan cenderung malas untuk mencari tahu tentang hal-hal lain di sekelilingnya ataupun menggali solusi yang lebih jauh lagi. Akhirnya, solusi yang didapat itu-itu saja.

Mendorong keterbukaan

Bagaimana bila selama ini, kita memang bukan tipe yang mudah menerima hal-hal baru atau cenderung nyaman dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan selama ini?

Ada beberapa upaya yang dapat kita biasakan untuk melatih diri menjadi orang yang lebih terbuka.

Pertama, bila menemukan tulisan ataupun bacaan yang rasanya sulit untuk dipahami, berikan waktu untuk mencernanya kembali pada saat senggang.

Tuliskan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri kita ketika membaca tulisan tersebut.

Cari jawaban dan pahami lebih dalam mengenai hal-hal yang sulit dipahami. Kita juga bisa mengajak orang lain berdiskusi mengenai hal tersebut.

Kedua, melatih diri untuk rajin mendengarkan ide-ide cemerlang dari para ahli yang memang diakui dunia, seperti sharing Ted Talks yang bisa dengan mudah kita dapatkan di media sosial.

Banyak inspirasi baru yang berbeda bisa kita dapatkan dari para ahli. Akhirnya, hal tersebut dapat memperluas wawasan. Semakin sering mendengarkannya, semakin kita menyadari betapa banyak hal yang selama ini tidak diketahui. Membiasakan diri seperti ini membuat kita jadi semakin haus terhadap ilmu-ilmu baru.

Ketiga, tingkatkan intensitas saat menemukan atau berkenalan dengan perbedaan. Kita bisa masuk ke lingkungan pergaulan dengan latar belakang yang berbeda dari kita, baik dari sisi budaya, tingkat pendidikan, maupun status sosial. Hal ini tentunya tidak mudah, terutama bila tingkat toleransi kita rendah.

Namun demikian, hal tersebut dapat membuat kita terlatih untuk merabarasakan suasana-suasana baru yang sulit dimasuki. Ini sangat berguna, terutama saat pekerjaan menuntut kita masuk ke situasi-situasi baru. Dengan pengalaman itu, kita akan merasa bahwa kolaborasi menjadi lebih mudah.

Jadi, begitu banyak manfaat yang dapat kita petik dengan bersikap terbuka. Selain mempermudah kolaborasi dan hubungan kita dengan berbagai pihak, bersikap terbuka akan membuka pintu inovasi-inovasi yang sebelumnya mungkin tidak kita bayangkan.

“Orang yang terbuka cenderung lebih cerdas dan mendapat skor lebih tinggi pada kecerdasan terkristalisasi daripada orang rata-rata.”

https://money.kompas.com/read/2022/08/27/080300226/yuk-membuka-pikiran-

Bagikan artikel ini melalui
Oke