Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dunia Bisnis yang Abu-abu

SEORANG mahasiswa sekolah bisnis terkemuka beranggapan bahwa bisnis yang maju dan berkembang harus dijalankan dengan cara tidak biasa.

Cara tidak biasa yang dimaksud adalah menggunakan jalan tidak lazim. Bahasa sekarang: sat set. Bahkan cenderung ugal-ugalan, yang penting tujuan tercapai.

Cara biasa adalah kebalikannya, yaitu mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Lurus-lurus saja jalannya.

Jika menafsirkan pemikiran sang mahasiswa, cara biasa adalah bisnis dijalankan dengan tidak kreatif dan miskin inovasi. Menganggap aktivitas sebagai business as usual. Rutinitas untuk menjaga kestabilan.

Cara yang tidak biasa adalah bisnis yang selalu didorong untuk menciptakan terobosan baru.
Sementara bila ditafsirkan lain, cara biasa adalah bisnis yang taat aturan dan jujur, sedangkan cara tidak biasa adalah bisnis yang dijalankan dengan mengabaikan peraturan serta etika yang berlaku.

Dia lalu menyimpulkan, “Bisnis adalah dunia yang abu-abu.” Benarkah demikian?

Rasanya tak ada yang bisa meyakinkan bahwa dunia bisnis adalah dunia yang putih. Serba patuh dan bertanggung jawab.

Yang kerap kali mengemuka adalah bisnis yang semata mengejar keuntungan, namun mengabaikan etika dan tata krama. Tak sedikit yang mengarah pada tindakan kriminal.

Menurut Allen (2012), dalam dunia bisnis global yang dinamis, kecepatan dan pengembalian yang segera ditempatkan sebagai hal utama. Nilai pemegang saham dipandang lebih penting daripada nilai dasar kemanusiaan.

Tekanan untuk mencapai tujuan yang belum terpenuhi dan bertahan dalam lingkungan yang chaos mengakibatkan stres. Ketika orang mengalami stres, maka tidak mengambil keputusan secara bijaksana.

Akibatnya praktik bisnis mengabaikan etika dipandang sebagai keniscayaan. Perilaku perusahaan berkesan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.

Etika dan kinerja

Pandangan sejumlah kalangan bahwa bisnis yang dijalankan tanpa mengindahkan etika berkinerja lebih maju daripada yang taat aturan mengundang sejumlah akademisi melakukan penelitian. Hal ini terkait dengan tingkat etika, kesadaran moral, dan kinerja perusahaan.

Studi sebelumnya telah menemukan bahwa tingkat etika seorang pengusaha dapat memengaruhi perilaku perusahaan seperti tanggung jawab sosial perusahaan (Scherer dan Palazzo, 2011), kewirausahaan sosial (Santos, 2012), dan penerapan praktik berkelanjutan (Berrone dkk, 2013).

Sejumlah peneliti menyarankan hubungan negatif antara tingkat etika pengusaha dan inovasi produk.

Mereka berpendapat bahwa tingkat etika yang rendah sangat terkait dengan penciptaan ide-ide kreatif yang memfasilitasi inovasi produk (Brenkert, 2009; Morris, 2016).

Namun ada yang berpendapat bahwa tingkat etika yang tinggi dari seorang pengusaha juga dapat secara positif memengaruhi hasil perusahaan seperti laba, komitmen karyawan, kepuasan kerja, dan kepercayaan dari pemangku kepentingan seperti karyawan, investor, dan pelanggan (Bedi dkk, 2016; Ferrell dkk, 2013).

Selain itu juga pengusaha yang membuat keputusan etis dapat memastikan hasil organisasi yang lebih baik termasuk kreativitas karyawan dan inovasi produk berikutnya (Baucus dkk., 2008; Ferrell dkk, 2013).

Etika dan inovasi

Kemampuan inovasi produk adalah salah satu indikator signifikan kinerja perusahaan dalam lingkungan global yang dinamis saat ini (Davis dkk, 1999).

Etika semakin penting dan terlihat dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan inovasi produk.

Dengan berfokus pada perilaku etis pengusaha, studi sebelumnya secara implisit berasumsi bahwa kesadaran moral pengusaha konsisten dengan perilaku etis mereka (Bryant, 2009; Jordan, 2009).

Kesadaran moral seorang pengusaha didefinisikan sebagai tingkat etis individu yang sadar akan nilai-nilai moral yang tertanam dalam keputusan sehari-hari. Sedangkan perilaku etis (kepemimpinan) seorang pengusaha mencerminkan tingkat etika yang dirasakan oleh anggota tim berdasarkan pada perilaku kepemimpinannya.

Kesadaran moral dan perilaku etis dapat menjadi tidak konsisten dalam dua cara.
Pertama, terjadi karena proses kognitif yang dikenal sebagai pelepasan moral (Detert dkk, 2008; Moore dkk, 2012).

Proses ini menghalangi individu dari tindakan yang melanggar standar moral mereka (Bandura, 1991; Moore et al., 2012).

Faktor yang menyebabkan ketidakkonsistenan ini mencakup faktor individu (misalnya pengetahuan, nilai, sikap dan niat) dan faktor situasional (misalnya budaya organisasi, karakteristik pekerjaan, kemungkinan konsekuensi dari pengambilan keputusan yang tidak etis) (Kalshoven dkk, 2016)

Dengan demikian, pengusaha mungkin sadar secara moral bahwa mereka melanggar peraturan, tetapi tetap memilih untuk bertindak tidak etis, terutama ketika bertindak secara moral dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan (Baron dkk, 2015).

Kedua, ketika pengusaha kurang memiliki kesadaran etis, tetapi dianggap memiliki perilaku etis karena mereka berusaha untuk membangun budaya etis dengan mendorong tim pendiri dan karyawan untuk membuat keputusan etis.

Dalam hal ini, anggota tim pendiri dapat membantu pengusaha untuk menyadari masalah etika dan membuat keputusan etis (Hernandez dan Sitkin, 2012).

Akhirnya, perilaku pengusaha yang beretika tetap menghadirkan dampak positif bagi kinerja perusahaan, bukan sebaliknya. Perilaku etis juga mendorong inovasi yang berkelanjutan.

Di dunia yang kerap penuh dengan tipu muslihat, praktik bisnis yang beretika dan bertanggung jawab tetap harus menjadi fondasi untuk melihat tantangan ke depan dengan kaca mata yang jernih. Bukan malah kalap dan melupakan kemanusiaan.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2023/01/09/151431326/dunia-bisnis-yang-abu-abu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke