Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Psikologi Kepemimpinan: Perjalanan untuk Lebih Paham Diri

Dalam psikologi, kepemimpinan dianggap sebagai proses interaksi antara pemimpin dan pengikut. Ada berbagai teori psikologi yang menjelaskan bagaimana kepemimpinan terjadi dan bagaimana itu memengaruhi kinerja individu dan kelompok.

Psikologi kepemimpinan juga mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor individu dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk menjadi pemimpin yang efektif.

Beberapa faktor yang dianggap penting termasuk kepercayaan diri, kemampuan komunikasi, keterampilan manajemen, dan empati.

Secara keseluruhan, psikologi kepemimpinan membantu kita untuk memahami bagaimana proses kepemimpinan terjadi dan bagaimana itu memengaruhi kinerja individu dan kelompok.

Dengan memahami teori-teori dan faktor-faktor yang memengaruhi kepemimpinan, kita dapat meningkatkan kemampuan untuk menjadi pemimpin yang efektif dan membantu orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Setiap orang punya motivasi dan tujuan yang berbeda. Karena itu, kita perlu memahami diri sendiri terlebih dahulu, supaya nantinya kita bisa memengaruhi orang lain.

Tony Robbins, salah satu guru kepemimpinan dunia, menegaskan hal itu. Mengutip dari Forbes, dia mengatakan. “Ultimately, a leader is a master of their own psychology. Because the first person you need to influence is you. Leaders master the art of influence within themselves and with others so that they can act as a force for good and serve something that’s larger than themselves creating permanent and lasting change around them.”

Dengan kata lain, aspek psikologis dari kepemimpinan adalah bagaimana kita memahami diri sendiri untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.

Ketika kita sudah paham akan diri sendiri, kita bisa memengaruhi orang lain dengan cara memberi contoh yang baik kepada tim kita, sehingga tim menjadi lebih termotivasi, meningkat semangat kerjanya, dan memiliki rasa kepemilikan terhadap organisasi.

Menguasai diri untuk menggerakkan orang lain

Socrates, salah satu filsuf hebat Yunani, pernah berkata, "To know thyself is the beginning of wisdom." Kata ini sederhana, tetapi punya makna yang dalam sekali.

Socrates mengajak kita untuk memahami diri. Berawal dari mengerti dirilah, kita bisa mendapatkan kebijaksanaan yang bermanfaat bagi diri sendiri juga orang lain.

Ada alasan tersendiri mengapa Socrates menghimbau kita untuk memahami diri. Kita adalah manusia yang kompleks. Kita punya karakter, sifat, sikap, kelemahan, kelebihan, ego, dan keinginan.

Setiap elemen ini membentuk diri kita dan cara kita memimpin. Setiap elemen ini bisa kita terima dan ubah, tetapi butuh keberanian untuk bisa menerima diri sendiri seutuhnya.

Maka dari itu, tugas pertama dan utama menjadi seorang pemimpin yang baik adalah belajar memahami diri sendiri.

Jalaludin Rumi menyuruh kita untuk melihat ke dalam diri. "The universe is not outside of you. Look inside yourself; everything that you want, you already are."

Kebijaksanaan ini yang agaknya mulai diimplementasikan oleh pemimpin saat ini, baik itu pemimpin bisnis.

Survei dari Egon Zehnder tahun 2021 menemukan bahwa 83 persen pemimpin menganggap penting untuk merefleksikan gaya kepemimpinannya sendiri. Selain itu, 78O sangat setuju bahwa perlu melanjutkan transformasi dirinya.

Para pemimpin pun mengakui bahwa melihat ke dalam diri membuatnya jadi pemimpin yang lebih baik dan bijak.

James R. Bailey dan Scheherazade Rehman membuktikannya dengan melakukan riset kepada 442 CEO. Kedua peneliti ini menanyakan pengalaman apa yang membuat para CEO berkembang menjadi pemimpin yang lebih baik.

Dari hasil riset Bailey & Rehman, ada tiga pengalaman yang membuat pemimpin berkembang: frustasi, kesalahan, dan kejutan.

Masing-masing pengalaman ini memberikan tiga pelajaran menarik bagi 442 CEO ini. Pertama, kejutan membuat pemimpin belajar untuk merespons dengan baik dan menerima bahwa ada banyak hal yang tidak dapat dikendalikan.

Kedua, dari kegagalan yang dialami, kita belajar untuk bisa membuat solusi yang lebih baik lagi di masa depan.

Ketiga, perasaan frustasi ketika cara kita tidak berhasil mengharuskan pemimpin untuk mencari jalan lain, yang membuat para CEO lebih kreatif dan resilien.

Semua pengalaman yang direfleksikan inilah yang memacu pemimpin untuk berjuang dan menjadi sosok panutan bagi timnya.

Pemimpin jadi mengetahui apa yang salah dari kebijakan organisasi, apa yang salah dari pendekatannya kepada timnya, dan lain sebagainya.

Bill George, profesor kepemimpinan di Harvard yang juga mantan CEO Medtronic menambahkan, kesadaran inilah yang menjadi awal transformasi kita menjadi pemimpin yang cakap dan bijak.

Dampaknya terhadap tim

Salah satu teori yang populer dalam psikologi kepemimpinan adalah teori transformasional. Teori ini menyatakan bahwa pemimpin transformasional adalah mereka yang dapat meningkatkan kinerja dan motivasi pengikut dengan memberikan pengaruh positif pada kepercayaan, harapan, dan komitmen.

Pemimpin transformasional juga dikenal sebagai pemimpin yang dapat meningkatkan persepsi pengikut tentang tugas mereka dan memberikan dukungan emosional.

Selain itu, teori psikologi lain yang penting dalam kepemimpinan adalah teori gaya kepemimpinan.

Teori ini menyatakan bahwa pemimpin memiliki gaya yang berbeda dalam memimpin, dan gaya tersebut dapat memengaruhi kinerja dan kepuasan pengikut.

Beberapa gaya kepemimpinan yang dikenal meliputi kepemimpinan otoriter, demokratis, laissez-faire, dan situasional.

Ini dibuktikan oleh beberapa riset terkini bagaimana dampak pemimpin memahami dan menguasai dirinya.

Myers-Briggs melakukan survei pada 2017 lalu tentang manfaat memahami diri sendiri. Dalam konteks organisasi, self-awareness memudahkan kita untuk: bekerja sama dengan orang lain (56,6 persen), mengatasi stress (54,07 persen), berperan sebagai coach (53,86 persen), menangani perubahan (47,18 persen), dan memimpin orang lain (41,75 persen).

Di atas itu semua, menjadi self-aware membuat kita jadi lebih present dan mindful terhadap orang-orang di sekitar kita.

Sikap seperti ini memengaruhi hubungan pemimpin dengan timnya. Orang-orang di timnya jadi lebih bersemangat dalam bekerja dan menciptakan rasa kepemilikan di organisasi.

Alhasil, timnya jadi lebih engage dengan pekerjaannya. Tim yang lebih engage dapat membawa organisasi melesat jauh.

Brach, et.al (2021) membuktikannya di mana kesadaran pemimpin membawa dampak positif pada munculnya kepemimpinan pada tim, sehingga membuatnya mendapatkan nominasi untuk promosi jabatan.

Kincentric pun melengkapinya. Riset yang dilakukan di tahun 2022 ini menemukan jika 82 persen pekerja akan lebih engage jika punya rasa kepemilikan di organisasinya dan 74 persen pekerja berkeinginan untuk bertahan di organisasi.

Sense of belonging ini penting karena kita sendiri membutuhkan kenyamanan dalam bekerja. Apalagi, sebagian besar waktu kita dialokasikan untuk bekerja.

Setidaknya, bagi pemimpin, membuat lingkungan yang nyaman pun sangat membantu psikologis timnya.

Ini yang disadari oleh Tony Fernandes, CEO dari AirAsia. Karena itu, Tony menerapkan cara kerja yang inklusif. Dia tidak memiliki ruangan sendiri layaknya pemimpin pada umumnya dan lebih memilih menyatu dengan timnya.

Tony melakukan ini agar timnya bisa dengan bebas berinteraksi dengannya dan mengeluarkan ide-ide briliannya.

Tony juga sadar bahwa pemimpin tidak tahu apapun, sehingga ia harus mendengarkan dari banyak pihak, khususnya timnya. Cara inilah yang membuat AirAsia menjadi maskapai penerbangan murah terbaik selama 13 tahun tahun berturut-turut (2009 - 2022).

Fitriyana, et.al (2022) melakukan penelitian terkait kepemimpinan Tony Fernandes di AirAsia. Hasil temuannya ialah Tony menerapkan pendekatan walk-the-talk dan berorientasi pada tim.

Dia mendengarkan timnya dan berkomitmen menumbuhkan timnya menjadi lebih baik agar tercipta lingkungan kerja yang nyaman. Ketika mengalami krisis, Tony langsung turun membantu timnya dan menunjukkan perasaan empati.

Pendekatan yang dilakukan Tony mampu membuat timnya merasa aman secara psikologis. Timnya tidak terintimidasi oleh kehadiran Tony di ruangan yang sama.

Justru, timnya menjadi lebih nyaman dan dekat dengan Tony, sehingga mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya. Rasa kepemilikan timnya pun tumbuh terhadap AirAsia.

Singkatnya, Tony menunjukkan sikap baik yang diharapkan oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan yang diperlihatkan Tony membuat timnya meningkat well-being-nya karena pemimpin menciptakan lingkungan yang inklusif dan kolaboratif.

Survei dari McKinsey tahun 2020 menemukan bahwa menjaga kesehatan fisik dan mental seseorang meningkatkan efektivitas kerja sebesar 21 persen, peningkatan keterlibatan karyawan sebesar 46 persen, dan peningkatan kesejahteraan sebesar 45 persen.

Memanusiakan manusia

Kepemimpinan Tony di AirAsia membuat kita belajar banyak bagaimana self-awareness membantu pemimpin membangun tim dan organisasi.

Sedari awal, Tony mengetahui bahwa yang paling sulit dalam memimpin perusahaan adalah mempertahankan talenta terbaik. Oleh karena itu, Tony menerapkan cara kerja yang semaksimal mungkin membuat timnya nyaman dan merasa didengar.

Tony mungkin tidak sadar, tetapi cara kepemimpinannya sangat humanis, yang memanusiakan manusia. Kepemimpinan ini yang menjadi isu penting tahun 2023, di mana ada satu isu yang harus diselesaikan oleh pemimpin, yaitu well-being.

Well-being menjadi isu sentral bagi pekerja, terutama sejak pandemi. Peneliti Harvard pada tahun 2020 menemukan bahwa 85 persen responden kesejahteraannya menurun dan 56 persen mengatakan tuntutan kerjanya meningkat.

Adecco, salah satu lembaga konsultan di Swiss, juga menemukan bahwa selama pandemi, 81 persen pekerja mengalami tingkat stres yang sama atau lebih tinggi.

Walaupun suara sudah banyak diutarakan, tetapi upaya yang dilakukan pemimpin di organisasi belum intens. Bahkan, terdapat perbedaan persepsi antara pekerja dan pemimpin.

Adecco menemukan perbedaan itu, di mana risetnya pada 2022 menunjukkan bahwa 45 persen pekerja menganggap perusahaannya tidak mendukung kesejahteraannya, sedangkan 74 persen perusahaan mengatakan memastikan kesejahteraan pekerja adalah yang utama.

Studi Gartner 2022 menemukan hal yang menyedihkan, di mana hanya 29 persen yang menganggap pemimpinnya humanis.

Dari riset ini, ada perbedaan tingkat self-awareness antara pemimpin dan pekerja. Pekerja yang mengatakan dirinya stres sadar bahwa perusahaannya tidak menerapkan kebijakan well-being yang memadai.

Mungkin, justru pemimpin di perusahaannya yang kurang aware dengan kesejahteraan pekerjanya, walaupun mereka menganggap well-being merupakan prioritas.

Oleh karena itu, pemimpin saat ini harus lebih self-aware terhadap dirinya. Kemungkinan, itulah yang membuat kebijakannya kurang tepat di mata pekerjanya.

Sandra Loughin, pakar perubahan organisasi, mengatakan bahwa, “.... before taking a team of employees into the unknown, leaders should look inward and examine their ability to react to change.”

Beberapa riset telah membuktikan akibat dari pemimpin yang kurang memahami dirinya.

Harvard Business Review melakukan riset pada 2017 dengan meneliti 440 CEO. Tim peneliti Harvard membagi 440 CEO menjadi dua kelompok: CEO yang punya gelar MBA dan yang tidak memiliki.

Peneliti Harvard menemukan bahwa CEO yang tidak memiliki gelar berperforma lebih baik.

Studi dari Miller & Xu (2019) juga menyimpulkan hal yang serupa. CEO yang bergelar MBA bagus dalam strategi jangka pendek, tetapi kurang dalam jangka panjang.

Ini bukan berarti lulusan MBA tidak berkualitas. Mereka kurang satu aspek yang fundamental, yaitu self-awareness.

Dengan dampak negatif yang besar, saya rasa tahun ini jadi waktu yang tepat untuk kita mengubah pendekatan dalam bekerja.

Pemimpin harus lebih paham dengan dirinya, karakternya, dan responnya terhadap perubahan. Dengan begitu, ia bisa lebih akurat dalam membuat kebijakan dan membangun timnya lebih baik lagi.

Pemimpin saat ini harus mementingkan pertumbuhan organisasi dan memperhatikan well-being dari pekerja kita, baik itu dalam aspek mental maupun psikologis.

Kita ciptakan lingkungan di mana pekerja bisa aman menyuarakan ide-idenya. Kita perlu bertransformasi menjadi seorang human leader yang mampu mengakomodasi kebutuhan pekerja.

Kita bisa belajar dari Nestle. Pada hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2022, Nestle meluncurkan program magang SETARA.

Singkatnya, Nestle ingin menciptakan budaya inklusif di mana setiap orang, khususnya teman disabilitas, mendapatkan kesempatan sama.

Budaya yang diusung Nestle membuat banyak teman disabilitas mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kapabilitasnya. Nestle mengondisikan iklim kerjanya agar setiap orang mampu berkontribusi.

Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi cenderung lebih efektif dalam meningkatkan kinerja dan kepuasan pengikut.

Selain Nestle, Traveloka juga memiliki budaya kerja yang memanusiakan manusia. Pada masa pandemi, Traveloka menyediakan berbagai kebutuhan kesehatan, seperti menggelar olahraga virtual, program konseling bersama psikolog, hingga menyediakan asuransi kesehatan.

Traveloka juga menganjurkan pekerja untuk memaksimalkan penyelesaian pekerjaan di jam kerja (09:00-18:00) dan meminimalkan interaksi di luar jam kerja. Tak lupa, Traveloka juga menyediakan akses untuk pengembangan diri.

Kebijakan dari dua perusahaan ini berupaya semaksimal mungkin untuk mengakomodir keinginan pekerja.

Para pemimpin di dua perusahaan tersebut paham pentingnya memberikan kesempatan yang sama, lalu menyediakan insentif yang dapat menunjang well-being pekerja. Ini menjadi cara pemimpin merawat timnya supaya mereka tetap sehat secara mental dan psikologis.

Terlebih, menurut survei HR.com tahun 2022, faktor terpenting dari well-being adalah keadaan mental dan emosional (78 persen) dan lingkungan kerja yang sehat (70 persen).

Bagi saya, tahun 2023 menjadi tahun kebangkitan dan transformasi. Dan salah satu titik terpenting adalah bagaimana organisasi bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berkontribusi.

Aspek psikologis menjadi aspek terpenting dalam menciptakan organisasi yang sehat. Sebagai pemimpin, tugas kita adalah menciptakan budaya yang mampu memanusiakan sesama di segala aspek.

Terakhir, Marcus Aurelius, salah satu pelopor filosofi stoik yang juga merupakan pemimpin besar imperium Romawi, berpesan. “Look well into thyself; there is a source of strength which will always spring up if thou wilt always look.”

Semoga, makin banyak pemimpin yang memiliki self-awareness yang tinggi, sehingga dapat menjadi pemimpin humanis dan semakin berdampak bagi timnya!

https://money.kompas.com/read/2023/01/14/070333626/psikologi-kepemimpinan-perjalanan-untuk-lebih-paham-diri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke