Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Target Transaksi "E-commerce" 2022 Tidak Tercapai, akibat Tren "Social Commerce"?

Deputi Gubernur BI Doni P. Joewono mengatakan, tidak tercapainya target transaksi e-commerce ini disebabkan karena mobilisasi masyarakat sudah kembali normal sehingga tren belanja cenderung melalui transaksi offline.

"Kenapa di bawah target? Setelah Kita lihat, kita harus memahami e-commerce ini kan blessing ya untuk pada saat mobilisasi rendah. Jadi kita melihat bahwa kemungkinan meningkatnya transaksi offline, itu yang menyebabkan e-commerce turun," ujarnya saat konferensi pers, Kamis (19/1/2023).

Selain itu, pada 2022 mulai terjadi tren social commerce di mana masyarakat melakukan belanja online melalui platform media sosial yang menyediakan fitur belanja seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, dan Tiktok.

"Sekarang tren yang cukup menarik itu social commerce juga sudah mulai menjadi pesaing daripada e-commerce," ucapnya.

Social commerce vs e-commerce

Tren ini terjadi karena biaya yang ditawarkan oleh social commerce kemungkinan lebih rendah dibandingkan biaya yang dipatok oleh penyedia e-commerce.

Sehingga harga barang yang ditawarkan pedagang di social commerce dapat lebih murah dari barang yang dijual di e-commerce.

"Saya rasa mungkin, ini kita lagi dipelajari ya, apakah social commerce itu biayanya jauh lebih murah," kata Doni.

Transaksi e-commerce RI

Meski tidak tercapai, menurutnya, realisasi transaksi e-commerce di 2022 sudah luar biasa. Sebab, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan e-commerce tertinggi di dunia.

Dia menyebut berdasarkan laporan Dana Moneter Indonesia (International Monetary Fund/IMF) Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan e-commerce mencapai 50-60 persen bersama Singapura selama pandemi Covid-19.

Angka tersebut sangat besar dibandingkan dengan pertumbuhan negara Asia lainnya seperti China yang di bawah 20 persen dan Jepang di bawah 30 persen. Bahkan e-commerce di Amerika Serikat (AS) tumbuh di bawah 30 persen.

Oleh karenanya, dia memperkirakan nilai transaksi e-commerce akan tumbuh ke depannya sebesar 12 persen dan volume transaksi tumbuh 17 persen.

"Perkembangan e-commerce itu adalah sangat luar biasa di Indonesia dan tentunya kami mengharapkan juga tahun depan akan tetap tumbuh," tuturnya.


Apa itu fenomena social commerce?

Mengutip pemberitaan Kompas.com sebelumnya, social commerce adalah pemanfaatan media sosial untuk promosi, menjual, dan membeli langsung di aplikasi media sosial.

Dihimpun KompasTekno dari blog Hoot Suite, dengan social commerce, pengguna tidak cuma merasakan pengalaman bersosialisasi di dunia maya, tapi sekaligus mencari produk yang diinginkan, mencari toko terbaik, memilih dan membeli produk, hingga melakukan transaksi langsung lewat aplikasi media sosial.

Tentu pengalamannya akan berbeda dengan membuka aplikasi e-commerce yang memang hanya difokuskan pada layanan jual-beli. Sehinggga interaksi pun hanya terjadi antara penjual-pembeli.

Di media sosial, pengalaman belanja akan lebih interaktif. Pengguna bisa membagikan produk yang diinginkan atau yang baru dibeli ke teman mutualnya langsung lewat media sosial yang sama.

Social commerce vs social selling

Mereka juga bisa mendiskusikan produk yang dipilih sebelum akhirnya membeli atau menawarkan produk yang dibelinya. Social commerce berbeda dengan social selling.

Social selling lebih diartikan sebagai cara untuk memprospek calon konsumen potensial, membangun kepercayaan dengan cara yang lebih humanis, hingga memasarkan produk atau jasa kepada mereka lewat media sosial.

Sementara social commerce memiliki fitur lebih lengkap, mulai dari memasang etalase atau katalog, mempromosikan, memberikan informasi produk lebih singkat, hingga transaksi jual beli.

https://money.kompas.com/read/2023/01/20/103000026/target-transaksi-e-commerce-2022-tidak-tercapai-akibat-tren-social-commerce

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke