Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Resistensi Berinovasi

INOVASI seolah menjadi kata “sakti” bagi perusahaan yang ingin tetap kompetitif di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih mendera. Namun tidak mudah juga untuk menjalankannya.

Inovasi adalah kemampuan menerapkan solusi kreatif pada masalah dan peluang untuk meningkatkan atau memperkaya kehidupan manusia (Zimmerer dkk, 2008), menuntut perubahan pola pikir dan perilaku dari seluruh pemangku kepentingan.

Karyawan adalah pihak yang paling terdampak dengan kebijakan inovasi. Tidak heran kerap timbul penolakan terhadap inovasi. Bukan karena tidak memahami kontribusi inovasi, namun ada sejumlah alasan yang masuk akal dan patut dipertimbangkan.

Hasil penelitian Zwick (2002) di Jerman memperlihatkan bahwa resistensi karyawan terhadap inovasi meningkat ketika perusahaan bersaing berdasarkan biaya dan bukan dengan diversifikasi, kualitas produk dan fleksibilitas.

Resistensi tersebut makin meningkat jika inovasi ditujukan untuk meningkatkan kinerja karyawan daripada kualitas produk dan layanan.

Perlawanan internal terhadap inovasi mengungkap konflik motif antara pengusaha dengan karyawan (Hauschildt, 1999).

Walau inovasi dapat mengembalikan daya kompetitif perusahaan dalam jangka panjang, namun karyawan menolak perubahan yang mengancam, yaitu mereka tidak mampu bekerja sama sehingga terus berupaya melestarikan tatanan lama.

Inovasi sering berjalan seiring dengan pemutusan hubungan kerja, keusangan keterampilan, dan perombakan personel.

Sejalan dengan itu, keterampilan baru yang harus diperoleh untuk menjalankan inovasi sering kali tidak meningkatkan produktivitas karyawan.

Inovasi yang membuat pengetahuan usang memaksa karyawan untuk menjalankan pelatihan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien.

Bahkan jika perusahaan membayar pelatihan tersebut, karyawan harus mengeluarkan biaya nonmoneter seperti upaya yang bersifat kognitif, berkurangnya fleksibilitas dan hilangnya waktu senggang.

Karyawan mau tidak mau harus belajar kembali dan menyesuaikan diri dengan kondisi terkini agar tetap bertahan. Maka, inovasi dan reorganisasi selalu memerlukan upaya untuk memperoleh sumber daya manusia dan biaya adopsi bagi karyawan (Acemoglu dan Pischke, 1999).

Ketidakpastian mengenai apakah pelatihan akan memberikan hasil yang memadai mengakibatkan penolakan internal terhadap inovasi makin tinggi.

Osterman (2000) berpendapat bahwa bahkan pelaksanaan perubahan organisasi yang dinilai positif namun bagi karyawan dapat terancam oleh ketidakpastian pekerjaan.

Tidak ada atau hanya pengembalian kecil untuk investasi ketika karyawan menghadapi risiko kehilangan pekerjaan mereka dan kualifikasi baru yang diperlukan sangat spesifik.

Penerimaan inovasi

Tidak semua respons atas inovasi berbuah penolakan. Hauschildt (1999) memaparkan hasil survei terhadap 151 perusahaan Jerman yang berhasil memperkenalkan inovasi.

Resistensi terhadap inovasi bersifat konstruktif dan loyal. Karyawan dimungkinkan untuk berpartisipasi dan mengendalikan keputusan manajemen, mengungkapkan kekurangan dan kelemahan proyek.

Daniel (1987) dan Daniel & Hogarth (1990) menganalisis dampak perubahan teknologi terhadap hubungan industrial.

Sebanyak 2.019 perusahaan dari semua sektor ekonomi Inggris berpartisipasi dalam wawancara tersebut. Hasil dari studi mereka memperlihatkan dukungan karyawan untuk perubahan di perusahaan mereka bergantung pada jenis inovasi yang diterapkan.

Sebuah studi oleh Bemmels dan Reshef (1991) menyajikan jawaban dari 206 perusahaan Kanada yang memperkenalkan inovasi antara tahun 1980 dan 1988.

Karyawan biasanya mendukung inovasi, sementara serikat pekerja dan aturan khusus dalam kontrak kerja tentang inovasi teknologi mendorong penolakan karyawan.

Dengan berbagai polah reaksi atas inovasi dari karyawan dan pemangku kepentingan lain, semestinya resistensi tersebut belum tentu merugikan perusahaan karena bergantung pada karakteristik inovasi dan aturan kelembagaan.

Seperti disebutkan Schaefer (1998) yang masih relevan hingga kini, resitensi terhadap inovasi tidak selalu menjadi penghalang, namun dapat menghambat atau mengubah rencana inovasi.
Inovasi juga semestinya tidak merombak tatanan yang sudah bagus.

Terobosan yang dihasilkan adalah bagian dari perbaikan terus-menerus, cepat beradaptasi dengan kondisi terkini dan fleksibilitas terhadap perubahan yang terjadi.

Walau berkesan klise, tampaknya penolakan terhadap inovasi, harus tetap disikapi dengan bijaksana. Tidak sekadar “sat-set” apalagi menggunakan tangan besi.

*Dosen Tetap Program Studi Sarjana Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

https://money.kompas.com/read/2023/02/03/092454026/resistensi-berinovasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke