Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga mengatakan, Pemprov DKI harus mengkaji ulang beberapa poin penting dan tidak terpaku pada opsi ERP saja, tetapi penunjang angkutan publik juga mesti diperhatikan.
“ERP ini sebaiknya jangan diberlakukan dulu di lokasi-lokasi yang ada pemukimannya. Masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun di situ dan belum tentu menggunakan transportasi publik pasti akan komplain. Pertanyaannya, apakah kalau ERP ini diterapkan, kemacetan akan berkurang? Belum tentu juga kan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/2/2023).
Sejauh ini, kata dia, baru ada beberapa ruas jalan yang paling siap fasilitas angkutan publiknya. Jalan tersebut yakni Jalan Sudirman-Thamrin, MT Haryono, Gatot Subroto, dan Rasuna Said.
Sementara di beberapa ruas jalan lain masih ada pemukiman sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut akan merasa dirugikan jika ERP diterapkan.
Lebih lanjut kata Nirwono, ada beberapa opsi lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kemacetan. Salah satunya adalah pengenaan biaya parkir progresif.
Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik.
“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan lalu lintas,” kata dia.
Menurut Nirwono hal yang terpenting adalah menata kawasan secara keseluruhan. Sebelum rencana penerapan ERP ini, sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah menerapkan sistem 3-in-1 dan ganjil-genap.
Namun, upaya-upaya yang diciptakan untuk mengurangi volume kendaraan di jalan-jalan sibuk tersebut terbukti tidak berjalan efektif dalam mengurai kemacetan.
“Hal ini terjadi karena sistem transportasi publik kita belum bisa diandalkan, integrasinya belum siap sehingga biaya menggunakan transportasi publik ini menjadi cukup mahal. Karena itu, transportasi publik harus dibenahi dulu, baru kemudian ERP diterapkan,” ungkapnya.
Belakangan ini, di tengah masifnya pembangunan transportasi publik, keterbatasan kapasitas transportasi publik dalam menampung mobilitas penduduk kembali menjadi sorotan. Seperti fenomena menumpuknya penumpang kereta commuter di Stasiun Manggarai pada jam-jam sibuk. Di saat yang sama, keterisian masih belum dapat mencapai tingkat keterisian yang ditargetkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta sebesar 70.000 setiap harinya.
Jika pemerintah memaksakan penerapan ERP, ia menilai hal itu akan berdampak luas pada aktivitas masyarakat dan semakin membuat lebar kesenjangan sosial. Contohnya para pengguna ojek online yang kabarnya juga akan dikenakan tarif ERP.
“Kalau aplikator maupun driver ojol yang dikenakan maka ada tambahan beban biaya di mereka. Sementara jika biaya tersebut dibebankan ke pelanggan dengan cara menaikkan tarif akan membebani masyarakat dan ojol akan kehilangan pelanggan,” ujar Nirwono.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti ini bilang, dampak paling akhir adalah jika seluruh biaya operasional masyarakat di Ibu Kota semakin tinggi, bukan tidak mungkin pelaku bisnis akan hengkang dan memindahkan kantor mereka ke luar Jakarta.
Beberapa waktu lalu, pengemudi ojek online (ojol) menggelar unjuk rasa di Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (8/2/2023). Dalam aksi unjuk rasa ini, para pengemudi ojol menolak aturan penerapan jalan berbayar tersebut.
Ini merupakan aksi unjuk rasa kedua setelah sebelumnya juga pengemudi ojol menggelar aksi serupa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta pada 25 Januari 2023.
Sebagaimana diketahui, sistem ERP tercantum dalam rencana peraturan daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE).
Berdasarkan Raperda PL2SE, ERP akan diterapkan setiap hari mulai pukul 05.00 WIB-22.00 WIB. Usulan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, pengendara kendaraan yang melewati ERP akan dikenai tarif Rp 5.000-Rp 19.000. Dalam Raperda PL2SE, ERP akan diterapkan di 25 ruas jalan di ibu kota.
https://money.kompas.com/read/2023/02/13/184100626/pemprov-dki-dinilai-jangan-hanya-terpaku-pada-erp-untuk-atasi-kemacetan