Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Siaga di Tengah Risiko "Tech Winter"

Bank gagal tersebut adalah Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank (SB), dan Silvergate Bank yang dinyatakan kolaps setelah gagal meningkatkan modalnya.

Dus, bailout jumbo dari The Fed dan FDIC yang diberikan pada bank-bank gagal ini menuai anomali. Dengan mengguyur Rp 4.600 triliun untuk bailout tiga bank yang bangkrut di AS, sama halnya ini kebijakan uang longgar (Quantitavie Easing/QE).

Supply uang akan kembali mengalir ke pasar. Kebijakan QE ini justru mengaburkan kebijakan uang ketat (Quantitative tightening/QT) selama 4 bulan belakangan dalam menjangkar inflasi.

Padahal inflation targeting adalah mandat utama bank sentral. Jadi inflasi yang masih jauh dari sasaran FED 2 persen, sepertinya memperpanjang ketidakpastian global.

Memang untuk Indonesia, stress test pada ketahanan perbankan masih baik, namun sepertinya kebijakan The Fed yang makin kuat mengarah pada higher for longer, menjadi momok krisis global yg menakutkan!

Dan terbaru, pascadigelar FOMC (Federal Open Market Commite), The Fed kembali mengerek Fed Fund Rate (FFR) 0,25 bps menjadi 4,75 persen.

Kenaikan FFR ini bak signal yang tak jelas, antara menjangkar inflasi atau memitigasi sistem keuangan AS yang kian getas.

Signal temaram FFR juga dibaca pelaku pasar sebagai kecenderungan jinak-jinak merpati The Fed. Burung elang (hawk) moneter The Fed, mungkin tak segarang sebelumnya dalam mengerek FFR.

Inflasi AS yang turun menjadi 6 persen dari bulan sebelumnya 6,4 persen berdasarkan rilis U.S. Bureau of Labor Statistics pada 18 Maret 2023, menggambarkan jalur transmisi moneter mampu mengendalikan laju inflasi. Meskipun masih jauh dari sasaran 2 persen.

Makin rapuhnya stabilitas sistem keuangan AS, membuat arah suku bunga kebijakan The Fed diramal melandai di semester II 2023.

Winter Startup

Kolapsnya SVB juga memberi signal winter is coming bagi ekosistem usaha rintisan (Startup). Pangsa pasar SVB adalah startup dan ventura capital.

Segmen ini memang tengah mengalami tekanan, pascaera bakar uang (burning money) bersamaan dengan berkah likuiditas murah usai, seiring The Fed yang berjibaku dengan inflasi yang pernah pernah mencapai level tertinggi hingga di atas 9 persen sejak awal 2021 dengan kebijakan tightening policy.

Aset di ceruk startup yang menggelembung (bubble assets) selama pandemi Covid-19, akibat pembatasan mobilitas, telah mengerek keuntungan produk layanan jasa daring di berbagai lini bisnis.

Kombinasi likuiditas murah dan dan kenaikan ekuitas selama pandemi yang berimbas pada lonjakan nilai aset, tak mengalami diversifikasi atau peragaman melalui penempatan investasi.

Begitu era kebijakan uang longgar usai dan memasuki rezim suku bunga tinggi, seturut penggunakan jasa layanan daring yang menyusut (pascapandemi), balon asset di lini bisnis ini pun meledak. Di tengarai, fenomen ini serupa dengan dotcom bubble tahun 2000-an.

Bangkrutnya tiga bank di AS adalah puncak dari startup bubble. Dan contagion effect dari startup bubble ini tentu belum berakhir. Bahkan menambah tebal kabut ketidakpastian.

Alih-alih menemukan jalan keluar, The Fed justru terjebak dalam labirin pengetatan moneter dan rapuhnya sistem keuangan AS.

Kebijakan suku bunga The Fed adalah dalam rangka menjinakkan inflasi AS yang tak kunjung mencapai sasaran 2 persen.

Dengan inflasi AS saat ini yang masih 6 persen, menggambarkan The Fed masih trade off antara politik diskonto dalam menjangkar sasaran inflasi dan menjaga kinerja ekonomi negeri besutan Joe Biden tersebut.

Pada Selasa 15 Maret 2023, U.S. Bureau of Labor Statistics merilis inflasi bulanan AS naik 0,4 persen. Sementara secara tahunan inflasi AS masih bertengger di 6 persen atau turun dari sebelumnya 6,4 persen.

Torehan inflasi IHK/ICP demikian, masih membuka ruang bagi The Fed untuk mengencangkan sabuk moneternya.

Dalam ekonomi makro, kita mengenal model Philips, di mana ada output PDB yang dikorban, sebagai trade off antara pilihan menurunkan inflasi dengan kebijakan suku bunga. Konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut yang terjadi dalam dinamika ekonomi makro AS saat ini.

Dus, dengan menaikan suku bunga (demi menjangkar inflasi), memiliki efek gerus yang nyata pada ekonomi AS. Kolapsnya SVB dan SB, adalah salah satu di antara risiko transmisi kebijakan The Fed.

Alat likuid perbankan pada aset sekuritas berupa saham dan obligasi di lini Fintech, tengah memasuki masa tekanan, seiring sentimen suku bunga The Fed.

Sejak bank sentral AS ini agresif mengerek suku bunga kebijakan, sumber likuiditas murah melalui pinjaman untuk memperkuat struktur modal perlahan-lahan tak lagi dinikmati sektor keuangan AS.

Saham dan obligasi berbasis startup/fintech beringsut tergerus. Dan segmen ini merupakan mayoritas pangsa SV bank.

Untuk memperkuat likuiditas, startup pemula yang merupakan pangsa mayoritas SVB melakukan rush money/bank run. Di saat yang sama, SVB mengalami kesulitan menghimpun dana publik akibat aset sekuritas tersebut dalam tekanan ekspektasi imbal hasil tinggi.

Langkah-langkah yang dilakukan dengan menjual kepemilikan saham dan obligasi pun mengalami kerugian akibat tergerusnya nilai aset sekuritas tersebut.

Setali tiga uang dengan obligasi tenor jangka panjang yang ikut tertekan akibat beban yield, seiring rezim suku bunga tinggi.

Pada 8 Maret 2023, SVB menjual banyak surat berharganya secara jual rugi (saham dan obligasi) untuk menopang likuiditasnya.

Pilihan jual rugi ini memantik kepanikan di antara perusahaan modal ventura/VC utama, yang berakibat pada menarik uang mereka dari bank. Alhasil, inilah yang menyebabkan bank dengan total aset tahun 2022 sebesar 209 miliar dollar AS diumumkan bangkrut.

Nasib serupa dialami SB. Diumumkan bangkrut oleh otoritas setempat, setelah gagal mengerek modalnya.

Bank dengan pangsa di industri kripto ini mengalami kebangkrutan, setelah adanya gejolak terhadap pasar kripto, sepanjang 2022, akibat impak kenaikan suku bunga The Fed dan kejatuhan bursa kripto terbesar di dunia pada November 2022.

Kondisi ini menyulut sentimen negatif di seluruh ekosistem aset digital dan membuat pelaku industri beralih ke posisi risk off di seluruh platform perdagangan aset digital.

Dengan demikian, aset keuangan di ceruk ini rontok dan berdampak pada bangkrutnya SB. Kekhawatiran akan kondisi yang lebih parah membuat deposan melakukan bank run untuk memitigasi kerugian dan mempertebal likuiditasnya.

Apalagi aset digital kripto sebagai sebuah komoditas yang diperdagangkan, tak ada underlying asset bersifat tangible yang mendasarinya.

Valuasi asset kripto, hanya berdasarkan pada supply and demand, sehingga rentan mengalami fluktuasi. Dengan demikian, begitu nilai aset kripto tergerus akibat kenaikan suku bunga The Fed, tekanan pelepasan aset kripto secara masif dan bank run pun terjadi.

Seberapa besar dampaknya ke Indonesia?

Penulis sendiri memahami, bahwa dampak bank gagal di AS terhadap Indonesia masih terbatas. Hal tersebut dilihat dari perbedaan struktur pangsa pasar kedua bank dimaksud dengan bank di Indonesia pada umumnya.

Struktur aset/modal SVB dan SB bertumpu pada start-up, capital ventura dan industri kripto.

Sementara mayoritas perbankan di RI struktur aset/modalnya bertumpu pada sektor riil, investasi dan konsumsi. Kedua sektor ini dalam performa pertumbuhan yang baik pascapandemi Covid-19.

Financing networking antara SVB dengan startup dan modal ventura di RI juga nyaris tak terlihat, karena mayoritas startup Indonesia cenderung ke modal ventura domestik dan Singapura.

Tentu saja krisis yang terjadi pada SVB dengan total aset 209 miliar dollar AS dan total deposito 175,4 miliar dollar AS tersebut membuat kita flashback ke krisis finansial tahun 2008.

Krisis keuangan 2008 tersebut bermula dari petaka subprime mortgage yang berdampak pada rontoknya bursa saham di Wall Street, termasuk bangkrutnya perusahaan keuangan kelas kakap seperti Lehman Breathers hingga menimbulkan krisis global.

Yang terjadi pada subprime mortgage skalanya luas, karena berkenaan dengan kredit hipotek bermasalah yang disekuritisasikan dalam berbagai bentuk financial engineering yang kompleks dengan nilai di atas 500 miliar dollar AS dan mencapai 60 persen dari seluruh outstanding kredit perumahan.

Dengan demikian, ketika terjadi gelombang default, dampaknya sistemik terhadap perekonomian AS dan global.

Sementara lingkup pangsa SVB dan SB hanya pada kerja sama dengan perusahaan startup di wilayah Silicon Valley, sebagaimana pernyataan peraih nobel ekonomi Paul Krugman di akun twitter-nya, bahwa petaka SVB sebagai Schmoozing and Vibes Bank.

Dengan dampak risiko yang terbatas itulah, bangkrutan SVB dan SB dinilai tidak sama dengan krisis 2008.

Dari dalam Indonesia, likuiditas sistem perbankan kita dalam kondisi yang masih resilien. Hal tersebut terlihat dari Coverage Liquidity Ratio (CLR) di atas 100 (dalam threshold sehat).

Berdasarkan data OJK, CLR Indonesia saat ini 234 persen. Lebih tinggi dari AS saat ini dengan CLR 148 persen, Jepang 135 persen, China 132 persen dan Eropa 123 persen.

Dengan rasio likuiditas yang sehat tersebut, sistem perbankan Indonesia cenderung resilien. Berbagai stress test terhadap indikator likuditas perbankan domestik pun masih dalam posisi sehat.

Namun tak dipungkiri, efek bangkrutnya SVB dan SB, memantik sikap risk off investor di pasar modal. Rata-rata bursa saham global rontok di zona merah sebagai bentuk reaksi terhadap kebangkrutan dua bank kakap di AS tersebut.

Koreksi terhadap indeks komposit global dipicu oleh tekanan di ceruk emiten-emiten fintech.

Kendati pun demikian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih dalam posisi risk on dengan naik tajam 1,06 persen atau setara 70,64 poin ke level 6.762,25 pada penutupan bursa Jumat, 24 Maret 2023.

Lain hal dengan pasar SBN. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, pasar obligasi RI masih inflow.

Permintaan terhadap imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang rendah 6,7 persen dari sebelumnya mencapai 7 persen, menggambarkan bahwa spillover dari kondisi perbankan di AS masih moderat.

Setidaknya hal ini dipengaruhi oleh strategi mitigasi jangka pendek yang dilakukan FDIC-AS terhadap SVB dan SB dengan menjamin nasabah di kedua bank tersebut.

Krisis SVB dan SB juga menjadi alarm dini bagi The Fed agar lebih akomodatif dalam dalam policy rate-nya. Kondisi demikian dibaca pelaku pasar sebagai melandainya arah kebijakan suku bunga The Fed; sehingga arus modal inflow ke pasar domestik RI membuat pasar SBN masih cerah.

Kesiagaan

Karena goncangan terhadap ekonomi disebabkan oleh sektor perbankan, maka sejatinya, bank domestik harus menjaga rasio likuiditas 100 persen atau di atas 100 persen sesuai aturan OJK.

Strategi pencadangan melalui GWM (statutory reserve) yang diregulasi bank sentral harus berbasis risiko aktual atau jangka pendek.

Runtuhnya SVB merupakan peringatan bagi bank untuk meningkatkan pemodelan neraca dan memiliki program manajemen risiko yang kuat.

Menurut Boston Consulting Group (BCG) dalam laporannya, perusahaan konsultan global ini mengatakan kejatuhan SVB menyadarkan dunia perbankan pada empat kelemahan dalam pendekatan manajemen risiko bank.

Pertama: Stress Testing Across Risk Silos. Bank perlu melakukan stress test di semua jenis risiko.

Sebagaimana idealnya sistem perbankan, SVB mungkin lalai dalam melakukan stress testing risiko suku bunga, kredit, pasar, dan likuiditas. SVB ditengarai gagal memahami dampak limpahan di berbagai jenis risiko.

BCG juga merekomendasikan stress testing terbalik, dengan mempertimbangkan stress test terkait apa yang diperlukan untuk 'menghancurkan bank'. Metode stress test mendorong bank memiliki pemahaman lebih detail tentang korelasi berbagai jenis risiko.

Kedua; Liquidity ≠ Cash. Likuiditas tak dipahami sebagai uang tunai. BCG mengatakan SVB memiliki banyak aset likuid berkualitas tinggi, tetapi kekurangannya adalah kemampuan untuk mengubah likuiditas menjadi uang tunai untuk memenuhi kewajiban pembayaran dalam periode tekanan pasar tanpa harus melakukan penjualan aset secara mendadak dan pengakuan segera berikutnya atas aset besar.

BCG merekomendasikan, agar industri perbankan perlu menguji asumsi monetisasi aset mereka stress testing likuiditas. Cara ini diperlukan untuk mengukur kemampuan untuk mengubah buffer High Quality Liquidity Assets (HQLA) menjadi uang tunai dan dampak yang lebih luas dari melakukannya dan rencana likuiditas darurat mereka.

Ketiga, Concentration Risk In Deposits Should Be Better Understood. Estimasi yang terlalu rendah dari kecepatan penurunan simpanan merupakan kontributor utama SVB yang kurang siap.

Basis simpanan SVB terkonsentrasi di sektor tertentu di mana saldo akun menurun dengan cepat.

Sebuah 'run on the bank' berubah menjadi “sprint on the bank” karena keterkaitan basis klien, tindakan para pemberi pengaruh utama, dan kecepatan tindakan dalam ekosistem digital (perbankan digital dan saluran komunikasi).

Kurangnya pemahaman tentang risiko konsentrasi di dalam basis simpanan mereka menyebabkan keterkejutan pada skala dan kecepatan kebutuhan likuiditas.

Keempat, A Crisis Playbook Fit For The Social Media Age. SVB mewakili kegagalan bank besar pertama di era media sosial. Fakta bahwa FDIC mengambil alih SVB di tengah hari pada Jumat daripada menunggu COB (Coordination of Benefit) menunjukkan betapa cepatnya situasi berubah.

Kecepatan dan respons kolektif deposan dikarenakan media sosial, komunikasi digital, dan perbankan digital. Hal ini membuat kecepatan krisis menyerupai pelanggaran dunia maya besar-besaran daripada bank yang dijalankan beberapa dekade yang lalu.

SVB tampaknya tidak siap untuk menanggapi peristiwa semacam itu secara terkoordinasi. Baik secara internal maupun dalam komunikasi dengan investor dan deposan mereka.

Kebangkrutan yang dialami SVB, menjadi alarm kencang bagi bagi startup Indonesia. Bahwa perusahaan perlu mendiversifikasi asetnya, dan menempatkan dananya hanya pada satu bank. Sebagaimana adagium “Don’t put your eggs in one bucket.”

Memang yang dialami SVB adalah akibat gejolak ekonomi makro global. Namun startup yang hanya fokus pada ekspansi, produk dan marketing tanpa memahami finansial perusahaan dan dinamika di sekitar bisa berisiko, seperti yang dialami startup AS di SVB.

https://money.kompas.com/read/2023/03/26/085850626/siaga-di-tengah-risiko-tech-winter

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke