Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Indonesia Tidak Perlu Patuh ke IMF soal Ekspor Nikel

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan, permintaan tersebut tidak mengikat dan tidak memiliki dasar hukum.

Maka Indonesia juga dinilai tidak memiliki kewajiban dalam mematuhi permintaan dari IMF atau aturan negara lain sebagai negara berdaulat.

"First of all, permintaan IMF sifatnya hanya tidak mengikat dan tidak punya dasar hukum apa pun. Indonesia sebagai sovereign country juga tidak punya kewajiban atau covenant agreement apa pun untuk mematuhi permintaan IMF atau aturan negara lain, pun bila WTO akhirnya memutuskan dalam appelate body bahwa kebijakan larangan nikel ini tidak sejalan dengan komitmen kita di WTO," jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (2/7/2023).

Maka Shinta mengatakan, atas permintaan IMF tersebut menjadi diskresi penuh dari pemerintah Indonesia ingin menanggapinya seperti apa. Di mana apakah menghilangkan kebijakan larangan ekspor tersebut sesuai permintaan tersebut atau tidak.

Kemudian terkait investor asing akankah terganggu dengan larangan ekspor bijih nikel, Shinta menjelaskan untuk investor asing yang menanamkan modal di Indonesia, khususnya pada investasi smelter, baja, baterai, investor ekosistem electric vehicle (EV), dan lain justru akan diuntungkan.

Apabila kebijakan larangan ekspor nikel dicabut, menurutnya para investor asing yang sudah menanamkan modalnya di Indonesia justru akan mempertanyakan apa rencana Indonesia untuk memastikan kelancaran dan kecukupan supply nikel untuk investasi mereka di Indonesia.

Adapun investor asing yang berkeberatan dengan kebijakan larangan ekspor nikel justru umumnya adalah investor atau pelaku usaha asing yang tidak memiliki basis produksi di Indonesia, tetapi membutuhkan supply nikel mentah dari Indonesia untuk menjalankan kegiatan industrinya di luar negeri.

Shinta mengatakan, menjadi masalah dalam kebijakan larangan ekspor nikel oleh IMF dan WTO adalah bentuk restriksinya terhadap kebebasan berdagang.

Meskipun memiliki kepentingan untuk menjaga atau mengutamakan supply nikel di dalam negeri, Indonesia diharapkan dapat menggunakan instrumen kebijakan lain yang sifatnya tidak se-restriktif kebijakan export ban.

"Karena itu, idealnya pemerintah melakukan RIA (regulatory impact assessment) terkait dengan cost-benefit kebijakan larangan ekspor nikel ini (bagaimana cost-benefitnya bila kebijakan ini hilang vs bila tetap dipertahankan). Bila direlaksasi atau dilepas sepenuhnya, perlu dikaji dan distrategikan juga bagaimana kita menjamin supply nikel yang bersaing (dari segi volume, kualitas dan harga) bagi industri di dalam negeri yang sudah direalisasikan karena diuntungkan oleh kebijakan larangan ekspor nikel. Jangan sampai relaksasi kebijakan larangan ekspor ini nanti akan mengganggu investasi pengolahan nikel yang ada dan sudah berjalan di dalam negeri," jelasnya.

Selain itu, Ia menambahkan, pada saat yang sama Indonesia juga perlu memikirkan terkait dengan sustainability aktifitas ekstraksi/pertambangan nikel. Pasalnya, meskipun cadangan nikel Indonesia terbesar di dunia, tidak berarti cadangan nikel yang dimiliki tidak terbatas dan tidak akan habis.

"Indonesia dan dunia perlu menyadari bahwa supply nikel global tidak hanya berasal dari Indonesia dan Indonesia juga punya kepentingan untuk memastikan cadangan nikel ini bisa relatif long-lasting dan cukup sustainable untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang," paparnya. (Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto)

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: IMF Minta Larangan Ekspor Bijih Nikel Dicabut, Kadin Nilai Tak Punya Dasar Hukum

https://money.kompas.com/read/2023/07/03/160952026/indonesia-tidak-perlu-patuh-ke-imf-soal-ekspor-nikel

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke