Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Akhirnya Indonesia Naik Kelas, Haruskah Kita Gembira?

Pendapatan nasional bruto alias Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia naik sekitar 9,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), yaitu menjadi 4.580 dollar AS. Sedangkan pada 2021, GNI per kapita nasional masih 4.170 dollar AS.

Maka berdasarkan data Bank Dunia terbaru, pada 2022 Indonesia naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income) dari sebelumnya golongan negara berpendapatan menengah-bawah (lower-middle income).

Atau dengan kata lain, naik kelasnya status ekonomi Indonesia tersebut karena sejak Februari 2023 lalu, seperti dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pendapatan per kapita penduduk Indonesia sudah mencapai 4.783,9 dollar AS atau Rp 71 juta per tahun, naik 13,96 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Indonesia dianggap memiliki GNI per kapita yang sangat dekat dengan ambang pendapatan menengah-atas pada 2021, dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang rendah pada 2022, sudah cukup untuk membawa Indonesia naik kelas.

Perubahan kategori pendapatan Indonesia terjadi karena perekonomian nasional tumbuh 5,3 persen (yoy) pada 2022.

Meskipun naik kelas, GNI per kapita Indonesia pada 2022 justru turun menjadi peringkat ke-5 di Asia Tenggara. Namun, tetap saja itu menjadi berita gembira.

Kenaikan kelas itu diumumkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara.

Status tiap negara diukur berdasarkan besaran standar tertentu. Suatu negara berstatus berpenghasilan menengah atas apabila Gross National Income (GNI) atau pendapatan per kapita nasional-nya berada pada kisaran 4,046 dollar AS hingga 12.535 dollar AS per tahun.

Sedangkan di atas angka tersebut, GNI per kapitanya termasuk kategori negara berpenghasilan tinggi alias negara maju.

Sedangkan Indonesia berada di posisi tengah, atau lower middle income country. Negara-negara dengan kisaran GNI per kapita di antara 1.036 dollar AS per kapita sampai dengan 4.055 dollar AS per tahun.

Dan kategori di bawahnya, yaitu negara dengan pendapatan per kapita per tahun di bawah 1.036 dollar AS diklasifikasikan sebagai negara miskin alias poor country.

Dalam kenyataanya justru negara-negara berpenghasilan menengah menjadi mesin utama penggerak pertumbuhan ekonomi dunia karena besaran populasi, artinya juga “pasar besar”.

Naik kelas untuk siapa?

Apakah kabar gembira kenaikan itu layak dirayakan oleh semua orang, termasuk para pelaku UMKM? Apa dampak signifikan dari kenaikan kelas itu sebenarnya?

Karena bukan rahasia lagi jika hanya segelintir kekuatan ekonomi yang terdampak positif dari kenaikan status ekonomi Indonesia tersebut.

Karena data Credit Suisse menyebut hanya 1 persen orang terkaya Indonesia saja yang menguasai 46 persen kekayaan penduduk Indonesia.

Sehingga kabar kenaikan itu bisa dimaknai sebagai kenaikan pendapatan per kapita rata-rata yang semu? Dan pada akhirnya bisa berdampak negatif?

Dalam situasi transisi ekonomi yang gamang, begitu juga dengan resesi ketika memasuki tahun baru 2023, harapan terbesar masyarakat adalah bangkit dari pandemi, tersedianya lapangan kerja yang cukup dan harga kebutuhan pokok terkendali.

Jangan lagi ada peristiwa harga minyak goreng meroket drastis karena alasan “kebijakan” green oil yang ketika itu langsung memupus kepercayaan konsumen dan pasar kepada pemerintah sebagai salah satu pengendali inflasi.

Dan harapan para pegiat UMKM tentu saja prospek bisnis yang makin moncer, tanpa hambatan pada tahun berikutnya.

Hanya saja dampak kenaikan kelas itu tak serta merta akan berdampak langsung. Dengan kenaikan status ekonomi Indonesia, paling tidak bisa menjadi pondasi dasar menuju kenaikan kelas berikutnya sebagai negara maju.

Investor mungkin akan lebih percaya diri masuk ke Indonesia karena mereka tambah yakin dengan ketahanan ekonomi kita.

Namun tetap saja, seperti layaknya orang naik kelas, ada konsekuensi yang harus dilakukan, dan biasanya justru lebih menantang dan lebih berat. Paling tidak harus diiringi serangkaian kebijakan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

Terutama soal modal, sumber daya manusia, kapasitas dan kapabilitas industri yang berorientasi ekspor dan mengurangi defisit transaksi berjalan serta, pemanfaatan secara tepat teknologi digital, untuk mendorong pemberdayaan ekonomi.

Agar kita keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap, tantangan yang tidak main-main dan harus diatasi.

Dan seperti biasa pula kenaikan kelas ternyata ada konsekuensinya yang negatif. Karena telah dianggap naik kelas, artinya ada tambahan “kekayaan” atau paling tidak tingkat kemakmurannya merayap naik dari sebelumnya.

Maka dalam banyak peluang dari sisi ekonomi, kenaikan kelas itu berdampak pada sisi perdagangan internasional Indonesia, yang bakal semakin jarang mendapatkan keringanan tarif, karena kenaikan tingkat pendapatannya.

Demikian juga dalam soal pembiayaan melalui pinjaman langsung bilateral maupun mutlilateral, para pemberi pinjaman tak akan lagi memberi diskon bunga.

Artinya mereka juga akan mengambil keuntungan dari "kenaikan kelas"" ersebut. Apakah artinya itu akan baik bagi masa depan perekonomian kita? Tentu saja, jika kita menyikapinya dengan benar.

Kenaikan status Indonesia tersebut jika tak disikapi dengan perubahan struktur ekonomi, maka akan mengancam serapan tenaga kerja.

Karena umumnya kenaikan status ekonomi dari negara menengah bawah ke menengah atas akan dibarengi dengan perpindahan konsentrasi pekerja, dari pekerja manufaktur ke sektor jasa, yang artinya akan timbul deindustriliasasi.

Padahal industri manufaktur memiliki nilai tambah dan serapan tenaga kerja yang besar, dan menjadi tulang punggung agar terlepas dari middle income trap.

Apakah dengan kenaikan kelas tersebut justru akan menjebak Indonesia pada posisi yang lebih riskan secara ekonomi? Atau bahkan dapat menjadi bomerang, menurunkan kelas kita kembali ke kelas bawah jika kita tak pandai membawa diri setelah “kenaikan kelas” tersebut.

Pada akhirnya, kenaikan kelas juga akan menimbulkan dilema baru, yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintahan Jokowi dan pastinya, pemerintahan siapapun di antara “koalisi besar” yang tengah berebut kursi R-1, ketika terpilih nanti.

Jadi selain urusan king maker, legacy keberlanjutan pembangunan, juga akan ada banyak pekerjaan rumah baru yang harus dibereskan oleh para presiden terpilih. Masih siap dan berniat ingin maju?

https://money.kompas.com/read/2023/07/06/142841626/akhirnya-indonesia-naik-kelas-haruskah-kita-gembira

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke