Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memperluas Inklusi Keuangan dengan "Innovative Credit Scoring"

Oleh: Eisha Maghfiruha Rachbini* dan Izzudin Al Farras Adha**

INKLUSI keuangan merupakan salah satu penopang menuju Indonesia Emas 2045. Sebab, sektor riil sebagai motor kesejahteraan masyarakat ditopang oleh sektor keuangan.

Terlebih lagi, inklusi keuangan merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta aspek penting dalam pencapaian SDGs (World Bank, 2023).

Meski angka inklusi keuangan senantiasa meningkat, kenaikan inklusi keuangan tersebut perlu diakselerasi.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 menunjukkan, angka inklusi keuangan Indonesia berada pada angka 85 persen. Padahal, target pemerintah Indonesia mencapai 90 persen pada 2024.

Sebagai perbandingan, capaian SNLIK 2022 tersebut masih berada di bawah beberapa negara tetangga, yaitu Singapura (98 persen), Thailand (96 persen), dan Malaysia (88 persen).

Oleh karena itu, perluasan akses keuangan di Indonesia tidak hanya perlu ditingkatkan untuk mencapai target, tetapi juga perlu percepatan untuk memperluas akses keuangan. Penggunaan teknologi di sektor keuangan dapat membantu memperluas akses keuangan.

Salah satu pemanfaatan teknologi tersebut adalah Innovative Credit Scoring (ICS), yakni penggunaan data non-keuangan, misalnya data telekomunikasi, data e-commerce, data media sosial, dan data dari dunia maya lainnya sebagai sumber data penilaian kredit.

Pengolahan data via artificial intelligence (AI) dan machine learning bisa memberikan penilaian kelayakan kredit dan pinjaman bagi kelompok unbanked dan underbanked secara lebih cepat, akurat, dan efisien.

Hal ini didukung oleh sejumlah studi di China yang menunjukkan bahwa penggunaan data non-tradisional dalam melakukan kelayakan kredit merupakan inovasi yang dapat mendukung perluasan kredit, terutama bagi kelompok yang memiliki historis kredit yang rendah, misalnya UMKM (Allen, Gu, and Jagtiani, 2020).

Perkembangan dan Tantangan ICS

Perkembangan ICS cukup cepat di Indonesia, yakni dari 9 ICS pada 2019 menjadi 20 ICS pada 2022 serta telah melayani berbagai bank besar dan fintech.

Meski demikian, pengembangan ICS ke depan masih menghadapi setidaknya tiga tantangan.

  • Pertama, belum hadirnya peraturan dan regulasi terkait alur dan tahapan setelah penyelenggara ICS tercatat di OJK serta mendapatkan status direkomendasikan usai melalui regulatory sandbox.

    Aturan tersebut strategis untuk memberikan kepastian perizinan bagi penyelenggara ICS dan pengawasan dari OJK. Saat ini, belum adanya kepastian perizinan berimplikasi pada landasan kerja sama antara ICS dan lembaga jasa keuangan yang diwajibkan untuk bermitra dengan pihak yang berizin OJK.

    Adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) memberikan ruang bagi OJK dalam memberikan kejelasan pada proses perizinan pasca-sandbox via Peraturan OJK.

  • Kedua, pemerintah harus memastikan bahwa pengaturan tata kelola dan disain kelembagaan penyelenggaraan ICS di Indonesia berdasarkan prinsip “light touch regulation and safe harbour” sebagaimana arahan Presiden terkait pengembangan fintech.

    Prinsip tersebut menegaskan bahwa pengaturan bersifat mendukung perkembangan inovasi teknologi dengan tetap memperhatikan perlindungan konsumen.

    Dalam konteks ini, pengaturan juga perlu harus membedakan antara ICS dengan biro kredit konvensional, yaitu Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Keduanya memiliki segmen pasar, jenis data, sumber data, dan metodologi pengolahan data yang berbeda.

    ICS dapat menjadi komplementer dari keberadaan LPIP yang mengolah data perbankan. Tentu saja, diperlukan pengaturan yang memberikan landasan bagi keduanya untuk dapat berkolaborasi dalam rangka mengakselerasi inklusi keuangan.

    Oleh karena itu, OJK perlu membuat pengaturan pelaksanaan terkait Innovative Credit Scoring, mulai dari akses data, jenis data, standarisasi penyelenggaraan, hingga metode penilaian credit scoring dan identifikasi serta mitigasi risiko penyaluran kredit yang lebih komprehensif melalui penggunaan sumber data alternatif seperti yang digunakan oleh para penyelenggara ICS.

  • Ketiga, setelah keluarnya aturan tersebut, OJK perlu melakukan penguatan atas pengawasan perilaku pasar atau market conduct. Terkait dengan ICS, OJK diharapkan mampu mengawasi kualitas penilaian kredit yang dilakukan oleh penyelenggara ICS.

    Sebab, verifikasi penilaian kredit yang dilakukan oleh penyelenggara ICS sangat krusial mengingat jejak digital seseorang di dunia maya sangat beragam. Contohnya, penipu dapat membuat identitas dan jejak digital palsu di dunia maya sehingga menimbulkan penilaian kredit yang tidak akurat.

    Bias algoritma saat pemrosesan data dapat pula terjadi ketika menghasilkan penilaian kredit yang tidak adil terhadap suatu kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, implementasi pengawasan OJK dan penegakan aturan menjadi kunci agar ICS mampu mengakselerasi inklusi keuangan.

Di tengah potensi besar ICS untuk menggarap segmen masyarakat underbanked dan unbanked serta jumlah penyelenggara ICS yang terus bertambah, ICS dapat berkontribusi bagi akselerasi perluasan inklusi keuangan.

Untuk terus mengembangkan ICS, tantangan terbesarnya adalah kepastian regulasi dalam menjalankan fungsi sebagai institusi pendukung ekosistem keuangan digital.

Dengan demikian, ICS mampu menjadikan sektor keuangan lebih inklusif dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

*Kepala Center of Digital Economy and SMEs Indef
**Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef

https://money.kompas.com/read/2023/08/26/084510526/memperluas-inklusi-keuangan-dengan-innovative-credit-scoring

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke