Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kasus Hukum PKPU Masih Tinggi, UU Tentang Kepailitan Dinilai Perlu Direvisi

Menurut Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto, UU ini seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kesulitan dalam berbisnis, namun sekarang banyak digunakan oleh kreditur untuk melakukan penagihan utang.

Dia menilai, penggunaan UU No. 37/2004 telah bergeser dari tujuan utamanya, sebagai salah satu sarana untuk penyelesaian utang-piutang yang adil, cepat, transparan dan efektif. Selain itu juga untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis.

“Melalui UU tersebut debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU,” kata Rizky dalam siaran pers, Kamis (26/10/2023).

“Atau mungkin kalau debitur yang benar-benar sudah sangat kesulitan dalam berbisnis dan membayar utangnya, dia bisa memakai mekanisme pengajuan pailit. Jadi fokusnya ke perlindungan debitur,” tambahnya.

Rizky menilai, saat ini UU No. 37/2004 justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur.

“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp 100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit PKPU atau pailit,” tambahnya.

Untuk itu, dia menilai penting revisi UU No. 37/2004 agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini. Dia menambahkan, hukum kepailitan yang kuat dan konsisten dapat membantu mengurangi risiko penyalahgunaan proses kepailitan.

Namun, penyelesaian dalam kasus kepailitan harus adil bagi semua pihak, baik kreditur maupun debitur. Tidak adanya kepastian dalam penyelesaian kepailitan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman oleh lembaga keuangan.

Presiden Direktur AJ Capital Geoffrey D. Simms menyatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.

“Kreditur, debitur, dan pengadilan semuanya harus berpartisipasi dan memiliki peran masing-masing dalam proses kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga tentu akan berusaha untuk menemukan penyelesaian yang adil bagi semua pihak. Pengadilan niaga juga harus berusaha untuk menjaga perusahaan [debitur] tetap beroperasi dan memberikan perlindungan kepada semua pemegang saham. Itu adalah semangat hukum modern,” ujar Simms.

Simms bilang, hukum harus digunakan sebagai sarana untuk melakukan restrukturisasi bisnis yang sehat dengan memastikan hak-hak para kreditur terlindungi sambil membantu mengatasi masalah perusahaan (debitur) yang mengalami kesulitan agar kembali sehat dan dapat menyelesaikan kewajiban yang dimilikinya.


Menurut dia, penegakan hukum kepailitan yang kuat dan konsisten, dapat membantu meminimalkan risiko penyalahgunaan proses kepailitan, yang dapat berdampak negatif pada para pemegang saham dan kreditur.

“Setiap kasus kepailitan dan PKPU memiliki keunikannya masing-masing, di mana ada situasi yang berbeda dalam setiap kasus. Pengadilan niaga tentunya harus mempertimbangkan fakta-fakta khusus dari kasus tersebut ketika membuat keputusan,” jelasnya.

“Ini bukan hanya tentang melindungi kepentingan ekonomi perusahaan, debitur. Tapi juga melindungi hak-hak hukum dari kreditur. Bagaimana kreditur tahu hak-hak mereka akan dilindungi jika misalnya ternyata ada debitur yang memang tidak ingin membayar kembali. Itu terjadi, bukan? Jadi harus dilihat dari dua sisi.”

Simms mengatakan ketidakpastian penyelesaian yang adil dalam putusan kepailitan dikhawatirkan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman. Menurut dia, lembaga keuangan mungkin memandang pinjaman kepada individu atau perusahaan di Indonesia lebih berisiko jika mereka tidak yakin tentang prosedur dan perlindungan hukum yang akan diberikan dalam proses kepailitan.

“Oleh karena itu, untuk mengkompensasi risiko yang lebih tinggi, mereka mungkin menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian biaya peminjaman akan naik dan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi lebih buruk,” ungkapnya.

Di tahun 2021, terjadi peningkatan jumlah kasus hukum terkait aturan PKPU dan kepailitan di Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah berencana memberlakukan moratorium pengajuan PKPU dan kepailitan. Namun, hingga saat ini, pembahasan mengenai revisi UU No. 37/2004 belum selesai, baik di tingkat pemerintah maupun DPR RI.

Revisi UU No. 37/2004 juga diperlukan agar iklim berbisnis di Indonesia menjadi lebih menarik dan dapat bersaing dengan negara lain. Penyelesaian kepailitan yang efektif menjadi salah satu indikator dalam penilaian Bank Dunia dalam indeks Ease of Doing Business (EoDB).

https://money.kompas.com/read/2023/10/27/100000926/kasus-hukum-pkpu-masih-tinggi-uu-tentang-kepailitan-dinilai-perlu-direvisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke