Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Maskapai Usulkan Tarif Batas Atas Tiket Pesawat Dihapus, Pengamat Sebut Harus Ubah UU

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat penerbangan Alvin Lie tidak menyetujui penghapusan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat yang diusulkan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA).

Pasalnya, untuk menghapus TBA diperlukan perubahan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sehingga akan diperlukan proses yang panjang. Sementara saat ini biaya operasional maskapai telah meningkat akibat kondisi sosial politik di global yang menyebabkan harga avtur naik hingga pelemahan nilai tukar rupiah.

"Saya kurang sependapat kalau TBA itu dihapus, harus menunggu ya. Kalau mau menghapus itu ya harus menunggu ada perubahan UU-nya," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (6/11/2023).

Lagi pula, kata Alvin, TBA ini hanya berlaku untuk rute-rute penerbangan dalam negeri dan kelas ekonomi. Sementara untuk penerbangan dalam negeri kelas bisnis dan penerbangan rute-rute internasional diserahkan ke mekanisme pasar.

"TBA itu diamanatkan UU Nomor 1 2009 tentang penerbangan jadi tidak bisa dihapus. Kalau mau menghapus itu ya nanti setelah undang-undangnya diubah dan tidak ada lagi amanat untuk pemerintah mengatur TBA," jelasnya.

Alih-alih menghapus TBA, dia justru lebih setuju jika pemerintah atau dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merevisi aturan TBA yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri untuk mengurangi beban biaya operasional maskapai.

Sebab, aturan TBA ini belum berubah sejak 2019 lalu sedangkan asumsi-asumsi dasar penghitungan TBA pada KM 106 2019 itu sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

"Ketika KM 106 terbit, harga avtur cuma Rp 9.000 per liter, sekarang sudah Rp 15.000 lebih. Saat itu nilai tukar dollar Rp 12.000, sekarang hampir Rp 16.000," ungkapnya.

Sejak 2019 juga biaya-biaya operasi penerbangan maskapai sudah meningkat mulai dari harga bahan bakar avtur, gaji pegawai, harga sewa ruang dan fasilitas bandara, hingga retribusi bandara (airport tax).

Oleh karenanya, ketimbang menghapus TBA, lebih baik Kemenhub merevisi aturan TBA yang ada pada KM 106 2019 tersebut.

"Tarif pesawat ini 4 tahun ditahan oleh Menhub dan saat ini maskapai-maskapai penerbangan juga sudah kesulitan, makanya mereka minta TBA itu dihapus saja. Tapi saya kurang sependapat kalau TBA itu dihapus," tuturnya.

Sebelumnya, INACA mengusulkan agar pemerintah meniadakan tarif batas atas tiket pesawat sehingga besaran harga tiket akan diserahkan kepada mekanisme pasar.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja usai Rapat Umum Anggota INACA di Hotel Park Hyatt, Jakarta, Kamis (2/11/2023).

"Ini mungkin menjadi salah satu usulan dari kita tadi bahwa kalau bisa tarif batas atas ini ditiadakan sehingga menyerahkan kepada mekanisme pasar," ujarnya.

Denon menyebut, dengan dihapusnya TBA tiket pesawat ini, maka maskapai akan lebih fleksibel menyesuaikan harga tiket pesawat. Mengingat biaya operasional penerbangan saat ini tengah melambung tinggi akibat kenaikan harga avtur dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Dia menegaskan, usulan peniadaan TBA tiket pesawat ini bukan serta-merta karena maskapai ingin menarik keuntungan lebih banyak dengan menerapkan harga tiket mahal.


Justru, kata dia, peniadaan TBA ini diusulkan agar maskapai bisa mengurangi kerugian akibat biaya operasional yang membengkak.

"Kita sudah beberapa kali ada penyesuaian tarif surcharge ya terkait dengan naiknya harga avtur. Ditambah lagi sekarang nilai tukar mata uang rupiah melemah. Jadi saya pikir wajar kalau memang kita minta dibuka tarif batas atas sehingga ada fleksibilitas maskapai untuk bisa mengurangi kerugian. Jadi bukan menarik keuntungan lebih banyak," jelasnya.

https://money.kompas.com/read/2023/11/06/124826526/maskapai-usulkan-tarif-batas-atas-tiket-pesawat-dihapus-pengamat-sebut-harus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke