Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat Potensi Cuan di Balik Misi Keberlanjutan "Green Energy"

Dosen dan Peneliti Tetap Departemen Manajemen & Research Associate Lembaga Demografi FEB UI Anna Amaliah mengatakan, misi keberlanjutan dengan target yang ditetapkan pemerintah mengubah bentuk dan cara berpikir bisnis di Indonesia.

Seperti misalnya memanfaatkan dan memaksimalkan penggunaan bahan baku dalam produksi, sehinggaa limbah yang dihasilkan lebih sedikit, atau yang disebut dengan ekonomi sirkular.

“KLHK punya peran besar terhadap NDC bahwa tahun 2060, Indonesia sudah harus zero waste. Ini juga akan membuat bisnis berubah cara berpikirnya. Pemerintah kita sudah mempersiapkan struktur untuk mendukung misi keberlanjutan ini,” kata Anna dalam CEO Goes to Campus “Sustainable Class – Powering the Future: Innovations for a Sustainable Mission” di Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Namun, di sisi lain, dengan infrastruktur yang hampir berjalan dengan sempurna, nyatanya implementasi di tingkat masyarakat dalam mendukung hal tersebut dinilai masih kurang, dan butuh pemahaman lebih lanjut.

Belum lama ini, pemerintah telah meluncurkan bursa karbon, yang mana hingga saat ini perdagangan bursa karbon masih lesu.

Padahal ada banyak potensi dari karbon kredit. Tak sampai situ, pemerintah juga berencana menerapkan pajak karbon kedepannya, dengan tujuan yang sama, yakni penurunan emisi GRK.

“Pemerintah sudah mempersiapkan infrastruktur untuk pasar karbon di Indonesia. Soal karbon tax, Indonesia sudah siap. Nanti, pajak untuk perushaaan penghasil emisi (besar) akan lebih tinggi, sementara perusahaan yang emisinya lebih rendah akan mendapatkan insentif,” jelas Anna.

“Sedikit orang yang sadar bahwa ini sangat menguntungkan. Di Eropa, banyak yang mendapatkan keuntungan dari karbon kredit. Ini oportunity-nya sangat besar,” tambah dia.

Upaya PLN: pensiun dini batu bara

Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero) Zainal Arifin mengatakan, implementasi misi keberlanjutan memang memiliki dampak yang sangat besar bagi PLN.

Dampaknya yaitu PLN harus melakukan pensiun dini bagi PLTU batu bara, dan menggantinya dengan energi yang lebih ramah lingkungan.

“Di PLN inovasi yang kami lakukan sudah cukup lama. Kami memiliki 400 inovasi dalam mendukung green energy. Inovasi yang kami lakukan mulai dari memperbaiki troubleshooting dengan lebih cepat, murah, dan juga inovasi terkait sustainability,” ujar Zainal.

“Kami juga menghadapi tantangan bisnis di mana saat ini, isu transisi energi cukup tinggi. Kami mencoba menemukan formula apa yang harus dikembangkan,” lanjut dia.

Untuk mendukung misi keberlanjutan, PLN mengembankan teknologi yang green dan low carbon. Seperti mendirikan PLTS Floating Cirata yang awalnya didesain sebagai PLTS apung terbesar nomor 3 di dunia, kini menjadi yang terbesar nomor 2 di dunia. Awalnya PLTS Floating Cirata didesain berkapasitas 145 MW, kini menjadi 192 MW.

“Ini terobosan terbesar kita, dan kedua (terbesar) di dunia. Ini akan banyak lagi yang seperti itu, misalnya biomass cofiring. Karena selama ini listrik dipasok dari PLTU berbahan bakar batu bara, ini musuh terbesa karena emisinya tinggi. Kami mengkonversi biomassa pengganti fosil,” jelas Zainal.

Biomass Cofiring juga dapat diartikan pencampuran biomassa dengan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Untuk bisa menyuplai biomassa dibutuhkan sekitar 9 juta ton biomassa.

“Ini bisnis baru yang bisa menggerakkan ekonomi masyarakat,” tambah dia.


Tantangan misi "green energy"

Menurut Anna, apa yang dilakukan untuk mendorong misi keberlanjutan bukan hanya mengganti batu bara menjadi energi yang lebih ramah lingkungan. Tapi, tentu harus ada manfaat ekonominya.

Dari sisi akademisi, tantangan untuk mengedukasi mengenai misi berkelanjutan juga dilakukan. Dia mengatakan, saat ini pihaknya tidak bisa lagi menekankan prinsip ‘modal sedikit untuk banyak’ namun merusak lingkungan. Di tengah transisi energi ini, akademisi menekankan untuk melihat ‘opportunity lost saat mengambil keputusan’.

Sebagai akademisi, Anna tentu mendorong agar terciptanya tenaga kerja yang ahli dibidangkan dalam upaya menilai valuasi sebuah proyek, sebesar apa dampak lingkungan yang dihasilkan, serta nilai karbon yang kedepannya bisa menghasilkan keuntungan.

“Tenaga kerja untuk penilaian valuasi proyek yang bisa menghasilkan karbon kredit dan yang ahli itu sangat sedikit jumlahnya. Padahal karbon kredit itu sudah diluncurkan, tapi pergerakannya masih sedikit karena yang sadar (potensi untungnya) itu tidak banyak,” jelas dia

“Kita bandingkan dengan Gen Z di Eropa, yang mana mereka sudah banyak mendapat cuan dari pasar karbon. Tapi, Indonesia belum banyak. Ini kesempatan besar bagi kita untuk melakukan bisnis atau usaha yang lebih mengedepankan prinsip ramah lingkungan,” tambah dia.

Dia mencontohkan, sebuah bank nasional dapat menghitung jumlah emisi yang dikeluarkan dari pencetakan kartu, seperti kartu debit ataupun kredit. Dalam satu buah kartu, emisi yang dihasilkan adalah 150 gram. Perusahaan tersebut memproduksi 15 juta kartu setiap tahunnya. Jadi bisa dibayangkan berapa emisi karbon yang dihasilkan perusahaan tersebut dalam setahun.

“Oleh sebab itu, ada wacana kedepannya pengguna jalan tol tidak menggunakan kartu, hal ini mendorong upaya agar lebih hijau dan berkelanjutan,” ujarnya.

Anna mengatakan, tantangan di tingkat akademisi adalah dengan mempelajari dan mengejar ketinggalan untuk memahami manfaat dari konsep karbon kredit. Karena, belajar dari negara-negara yang sudah menerapkan metode ini, infrastruktur karbon tak hanya mendukung keberlanjutan, tapi juga ada keuntungan yang bisa didapatkan di dalamnya.

“Konsep karbon kredit ini memang belum dipelajari, dan ini harus kita kejar. Kita dipaksa untuk belajar akan potensinya. Kalau tau cara valuasinya, kita bisa dapat cuan dari situ. Karena infrastruktur sudah ada, kita harus berlari mengejar ketinggalan,” tambahnya.

https://money.kompas.com/read/2023/12/07/090000326/melihat-potensi-cuan-di-balik-misi-keberlanjutan-green-energy

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke