Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sistem Produksi Padi: Margin Keuntungan Petani Terus Tergerus

Harga gabah yang kompetitif dibandingkan harga pupuk, didukung ketersediaan pupuk  ditopang Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa secara enam tepat (jenis, jumlah, mutu, waktu, harga, dan tempat), sehingga pertumbuhan dan produksi padinya optimal.

Harga gabah per kilogram saat itu 1,5 kali harga pupuk, menjadi insentif bagi petani untuk berproduksi.

Sementara saat ini kondisinya bertolak belakang. Alokasi pupuk bersubsidi terus menurun, disertai seringnya terjadinya kelangkaan pupuk saat puncak tanam.

Pupuk nonsubsidi yang harganya sangat mahal seharusnya tersedia, ternyata tidak, terutama ketika harga pupuk di pasar internasional melambung.

Margin keuntungan petani per musim tanam per hektare terus tergerus dengan meningkatnya biaya produksi yang sangat signifikan.

Bahkan petani menyampaikan bahwa mereka beberapa kali mengalami kerugian total tanpa asuransi, karena mengalami kegagalan akibat serangan tikus, serangan hama wereng.

Berdasarkan pemantauan di lapangan, Ngawi, Jawa Timur dan Sukoharjo, Jawa Tengah, petani menyemprot 10 hari sekali, bahkan ada yang 7 hari sekali sampai menjelang panen.

Pada musim kemarau, petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk bayar token listrik untuk memompa air irigasi.

Biaya tenaga kerja yang terus meningkat dan harus berkompetisi dengan upah buruh di pabrik, menjadikan petani pangan sudah jatuh tertimpa tangga. Margin usaha taninya tergerus, tidak berdaya dan semakin tidak berpunya, sehingga terus menderita.

Pertanyaan fundamentalnya, benarkah sistem produksi padi nasional diambang bahaya?

Margin keuntungan semakin tergerus

Margin keuntungan petani yang tergerus, tanpa menunjukkan tanda pemulihan, menjadikan sistem produksi padi nasional berada di dalam kondisi alarming.

Akar masalahnya antara lain, karena sistem produksi padi nasional baik dari sisi up stream (pupuk, pestisida, irigasi), on farm (alat mesin pertanian, tenga kerja), down stream (pascapanen, pengolahan hasil dan pemasaran) lebih banyak diserahkan penuh pada mekanisme pasar, terutama aspek hilirnya.

Biaya produksi padi yang terus meningkat, semakin mahal, sementara produksi yang dihasilkan relatif tidak naik secara signifikan, maka margin usaha tani padi semakin tergerus.

Lingkungan yang rusak, ditandai dengan ekploitasi hama dan penyakit dengan intensitas, frekuensi dan durasinya, menyebabkan peningkatan biaya produksi yang signifikan, dengan ketidakpastian usaha semakin tinggi.

Biaya tenaga kerja terus meningkat, harga pupuk dan pestisida yang terus melambung tidak seimbang dibandingkan peningkatan harga gabah.

Biaya irigasi di beberapa tempat menyentuh Rp 3 juta, biaya pengendalian OPT paling tidak 10 kali per musim untuk memastikan padi bisa berproduksi, menjadi bukti nyata bahwa margin usaha tani semakin tergerus.

Bahkan dalam kondisi ekstrem, petani dengan jujur mengatakan bahwa sesungguhnya usaha tani lebih banyak merugi. Kalaupun ada keuntungan, sangat tipis dan tidak memungkinkan lagi untuk membiayai proses produksi pada musim tanam berikutnya.

Bahkan begitu ekstremnya, petani ada yang melontarkan kalimat sangat menyedihkan. Mereka menyampaikan, jika kondisi ini terus berlangsung, maka mereka berpikir lebih menguntungkan menjual ke Perumnas atau developer yang mampu membayar mahal dan uangnya untuk kegiatan lebih produktif, daripada berusaha tani marginnya terus tergerus, dengan ketidakpastian usaha yang tinggi.

Sangat menyedihkan dan itulah faktanya. Fakta empirik margin keuntungan yang tergerus ini berdampak pada banyaknya lahan puso yang tidak digarap di banyak kabupaten sentra pangan Subang, Karawang, Indramayu, Klaten karena kehabisan modal, frustasi, putus asa akibat sering gagal panen.

Rendahnya manfaat yang diterima petani dari hilirisasi gabah yang nilai tambah terbesar menyebabkan pemiskinan petani terus terjadi.

Manfaat hilirisasi lebih banyak diterima oleh penggilingan padi yang dikuasai pemodal besar.

Kesalahan fundamental yang dilakukan pemerintahan sebelumnya adalah meliberalisasi usaha tani padi hulu, on farm dan hilir, saat negara dalam kondisi ekonomi tidak baik baik saja, sehingga multi nasional bebas masuk dan mengendalikan sistem produksi padi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Saat itulah terjadi distruksi dan eksploitasi sistemik terhadap petani secara kontinyu atas sistem produksi padi nasional.

Padahal sistem produksi padi nasional sangat menentukan nasib dan masa depan Indonesia. Pascapanen dan pengolahan hasil merupakan sumber pendapatan utama selain beras.

Pemerintah berbisnis dengan petani

Distruksi sistem produksi padi nasional juga dilakukan secara sadar dan kontinyu melalui kebijakan pemerintah melalui impor beras yang berlebihan dan kontinyu.

Saat itu publik melihat, pemerintah bukan ingin mengurangi kelangkaan pasokan dan mahalnya harga beras, melainkan lebih kental pada sisi pemerintah berbisnis dengan petani.

Beras impor mendistorsi pasar dan harga beras dalam negeri, karena selisih harganya sangat menggiurkan. Pemerintah yang berbisnis dengan rakyatnya, sesungguhnya merupakan bentuk eksploitasi terbuka atas petani dan rakyat miskin.

Importasi yang terus menerus dengan jumlah terus meningkat karena tergiur keuntungan besar, tanpa ada penyelesaian pemenuhan produksi dalam negeri, dipastikan sistem produksi padi nasional akan hancur sebagaimana yang terjadi pada kedelai, bawang putih, gula pasir dan dagang sapi.

Celakanya, pemerintah termasuk kita semua tidak menyadari dampak buruk jangka panjang yang ditimbulkan?

Importasi beras yang terus meningkat dan dilakukan setiap tahun, membuktikan pemerintah gagal menyediakan pangan pokok utamanya beras untuk pemenuhan kebutuhan domestik.

Argumentasinya, impor beras terus berulang dan jumlahnya terus terbatas. Jadi impor beras bukan karena keterpaksaan, melainkan karena keserakahan.

Bagaimana untuk mengatasi persoalan pelik yang dimensinya sangat komplek dan dinamis ini? Serahkanlah semua pemulihan sistem produksi padi nasional dilakukan petani milenial dan gen Z.

Pemerintah cukup memfasilitasi dengan membangun sistem pertanian modern dan fasilitasi pembiayaan yang murah.

Jika itu bisa dilakukan, maka petani muda yang bekerja di lapangan semakin terinspirasi karena profesi petani sangat menjanjikan, selain tidak harus terkena panas matahari langsung maupun lumpur.

Teknologi disrupsi untuk tanam, pemupukan, pengendalian OPT dengan menggunakan drone yang menerapkan precision farming merupakan solusi fundamentalnya.

Tanpa intervensi konkret generasi muda di lapangan, maka sistem produksi padi nasional dipastikan berada dalam ambang kehancuran.

Pilihan ini harus diperkenalkan dan diinternalisasi ke calon Presiden dan Wakil Presiden dan DPR sebagai mitra kerjanya, agar fasilitasi pengembangan sistem produksi padi nasional dapat dimaksimalkan.

Jika pemerintah menutup mata dan tidak mengambil langkah nyata, maka alih fungsi yang sudah sangat dahsyat, dipercepat dengan laju pembangunan jalan tol serta keuntungan usaha tani yang terus tergerus, maka malapetaka pangan sudah berada di depan mata.

Generasi muda yang tidak berdosa harus menanggung dampaknya, jika kedaulatan pangan utamanya beras dikendalikan oleh importir beras, sebagaimana yang terjadi pada kedelai.

https://money.kompas.com/read/2023/12/13/151050626/sistem-produksi-padi-margin-keuntungan-petani-terus-tergerus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke