Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengurai Dampak pada Sektor Tembakau dan Kreatif Bila RPP Kesehatan Diketuk Palu

KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai leading sector tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu substansi yang diatur di dalamnya adalah pengamanan zat adiktif, termasuk produk tembakau dan rokok elektronik.

Di balik tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, RPP Kesehatan menuai polemik. Sebab, rancangannya dinilai mendiskriminasi, terutama bagi industri hasil tembakau (IHT) dan komoditasnya.

Padahal, bila diurai lebih lanjut, IHT merupakan industri padat karya yang memiliki sejumlah kemaslahatan.

Dari segi penyerapan tenaga kerja, misalnya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), IHT mampu menyerap 5,98 juta pekerja pada 2018. Angka ini terdiri dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi yang berjumlah 4,28 juta orang dan 1,7 juta orang di sektor perkebunan.

Industri tersebut juga punya peran besar terhadap penerimaan negara. Lewat ekspor, industri pengolahan tembakau mampu menyumbang ratusan juta dollar AS.

Tidak hanya itu, IHT juga tercatat berkontribusi Rp 218 triliun pada 2022 dan Rp 188,8 triliun pada 2021 melalui cukai hasil tembakau (CHT). Jumlah ini di luar pajak penghasilan (PPh) badan ataupun tenaga kerja industri tersebut.

Hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang dipaparkan di Jakarta (20/12/2023) menyebut bahwa RPP kesehatan berpotensi mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 103 triliun jika disahkan.

Lebih lanjut, Indef juga menemukan bahwa aturan tersebut akan berdampak terhadap penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 10 persen.

Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus mengatakan, pemberlakuan RPP Kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak hanya berdampak terhadap IHT, tetapi juga sektor ekonomi terkait, mulai dari petani cengkih, petani tembakau, tenaga kerja industri, ritel, hingga jasa periklanan.

"Itu akan merembet ke sektor-sektor yang lain dari hulu sampai hilir sehingga secara agregat nilai produk domestic bruto (PDB) ini bisa tergerus hingga mencapai Rp 103 triliun jadi ini multiplier effect-nya mungkin cukup besar," kata Heri.

Mendiskriminasi industri iklan

Seperti diketahui, eksistensi IHT turut memberi “makan” sejumlah sektor lain. Sebut saja, industri periklanan, ekonomi kreatif, dan penyiaran, melalui belanja iklan ataupun promosi. Jadi, jika RPP Kesehatan diketuk palu, sektor tersebut bakal terdampak.

Untuk diketahui, RPP Kesehatan turut mengatur pembatasan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Namun, batasannya lebih ketat jika dibandingkan dengan aturan sama yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

RPP Kesehatan melarang iklan rokok di media luar ruang, situs, dan/atau aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau dan rokok elektronik.

Sementara itu, PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah memberi ketentuan yang membatasi cukup ketat, namun bukan larangan.

RPP Kesehatan juga memperketat waktu penayangan iklan rokok di media penyiaran. Iklan rokok di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat. Sebelumnya, PP Nomor 109 Tahun 2012 membolehkan iklan rokok di media penyiaran ditayangkan setelah pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.

Selain itu, RPP Kesehatan mewajibkan iklan rokok di TV untuk mencantumkan peringatan kesehatan berukuran layar penuh selama paling singkat 10 persen dari total durasi iklan. Gambar peringatan kesehatan pada kemasan pun diperluas dari 40 persen menjadi 90 persen.

Lebih lanjut, RPP Kesehatan melarang produk tembakau dan rokok elektrik menjadi sponsor acara, termasuk musik.

Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia Janoe Arijanto mengatakan bahwa industri periklanan, ekonomi kreatif, penyiaran, dan hiburan akan menghadapi ancaman serius jika larangan iklan produk tembakau yang termaktub dalam RPP Kesehatan secara keseluruhan diberlakukan.

“Penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9 sampai 10 persen yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif,” sebut Janoe dikutip dari berita Kompas.com, Jumat (8/12/2023).

Ia melanjutkan, berdasarkan data TV Audience Measurement Nielsen, nilai iklan produk tembakau mencapai lebih dari Rp 9 triliun, sementara kontribusinya terhadap pendapatan media digital sekitar 20 persen dari total pendapatan media digital Indonesia.

Dampak pengetatan iklan produk tembakau sejatinya tidak hanya memangkas pendapatan industri kreatif, tapi juga nasib para pekerjanya.

Janoe menuturkan, berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 2021, industri kreatif secara umum menyerap 725.000 tenaga kerja. Sementara, multisektor di industri tersebut mempekerjakan 19,1 juta orang.

Selama ini, industri kreatif telah patuh pada regulasi iklan produk tembakau yang berlaku, baik PP Nomor 19 Tahun 2012 maupun Etika Pariwara Indonesia (EPI). Industri tersebut pun turut mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok anak.

Maka dari itu, penggodokan RPP Kesehatan diharapkan turut mempertimbangkan fakta-fakta tersebut.

“Penyempitan jam tayang iklan rokok di TV dalam RPP Kesehatan dinilai diskriminatif bagi industri kreatif nasional yang telah mematuhi segala aturan periklanan produk tembakau,” ujarnya.

Selain itu, Janoe berpendapat bahwa kebijakan semacam itu seharusnya melibatkan dialog dengan pihak terdampak. Ia pun menyoroti kurangnya pemerintah dalam merangkul pelaku industri untuk ikut keterlibatan dalam pembahasan regulasi ini. Ini mengingat RPP Kesehatan mencakup banyak sektor usaha yang beririsan dengan produk tembakau.

Pandangan serupa juga disampaikan Direktur Industri Kreatif Kemenparekraf Syaifullah Agam. Ia menilai, pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan berpotensi menciptakan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bagi sejumlah industri kreatif.

Agam menyoroti banyaknya larangan dalam RPP Kesehatan, seperti larangan iklan tembakau di media digital dan luar ruangan, larangan sponsor tembakau pada acara olahraga dan seni, serta larangan penjualan tembakau di tempat umum.

Larangan-larangan tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap industri kreatif, yang selama ini menggantungkan pendapatannya dari industri tembakau.

Selain itu, Agam juga menegaskan bahwa industri hasil tembakau memiliki multiplier effect yang sangat besar karena menjangkau sektor lainnya, seperti sektor perhotelan, makanan dan minuman, transportasi, pedagang asongan, hingga baliho. Jika industri tembakau terganggu, industri kreatif juga akan terdampak.

Ketua Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan pun mengimbau hal serupa. Pemerintah diminta untuk berhati-hati terhadap rancangan peraturan tersebut mengingat banyak sektor yang terlibat di dalamnya.

“Kami meminta agar tidak tergesa-gesa memutuskan aturan tersebut dengan mempertimbangkan dampak sosial yang akan timbul dari pengaturan tersebut. Jika pasal-pasal tembakau di RPP tersebut diberlakukan, ancaman terhadap keberlangsungan IHT sangat nyata dan signifikan,” ucap Henry dikutip dari berita Kompas.com, Jumat (8/12/2023).

https://money.kompas.com/read/2023/12/28/084922526/mengurai-dampak-pada-sektor-tembakau-dan-kreatif-bila-rpp-kesehatan-diketuk

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke