Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kampung Batik Laweyan yang Menolak Terlindas Roda Zaman

Namun dari sekian banyak pilihan, dalam liburan 2 hari di kota tersebut, saya memutuskan untuk berkunjung ke Kampung Batik Laweyan yang berada di Jl Rajiman Kecamatan Laweyan.

Kampung Batik Laweyan adalah salah satu pusat batik tertua di Kota Solo yang berdiri sejak abad ke-14 Masehi, dan masih bertahan hingga kini.

Sebelum berkunjung, saya sudah membuat janji bertemu dengan Muhammad Taufan Wicaksono, Manajer Operasional Batik Toeli.

Namun siapa sangka, janji bertemu tersebut mengantarkan saya bertemu dengan salah satu tokoh budaya Kota Solo, Alpha Febela Priyatmono. Taufan adalah anak dari Febela Priyatmono pemilik usaha dari Batik Mahkota Laweyan.

Selain merupakan tokoh budaya Kota Solo yang memiliki peran besar dalam mendorong eksistensi batik, Febela Priyatmono juga menjabat sebagai ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL).

Sukses membangun Batik Mahkota, Febela Priyatmono mendirikan Batik Toeli yang merupakan anak usaha dari Batik Mahkota. Batik Toeli terinspirasi oleh karya-karya batik yang dibuat oleh para tunarungu.

Berdasarkan sejarah, kata Laweyan berasal dari bahasa Jawa ‘Lawe’ yang artinya benang putih. Konon katanya, daerah tersebut merupakan kawasan kapas yang menghasilkan kapas dan benang dengan kualitas nomor satu.

“Itu merupakan pusat industri batik yang turun temurun sudah ratusan tahun semasa Kerajaan Pajang. Dulu dimulai namanya Laweyan itu, bisa dikatakan merupakan daerah penghasil kapas yang paling bagus,” jelas Febela Priyatmono.

Pria yang dikenal sebagai salah satu tokoh budaya Solo itu menceritakan, awal-awal kegiatan masyarakat di kawasan tersebut adalah tenun, yang lambat laun berkembang menjadi batik.

Kampung Laweyan secara historis sudah ada sejak 1546. Laweyan merupakan bagian dari Kerajaan Pajang yang saat itu rajanya bernama Sultan Adiwijaya atau Joko Tingkir.

“Sekitar sungai di Selatan Laweyan, ada Sungai Bandar dan Sungai Kabanaran, yang merupakan pusat perdagangan. Di utara, ada pasar, yang akhirnya berkembang hingga awal-awal abad ke-20 berdiri juga di sini Serikat Dagang Islam, yang turun temurun, termasuk di tempat kami ini,” ungkap dia.

“Kami memang berpuluh tahun lalu (sudah memulai usaha batik), tapi kami mempunyai catatan tertulis dan bukti autentik tahun 1942, kami yakin sudah beraktivitas batik dari sebelumnya,” tambah dia.

Sempat mati suri

Alpha Febela Priyatmono menyebut, pada awal tahun 1970-an industri batik dikejutkan dengan munculnya produk tekstil bermotif printing. Perubahan konsep itu memukul industri batik tradisional. Bahkan, usaha batik milik Febela Priyatmono yang dulunya bernama Batik Puspowidjoto ikutan kolaps.

“Munculnya produk lain, yakni tekstil bermotif printing, ya itu kan perkembangan zaman, tidak masalah. Tapi memang, di sinilah pemahaman tentang budaya harus ditekankan, termasuk tentang batik yang masih kurang. Maka batik tradisional kalah bersaing, banyak yang kolaps juga,” jelas dia.

“Usaha batik kami bisa dikatakan tutup hampir 16 tahun. Kami baru bangkit lagi setelah munculnya Kampung Batik Laweyan ini. Setelah masyarakat mempelajari tentang Laweyan dan batik, ternyata Laweyan potensinya luar biasa kalau dibiarkan kondisi seperti itu, di tahun 2004 kan banyak rumah yang rusak, usaha industri batik yang tutup, lama kelamaan ini bisa habis, dan potensinya bisa punah,” ujar Febela Priyatmono.

Selain kembali membangun Kampung Batik Laweyan untuk membangkitkan potensi yang ada, masyarakat juga menyadari bahwa tidak hanya industri batik saja yang perlu didorong untuk bangkit. Tapi juga secara lebih luas dengan menjadikan Kampung Batik Laweyan sebagai lokasi pariwisata ekonomi kreatif, yang berkembang hingga saat ini.

“Tahun 2004 itu tinggal 16-an usaha batik, sebelumnya bisa dikatakan ratusan. Akhirnya berkembang, sempat ada 80-an usaha batik yang sudah bergerak. Tapi setelah Covid-19 itu kita drop, hingga potensinya turun 80 persen. Tapi alhamdulilah setelah Covid-19 ini berakhir kita sudah merangkak lagi, sekarang ada 40-an pengusaha batik,” jelas dia.

“Kami mengalami hantaman yang luar biasa pada saat pandemi Covid-19. Kami tergabung di Asosiasi Industri Batik Indonesia, itu pernah ada riset bahwa 80 persen baik tenaga kerja, income, kolaps ya. Tapi setelah itu ada kenaikan lagi dan alhamdulilah sekarang itu, di samping online dan itu semua jalan,” tambah Febela Priyatmono.

Menyambung perkataan Febela Priyatmono, Kepala Marketing Batik Mahkota Laweyan Eko Margianto menilai, adanya industri berkonsep baru sempat menjadi hambatan bagi industri batik tradisional. Seiring perkembangan zaman yang serba cepat, konsep patik berubah menjadi motif produk tekstil.

“Terjadi pergeseran konsep batik, di mana desainnya adalah batik, tapi pembuatannya tidak sesuai dengan yang seharusnya, yakni batik tulis atau cap,” jelas Eko.

Eko merinci, batik tulis memiliki proses yang cukup lama dari kain putih, digambar, lalu dicanting, dan diwarnai, bisa sampai 2-3 minggu yang sederhana saja. Apalagi model batik tradisional yang unik, rumit, dan kompleks bisa makan waktu 3-6 bulan untuk 1 produk.

Eko menjelaskan, lamanya proses pembuatan batik menjadikan harganya juga tidak murah. Hal inilah yang kemudian menghambat daya beli masyarakat.

“Masyarakat pada saat itu, tingkat daya belinya sangat kurang, jadi pilihnya produk yang tiruan, yang pentingkan motifnya batik, diproses masif, pabrikasi dan modern,” ungkap Eko.

Di Solo, pergeseran konsep batik terjadi sekitar tahun 1980-an. Hal ini diperparah dengan hadirnya perusahaan-perusahaan tekstil besar yang memproduksi produk tekstil bermotif batik.

“Lambat laun, selama dua dekade atau sekitar 20 tahunan tutup tidak ada aktivitas, tidak cuma sini, tapi seluruhnya,” kata Eko.

Roda zaman

Meski sempat mati suri, Kampung Batik Laweyan kini sudah bangkit dan bahkan sudah jadi kampung edukasi. Kampung tersebut seolah tak mau terlindas roda zaman. Salah satunya lewat upaya mengenalkan proses membatik kepada anak-anak muda.

Saat saya berkunjung ke kampung tersebut, tepatnya di Batik Mahkota Laweyan, Eko mengajak saya ke salah satu ruangan yang berisi banyak kain batik yang dipajang. Di sana, ada kain yang dipajang sekitar lebih dari 5 meter.

Eko mengatakan, kain batik yang dipajang itu menceritakan cara membuat batik secara tradisional.

Ia mengatakan, banyak pelajar dan mahasiswa datang untuk belajar di Batik Mahkota Laweyan. Lewat grafis tersebut, pelajar dan mahasiswa lebih mudah untuk memahami cara dan proses membatik.

"Kita didukung sama dunia pendidikan, yang mengharuskan muatan lokal itu masuk dalam kurikulum, banyak rombongan anak-anak play group, SMA, dan perguruan tinggi. Biayanya fleksibel, per anak itu sekitar Rp 60.000-an, kalau untuk bule lebih dari Rp 100.000,” ungkap Eko, Rabu (27/12/2023).

Eko mengatakan, hampir semua UMKM di Laweyan dan sekitarnya turun temurun merupakan pengrajin batik. Sebelum adanya Batik Mahkota, berdasarkan bukti-bukti tertulis seperti surat dan nota, industri batik yang berdiri sejak 1942 adalah Batik Puspowidjoto. Usaha tersebut berkembang hingga era 1990-an.

Eko bilang, industri batik sudah mengalami tekanan sejak Eks Karesidenan Surakarta (wilayah yang dibentuk di masa kolonial Belanda). Hal itu berdampak pada industri batik, tidak hanya pada Batik Puspowidjoto saja, tapi hampir seluruh industri batik saat itu di Karesidenan Surakarta, termasuk Laweyan, Sragen, Sukoharjo, dan Klaten.

“Di Eks Karesidenan Surakarta itu ada sekitar 300-an lebih industri batik yang terdampak salah satunya di sini. Era tahun 2004 kita bangkit lagi dengan dimulainya FPKBL. Diawali oleh 9-10 perusahaan, Batik Mahkota, berdiri lagi pada tahun 2006, dan saat itu juga Batik Puspowidjoto berubah menjadi Batik Mahkota sampai saat ini,” ungkap Eko.

Eko mengatkan, Batik Mahkota secara khusus setiap hari memproses batik dengan teknik batik tulis. Tapi tidak menutup kemungkinan, pihaknya tetap menerima pesanan batik cap.

Batik Mahkota juga menyiapkan lahan yang dekat dengan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) untuk dijadikan lokasi edukasi dan produksi untuk pewarnaan alami batik.

Kompas.com berkesempatan ngobrol singkat dengan salah satu pembatik tunarungu, sebut saja namanya Budi (bukan nama asli). Budi mengaku sangat senang membuat batik, meskipun sedikit sulit.

“Dari awal sampai jadi, prosesnya 1 minggu, lumayan sulit,” kata dia.

“Kalau abstrak lebih mudah daripada yang tradisional. Tradisional memang sudah ada motifnya,” sambungnya dia.

Budi berharap dengan membatik yang sudah ia jalani selama 3 tahun, dapat memberikan kemudahan untuk mendirikan usaha batik di rumahnya suatu hari nanti.

“Sudah 3 tahun membatik, suka membatik supaya belajar saja dan ingin buka usaha batik di rumah,” kata dia.

Eko mengatakan, pihaknya juga turut mendorong agar para pekerja dengan keterbatasan fisik dapat mandiri melalui industri batik. Eko bilang, membatik memiliki tingkat pendapatan yang tidak kalah dengan pekerja kantoran, selama tekun, rajin, dan mampu memanfaatkan potensi yang ada.

“Kita juga menyiapkan mereka (pecanting bisu tuli) untuk mandiri dan bisa usaha sendiri,” ungkap dia.

Eko menjelaskan, bagi pecanting dengan jam kerja tinggi, produksi batik yang bisa dihasilkan di Batik Mahkota per minggu ada 6-7 kain berukuran 2,4 meter x 2 meter. Sementara untuk pecanting bisu tuli mampu menghasilkan produksi 2-3 kain per minggu

“Harga (jual) batik canting itu sekitar Rp 800.000 per kain. Hasil penjualannya per item dihargai Rp 225.000-Rp 250.000 per kain,” kata dia.

Bayangkan saja, jika pecanting difabel mampu memproduksi dan menjual kain batik canting 1 buah dalam seminggu, artinya mereka bisa memperoleh pemasukan sekitar Rp 575.000 hingga Rp 550.000.

Jika dalam sebulan hasil batik mereka terjual 4 buah, pendapatan mereka per bulan bisa mencapai Rp 2,2 juta hingga Rp 2,3 juta. Tentunya nilai tersebut sudah sangat mencukupi untuk kebutuhan hidup di Solo, mengingat biaya hidupnya juga murah.

Harapan keberlanjutan

Selain itu, Febela Priyatmono menilai, penting untuk memberikan nilai tambah dalam usaha batik sehingga tidak hanya menguntungkan bagi pembatik, tapi juga melestarikan alam.

“Upaya kami dengan masyarakat Laweyan untuk melestarikan batik adalah mewujudkan industri bersih yang ramah lingkungan,” jelas dia.

Febela Priyatmono mengatakan pihaknya pada 2007 pertama kali membangun instalasi pengolahan limbah komunal. Hal ini adalah gerakan yang terus menerus dan sampai sekarang.

“Kami juga kerja sama dengan BRIN untuk pemanfaatan tanaman untuk ikut mengurangi pencemaran, serta dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) melalui pemanfaatan lilin sawit, dan juga dengan IndiHome melalaui kampung digital,” kata dia.

Febela Priyatmono menambahkan, sebagai salah satu kota yang dikenal dengan industri batik, tentu juga harus memiliki identitas. Salah satunya dengan mewujudkan Kota Solo sebagai pusatnya batik ramah lingkungan Indonesia.

“Tidak hanya batik motif filosofi saja, bersama dengan anak muda kami melakukan kegiatan, salah satunya kami kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi untuk mewujudkan eco-fashion for milenial,” ujarnya.

https://money.kompas.com/read/2024/01/03/050000426/kampung-batik-laweyan-yang-menolak-terlindas-roda-zaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke