Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Pajak Warisan Jadi Polemik di India

Setelah menyaingi Tiongkok sebagai negara berpenduduk terbanyak, parlemen India kini bertanggung jawab atas hampir seperlima populasi global.

Namun, bukannya bonus demografi, krisis ketimpangan justru menjadi situasi ekonomi yang harus dihadapi 1,4 miliar penduduknya.

Di tengah tingginya angka kemiskinan, ketimpangan ekonomi antara masyarakat kelas atas dan bawah di India terus menjadi sorotan.

Sejak 2000, ekonomi India memang berhasil menjadi salah satu yang terus tumbuh paling cepat, mencapai 6 hingga 7 persen setiap tahun. Namun, di saat bersamaan, disparitas ekonomi juga terus tumbuh agresif.

Pada 2000, hanya terdapat 9 orang di India yang memiliki kekayaan di atas 1 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Namun, pada 2023, jumlah tersebut naik drastis menjadi 271 orang.

Di antara kalangan tersebut, World Inequality Lab menemukan bahwa 40 persen kekayaan di India terpusat hanya di satu persen rumah tangga kelas ekonomi atas.

Sebagai perbandingan, pada 2023, harta kekayaan 200 orang terkaya di India meningkat 41 persen hingga mencapai Rp 14.600 triliun. Sebaliknya, kekayaan separuh masyarakat ekonomi menengah ke bawah hanya meningkat satu persen saja, menurut Oxfam.

Di hadapan media global dan turis asing yang datang ke India, ketimpangan tersebut bisa dengan mudah dilihat dari perbedaan kondisi kehidupan di permukiman kumuh dan kawasan elite yang terletak berdampingan di kawasan metropolitan, misalnya di Mumbai dan New Delhi.

Ketimpangan ekstrem pun menjadi permasalahan yang terus dipersoalkan. Dalam kontestasi politik India tahun ini, penyelesaian isu tersebut jelas kembali menjadi bola panas yang diperdebatkan untuk menarik simpatisan.

Baru-baru ini, pada April 2024, Sam Pitroda yang merupakan insinyur terkemuka sekaligus pimpinan senior dari salah satu partai terbesar di India, Partai Kongres, menyampaikan ide untuk menerapkan pajak warisan sebagai solusi mengatasi ketimpangan.

Namun, alih-alih mendapatkan dukungan, gagasan tersebut justru menuai reaksi negatif dari masyarakat.

Meski diungkapkan sebagai pendapat pribadi, situasi ini dengan cepat dimanfaatkan oleh Narendra Modi, Perdana Menteri India saat ini yang juga kembali mengikuti pemilihan umum, untuk menjatuhkan elektabilitas lawannya.

Modi menyatakan bahwa ide tersebut sangat mungkin menjadi kenyataan jika Partai Kongres menang.

Namun, jika baik bagi pemerataan ekonomi, mengapa gagasan pajak warisan justru menuai polemik dari masyarakat India?

Dalam sejarahnya, India sebenarnya pernah menerapkan pajak warisan. Pada 1953, Pemerintah India mengesahkan Undang-Undang Pajak Warisan sebagai upaya memitigasi ketimpangan yang saat itu juga telah menjadi permasalahan signifikan.

Mekanisme pajak warisan sebenarnya sangat sederhana: pajak dipungut kepada ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan dalam jumlah besar.

Namun, sepanjang praktiknya, muncul banyak sengketa hukum antara ahli waris dan otoritas pajak. Pajak warisan yang diperoleh pun menjadi tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk mengumpulkannya.

Setelah tiga dekade, India mencabut kebijakan pajak warisan pada 1985.

Secara teori, pajak warisan sebenarnya memang bisa menjadi alternatif kebijakan untuk mengatasi ketimpangan. Dengan pajak warisan, kekayaan antargenerasi yang terpusat di masyarakat kelas atas dapat diturunkan untuk disalurkan ke masyarakat berpenghasilan rendah.

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, misalnya, anggaran pendapatan pajak warisan secara khusus digunakan untuk mendanai berbagai program bantuan sosial. Inilah sasaran yang sebenarnya diharapkan dari pajak warisan, yaitu untuk memeratakan ekonomi.

Selain itu, pajak warisan dinilai juga dapat mendorong masyarakat kelas atas untuk menyumbangkan hartanya. Dalam hukum pajak di banyak negara, sumbangan menjadi pengeluaran yang bisa diakui untuk meringankan pajak.

Dengan begitu, pajak warisan seolah menjadi insentif untuk memberikan sumbangan agar bisa meringankan pajak yang terutang ketika mewariskan harta.

Namun, dalam praktiknya, teori-teori tersebut ternyata sulit untuk direalisasikan. Dilema moralitas dan gugatan hukum membuat pajak warisan berjalan tidak sesuai tujuan yang diharapkan.

Dalam hukum pajak, salah satu asas pemungutan pajak menghendaki agar pajak dipungut di saat yang paling memudahkan bagi pembayarnya. Asas yang demikian disebut kenyamanan pembayaran (convenience of payment).

Sebaliknya, tidak sejalan dengan asas tersebut, pajak warisan menjadi persoalan moral karena kewajibannya timbul atas kematian anggota keluarga yang merupakan peristiwa duka bagi ahli waris selaku pembayarnya.

Faktor tersebut yang menjadi salah satu alasan mengapa negara-negara yang kebudayaannya menjunjung ikatan keluarga, seperti Indonesia, Malaysia, dan Tiongkok, tidak memungut pajak warisan.

Masalah lainnya adalah harta warisan tidak selalu berbentuk tunai dan barang yang mudah dicairkan. Ini menjadi persoalan bagi para ahli waris yang diharuskan membayar pajaknya secara tunai.

Ahli waris pun harus berupaya mengumpulkan kas untuk melunasi pajaknya, yang pada akhirnya justru harus menjual harta yang diwariskan. Kondisinya akan semakin sulit apabila harta warisan berupa properti dan harta lain bernilai besar yang sulit terjual.

Kasus ini pernah terjadi di Korea Selatan ketika Lee Kun-Hee, pimpinan Samsung selama tiga dekade, wafat pada 2020. Para ahli warisnya harus menjual saham perusahaan untuk melunasi pajak senilai 10,7 miliar dollar AS, yang merupakan pajak warisan terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan (Harian Kompas, 29/4/2021).

Persoalan seperti inilah yang membuat pajak warisan sering digugat secara hukum oleh ahli waris. Akibatnya, pemerintah justru harus menyediakan anggaran tambahan untuk bersengketa di muka hukum.

Dalam kasus India, biayanya bahkan bisa melebihi pajak yang diperoleh, menjadi dasar Menteri Keuangan kala itu untuk memutuskan pencabutannya pada 1985.

Di sisi lain, baik pewaris maupun ahli waris kerap melakukan berbagai cara untuk mengecilkan pajak warisan.

Misalnya, di sejumlah negara, warisan merupakan objek yang dipajaki, namun hibah dan pemberian ketika masih hidup dibebaskan dari pajak. Celah ini sering dimanfaatkan untuk memberikan harta sebanyak-banyaknya selama pewaris masih hidup.

Selain itu, di banyak negara, klaim asuransi juga bukan objek pajak. Alhasil, pewaris pun mendaftar asuransi dengan biaya premi setinggi mungkin. Dengan demikian, sebagai ganti harta warisan, ahli waris akan menerima klaim asuransi yang bebas dari pajak.

Namun, metode yang paling umum adalah dengan menyerahkan harta melalui pihak ketiga yang berperan sebagai perwalian. Di hukum pajak banyak negara, jika seseorang memberikan hartanya kepada perwalian, maka harta tersebut akan menjadi milik wali.

Sebagai ganti pewaris, wali tersebut yang tercatat akan memiliki dan mengelola harta warisan. Ketika akhirnya diberikan kepada ahli waris, harta tersebut pun tidak dapat dikenai pajak warisan dan umumnya justru dikenai pajak penghasilan yang tarifnya lebih rendah.

Selanjutnya, meski pajak warisan diharapkan mendorong masyarakat kelas atas untuk memberikan sumbangan, sasaran ini pun justru ikut menjadi celah yang sering dimanfaatkan untuk menghindari pajaknya.

Dalam banyak kasus, filantropi dan sumbangan yang dilakukan orang-orang superkaya di dunia sering kali juga dilatarbelakangi motif perpajakan.

Banyak yang memutuskan untuk memberikan sumbangan kepada yayasan yang tidak benar-benar ada, atau masih merupakan miliknya sendiri hanya saja terdaftar atas nama pihak lain.

Tindakan seperti ini diduga pernah dilakukan pendiri perusahaan kamera GoPro, Nicholas Woodman, yang memberikan sumbangan senilai 500 juta dollar AS pada 2014. Setelah ditelusuri, yayasan penerimanya ternyata tidak pernah ada.

Banyaknya tantangan membuat pajak warisan sulit diterapkan sesuai tujuan yang diharapkan. Meski demikian, bukan berarti tidak ada negara yang tetap memungut pajak warisan.

Di Indonesia, Undang-Undang Pajak Penghasilan secara tegas telah mengecualikan warisan dari pengenaan pajak. Hal ini pernah disampaikan juga oleh Robert Pakpahan yang menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2017 hingga 2019 (Kompas.id, 6/3/2018).

Pajak warisan lebih umum ada di negara-negara yang lebih maju, seperti di sejumlah negara Eropa dan Asia Timur, serta Amerika Serikat. Namun, di negara-negara tersebut pendapatan pajak warisan terus mengalami penurunan.

Sejumlah negara juga pernah menerapkan pajak warisan sebelum akhirnya memutuskan untuk mencabut kebijakannya. Salah satunya, Singapura pernah menerapkan pajak warisan sejak 1929 sebelum akhirnya dihentikan pada 2008.

Alasan pencabutan tersebut seringnya tidak jauh berbeda. Penerimaan yang terkumpul dari pajak warisan tidak sepadan dengan biaya hukum dan moral yang timbul dari pemungutannya.

Oleh karena itu, bagi India, pajak warisan tampaknya belum bisa menjadi panasea mengatasi krisis ketimpangan.

Dalam pemilihan umum kali ini, warga India sepertinya harus benar-benar memilih wakil parlemen yang bisa menawarkan solusi lebih baik untuk memeratakan ekonomi bagi 1,4 miliar orang penduduknya.

https://money.kompas.com/read/2024/05/06/070000026/ketika-pajak-warisan-jadi-polemik-di-india

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke